Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Sedan Mewah itu Membuat Marah

21 April 2012   15:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:18 358 1

Menuju masjid untuk melaksanakan Salat Jum’at, saya minggir ke bahu jalan ketika ada sedan mewah (bermerk terkenal) yang ingin lewat. Namun, mobil itu berjalan pelan di belakang dua bapak-bapak yang juga menuju ke masjid. Bapak-bapak itu asyik mengobrol dan tidak menyadari kalau ada kendaraan di belakangnya.

Ya, jalan lingkungan menuju masjid dekat tempat kerja kami tak terlalu lebar, namun cukup untuk berpapasan dua mobil. Selalu saja ada yang parkir di jalan itu di hari Jum’at, sehingga jika berpapasan dengan kendaraan roda empat, para pejalan kaki dan kendaraan roda dua harus mengalah minggir ke bahu jalan yang tidak beraspal dan penuh kerikil.

Cukup sabar pengemudi sedan itu mengikuti bapak-bapak itu, sedangkan saya terus terang kurang sabar dan sedikit dongkol mengiringi di samping mobil melalui bahu jalan yang tidak rata. Boleh jadi kawatir mengagetkan jika membunyikan klakson, pengemudi itu membesarkan gas, sehingga suara mobil seperti meraung. Barulah bapak-bapak itu sadar akan keberadaan mobil yang sangat dekat di belakangnya. Mereka berdua minggir dan berhenti sambil memandangi pengemudi dengan mata tajam, terlihat marah. Setelah mobil lewat terlontar umpatan dari salah satunya, “Sombong!”.

Mereka masih menggerutu, ketika saya sampai ke dekat mereka. Saya tersenyum menyapa dan langsung menerima ‘curhat’nya, seolah-olah ingin diajak membicarakan pengemudi mobil itu. Ingin sedikit meredakan kemarahannya (juga meluapkan kedongkolan saya, hehehe….), maka saya katakan kondisi sebenarnya. “Sebetulnya sudah dari tadi mobil itu mengikuti bapak, suara mobilnya sangat halus, sehingga bapak tidak mendengarnya”.

“Mengapa tidak mengklason? Kita kan malah lebih senang jika diklakson”, kilah bapak itu. Tak ingin terlibat pembicaraan lebih jauh, buru-buru saya permisi mendahuluinya.

Saya memahami apa yang dilakukan pengemudi sedan itu. Namun sebetulnya ada solusi yang lebih baik, yaitu membunyikan klakson dengan ‘pendek’, tidak menerus, yaitu dengan sekedar ‘memukul’ tombol klakson di kemudinya, seperti kalau kita membunyikan klakson sebagai tanda terima kasih kepada kendaraan yang memberi kesempatan lewat kepada kita.

Serba salah dan serba benar

Boleh jadi kita dihadapkan pada kondisi seperti kejadian di atas, yaitu kondisi serba salah tanpa tahu solusinya. Memberi klakson salah, tidak memberi klakson kok lambat sampai ke tujuan, memperbesar gas salah pula. Hal yang ekstrim adalah bagai makan buah simalakama. Sudah tentu hal yang kita sukai adalah jika mengalami kondisi sebaliknya, yaitu serba benar, serba senang karena serba menguntungkan.

Tentang serba benar yang pernah saya alami adalah berkaitan dengan sedan juga, yaitu taksi. Berlebaran ke rumah famili di daerah Condet-Jakarta, waktu itu naik taksi dengan ongkos sebesar Rp 14.000,- . Pulangnya, sopir taksi tidak mau menggunakan argo, tetapi minta borongan. Ia minta Rp 20.000,- yang segera saya setujui. Istri saya ngomel karena secepat itu saya menyetujui. Saya diam saja, karena sudah mempunyai dugaan tersendiri.

Benar yang saya duga, masuk ke Depok di sore hari itu jalan sangat macet. Saya tidak kawatir dengan ongkos taksi, karena macet maupun tidak macet hanya membayar Rp 20.000,-. Malahan sopir taksi itu sendiri yang gelisah, menanyakan jalan alternatif lain yang lebih lancar. Saya jelaskan kalau tidak ada jalan lain selain yang sedang kami lewati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun