Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kongres AMAN ke-empat, Mampukah Mewujudkan Masyarakat Adat yang Berdaulat?

19 April 2012   18:43 Diperbarui: 7 Juni 2016   17:32 324 0

“Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-empat di Tobelo, Halmahera Utara dengan tema “Memperkokoh Kebersamaan, Mewujudkan Masyarakat Adat yang Berdaulat, Mandiri & Bermartabat” telah dibuka secara resmi tadi pagi oleh Ketua DPR-RI Bapak Marzuki Alie.” Demikian bunyi status Facebook Semuel pada Kamis, 19 April 2012 sekitar pukul 14:00 WITA, seorang rekan yang adalah sekretaris jenderal PASITABE* yang ikut serta dalam kongres tersebut.

Bagi masyarakat PASITABE yang berjumlah sekitar 25.000 orang, tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan Tengah, ini adalah sebuah momentum penting karena kehadiran delegasi kami disana berarti kehadiran masyarakat kami diakui oleh Indonesia. Kebanggaan kami yang sangat besar membayangkan mereka-mereka yang memakai pakaian adat PASITABE berbaur bersama 1.668 kontingen lainnya.

Selain itu, kehadiran kontingen masyarakat PASITABE dalam kongres tersebut yang merupakan kehadiran pertama kali, tentu akan berdampak positif bagi masyarakat kami dan Indonesia karena itu berarti keterlibatan langsung dalam semua acara, mendapatkan masukan, menjalin hubungan, memberi tanggapan dan masukan sesuai kondisi riil masyarakat kami --Saya membayangkan kalau usulan Ir H. R. Djoeanda Kartawidjaja, Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Tasikmalaya yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-10, bahwa DPR seharusnya adalah perwakilan masing-masing suku-bangsa yang ada dalam wilayah Indonesia menjadi kenyataan, mungkin wujud nyatanya akan seperti kongres Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini—

Masih dalam status yang sama, Semuel menyebutkan dalam komentarnya: “Semoga rancangan Undang-Undang yang diserahkan oleh Sekjen AMAN (Abdon nababan) kepada Ketua DPR-RI saat pembukaan kongres dapat menjadi Undang-Undang…”

Jika mengacu kepada definisi masyarakat adat menurut AMAN, yaitu “Sekelompok penduduk yang berdasarkan asal-usul leluhur, hidup dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki nilai-nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.” Maka lahirnya undang-undang yang mengakui hak-hak ulayat seperti yang diharapkan kawan tersebut, akan mempertegas posisi masyarakat adat ketika berhadapan dengan korporasi dan negara dalam konflik-konflik agraria, termasuk dalam konflik-konflik lahan yang sekarang sedang berlangsung.

Masalahnya kemudian khusus untuk masalah tanah ulayat, DPR-RI sudah mengesahkan sebuah undang-undang bernama Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada pertengahan Desember 2011 lalu, yang tidak berpihak kepada hak-hak ulayat masyarakat adat, karena tidak mengakomodasi tanah-tanah yang tidak memiliki sertifikat, sementara tanah ulayat umumnya tidak memiliki sertifikat yang pengakuan atasnya berdasarkan hukum adat turun-temurun, yang jika terjadi konflik tidak akan menguntungkan masyarakat adat, apalagi tanah-tanah yang sedang dalam konflik termasuk juga konflik antara masyarakat Dongi, salah satu bagian masyarakat adat PASITABE, dengan PT INCO Tbk yang sekarang menjadi PT Vale Indonesia.

Menarik menunggu apakah rancangan undang-undang tentang pengakuan hak-hak ulayat masyarakat di Indonesia, yang diserahkan Sekjen AMAN tersebut kepada kepada Marzuki Alie pada pembukaan kongres yang akan berlangsung dari tanggal 19 sampai 25 April 2012 ini, hanyalah sebuah sandiwara atau akan benar-benar diperjuangkan oleh DPR-RI meskipun bertentangan dengan undang-undang lain yang sudah disahkan oleh badan yang sama yang dipimpin oleh Marzuki Alie tersebut.

Yang jelas untuk membatalkan Undang-Undang tersebut, masyarakat yang dirugikan harus mendaftarkan judicialreview ke Mahkamah Konstitusi, sementara Menteri Keuangan RI dalam sebuah artikel publikasi Tempo.co tertanggal 25 januari 2012, sudah menyampaikan optimismenya bahwa dengan adanya Undang-Undang tersebut, proyek-proyek infrastruktur bisa lancar dilaksanakan dan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6.7% tahun ini bisa tercapai. Potret silang menyilangnya kepentingan dan kewajiban warga negara yang hak-haknya juga diakui oleh negara yang penyelesaiannya dilakukan lewat jalur politik yang berbasis partai.

Yang jelas, menyakiti sekelompok warga negara dengan membatalkan hak-hak ulayat yang hukum-hukumnya sudah ada sebelum kata Indonesia tercipta, berarti melanggar dasar negara sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Akankah kongres AMAN ke-empat ini akan menjadi suara bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Ataukah hanya sekadar silaturahmi untuk menjalin keakraban dan rasa kebersamaan yang menyuarakan rela berkorban demi kepentingan negara, serta cinta tanah air dan bangsa atau hanya untuk kepentingan politik sepihak?

Semoga itu adalah suara mereka yang cinta tanah airnya sekaligus mendapatkan keadilan sosial yang adalah hak mereka,masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat. [h@nsdw]

*PASITABE adalah akronim dari Padoe, Karunsi’e, Tambe’e; tiga suku asli yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun