Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Globalisasi: Sebuah Persimpangan

12 April 2012   08:14 Diperbarui: 3 Agustus 2016   16:39 692 0

Sebuah artikel di KOMPAS minggu 25 juli 2010 oleh Ilham Khoiri menuliskan catatan Goenawan Moehamad di Twitter  tentang Voltaire alias François-Marie Arouet (21 November169430 Mei1778) dari sudut pandang bagaimana Voltaire melihat perkembangan fanatisme beragama, hak-hak sipil dan kebebasan beragama waktu itu di Perancis.

Demikian GM: Hati Voltaire terguncang oleh kebuasan terhadap minoritas itu. Sejak itu, ia berjihad melawan fanatisme dan kebencian antar iman. Apalagi kekejaman atas nama agama beberapa kali terjadi. Voltaire memutuskan untuk angkat suara mendengar kekejaman atas nama Tuhan dan Agama itu. Ia meluncurkan buku-buku kecil untuk menembak. Tapi karyanya yg kekal adalah risalahnya tentang toleransi: “Traité sur la tolerance”, 1763. Bagian yang paling menyentuh adalah bagian akhir, sebuah doa, atau satu paragraph untuk Tuhan: 

“Paduka tak beri kami hati untuk membenci, tangan untuk saling bunuh. Berkahilah kami agar bisa saling menolong untuk menanggungkan beban hidup yg pedih dan sementara ini…[Tuhan,] hendaknya semua variasi, yg membuat zarah yg bernama manusia ini berbeda, tak akan jadi tanda kebencian dan aniaya.”

Sementara sebagian besar orang terjebak dalam rutinitas hidup sehari-hari, pandangan Voltaire yang sangat tidak popular seperti diatas hanya menjadi bagian dari wacana semata jika boleh dibilang tidak pernah dipikirkan benar-benar atau dikaji kesesuaiannya. Orang lebih merasa bahwa kehidupan keagamaan itu adalah bagian tertentu yang kadang-kadang hanya cocok diwaktu-waktu tertentu saja dan real life tidak sedramatis apa yang menjadi konsern sesungguhnya: sejalannya laku dengan mulut dan hati.

Ary ginanjar mengatakan dalam acara pelatihan ESQ di sebuah stasiun TV: Apa perbedaan antara sufi di mulut, sufi di hati dan sufi corporate (baca: sufi jalanan)? Perbedaannya adalah Sufi di mulut adalah mereka yang mulutnya selalu basah menyebut Nama Tuhan, setiap langkah, setiap hal, dia selalu menyebut Nama Tuhan, sementara sufi di hati adalah mereka yang setiap langkah, setiap hal, selalu menyebut Nama Tuhan di dalam hatinya, dan sufi corporate adalah mereka yang lakunya selalu jujur dan tulus melaksanakan apa yang teryakini.

Ketika puncak itu terhenti di mulut dan hati, biasanya lakunya selalu menurut simbol, dimana nilai-nilai itu diletakkan pada simbol-simbol untuk mengidentifikasikan sebuah keadaan atau suatu kekelompokan, maka jumlah adalah sebuah kemutlakan! Semakin banyak berarti semakin kuat dan semakin benar. Ini selalu sejalan dengan demokrasi dimana kekuatan jumlah adalah pembenar. Dan kekuasaan adalah kebenaran. Jumlah adalah segalanya. Sufi di mulut dan hati selalu dekat dengan kekuasaan dan kekuasaan itu raja dan raja itu simbol. Dan ketika simbol menjadi raja, ada disparitas antara kenyataan dengan harapan tingkat Iman. Kelakuan selalu jauh dari apa yang mejadi harapan dari Iman itu. Kuantitas menjadi lebih penting dari kualitas. Perbedaan tidak diakui dan diterima sebagaimana adanya sebuah perbedaan. Orang mengharapkan keseragaman simbol-simbol dan ketika berbeda bahkan ketika masih dalam bentuk sebuah argumen, permusuhan dan kebencianlah yang dituai. 

Pemujaan pada simbol-simbol tidak mengijinkan adanya sedikitpun ruang untuk dialog dan perbedaan dan karena itu selalu berakhir pada sebuah kondisi dimana kedamaian adalah barang yang sangat langka. Lebih daripada itu, pemujaan pada simbol-simbol mengecilkan arti manusia hanya pada simbol-simbol tersebut. Arti seorang manusia dinilai berdasarkan simbol yang dipakainya. Ketika simbolnya sama, dia teman dan ketika berbeda berarti musuh. Pada kondisi masyarakat seperti inilah orang-orang seperti Rachel Corrie tidak akan mendapatkan tempatnya.

Rachel Corrie (10 April 1979 – 16 Maret 2003), seorang Amerika, yang terbunuh pada usia 24 tahun terlindas bulldozer Tentara Israel (Israely Defence Forces_IDF) ketika mencoba mencegah bulldozer tersebut menghancurkan rumah seorang Palestina, Samir Nasrallah. Rachel Corrie adalah seorang sufi jalanan tulen. Dalam konteks yang terdekat dengan simbolisme, seorang sufi jalanan akan cenderung menepiskan simbol. Rachel Corrie, yang secara simbol-simbol, lebih dekat dengan orang Israel yang membunuhnya, tidak pernah kesulitan menentukan posisinya karena baginya identitas dan simbol-simbol hanyalah sebatas itu saja. Ada hal yang lebih tinggi dari itu dan karena itu kesufiannya meletakkannya disamping sang manusia yang tepat. Bagi seorang sufi jalanan seperti Rachel Corrie, lirik lagu Coffee & TV nya grup music Blur tidaklah selalu lurus.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun