Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Disakiti Dahulu, Bersenang-senang Kemudian

12 Mei 2011   19:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:47 507 7
Jika kita dituduh atau disalah-salahkan terhadap sesuatu hal, kemudian terbukti kita yang benar, tentu kita akan senang, meski terlanjur sakit hati. Obat sakit hati itu bisa berupa kesenangan menikmati kesalahan pihak yang menuduh. Sebaliknya, pihak yang semula menyalahkan kita akan kecele dan normalnya sih akan merasa bersalah, malu sendiri. Ya, seperti kala masih kecil, saya merasa senang atau sangat menikmati jika seorang teman kecele memperdayai, atau saya yang sengaja membuatnya kecele.

Belum lama ini saya mengalami kasus serupa, menikmati kecelenya seseorang yang sebelumnya menyalah-nyalahkan saya. Seseorang itu juga bukan siapa-siapa, melainkan istri saya sendiri. Naluri purba kebiasaan menikmatikecelenya orang lainitu rupanya belum hilang juga dari hati ini. Berikut kejadiannya.

Sabtu lalu (7 Mei 2011) saya menghadiri undangan resepsi pernikahan di restoran Mang Kabayan, Jalan Margonda, Kota Depok, yang berjarak sekitar 5 km dari rumah. Bersama istri sampai sekitar jam 11.00 (undangan jam 11.00 s.d 13.00), namun halaman tempat resepsi yang tidak terlalu luas itu sudah penuh kendaraan roda empat. Saya terpaksa mencari tempat parkir di sepanjang jalan itu. Istri menolak turun lebih dahulu, karena mengira mudah mendapatkan tempat parkir.

Rupanya sepanjang pinggir jalan terdekat itu tidak ada tempat luang. Namun, saya mendapatkan juga, sekitar 50 m dari tempat resepsi, di depan bangunan berpagar lebar dan terbuka sebelah. Saya parkir di sebelah jalan yang masih cukup lebar untuk sebuah truk masuk ke bangunan itu. Namun baru saja mengunci kendaraan, datang satpam yang berbadan besar berwajah sangar dan bibirnya manyun menjungkit ke atas (maaf, saya teringat anjing buldog) mendekati saya dan melarang parkir.

Saya jelaskan kalau saya tidak mengganggu kendaraan yang akan masuk bangunan yang dijaganya, bahkan area yang saya tempati kelihatan jarang dilewati kendaraan. Dia sepertinya tidak mau tahu. Yah, terpaksa mengalah saja. Saya mencari tempat parkir agak jauh dan mendapatkankan di depan sebuah Bank.

Selama berjalan kaki menuju tempat perhelatan, istri saya ngomel saja, karena pakaian kondangan yang menyempitdi bagian bawah dan sepatu hak tinggi kelihatan sangat menyiksanya untuk berjalan jauh. Atau mungkin kawatir bedaknya luntur akibat keringatan berjalan berpanas-ria (nebak saja, enggan nanya, hehehe….).

“Tadi kan masih ada sedikit tempat parkir”, gerutunya, mengungkit-ungkit memanaskan telinga.

Saya tahu, memang ada sih sedikit tempat, namun menutupi kendaraan di depannya, apalagi tukang parkirnya sudah memberi isyarat kalau tempat parkir sudah penuh. Istri saya tidak melihat isyarat tukang parkir, yang dilihat hanya tempat yang kosong saja.

“Sudahlah Bu, sudah menjadi risiko, tidak selamanya selalu ada tempat parkir, kita terima sajalah!”, saya berusaha menentramkan istri saya, meski dalam hati jengkel juga di-paido.

Sampai di tempat perhelatan, tampak tempat yang tadi kosong sudah terisi oleh kendaraan lain, menjadikan istri saya makin senewen.

“Tuh kan pak, apa saya bilang, nyatanya orang lain bisa menempati!”

Saya diam saja, malas menanggapi. Ketika masuk ruangan resepsi, ternyata sudah banyak tamu undangan dan makin banyak saja yang datang. Setelah mengucapkan selamat kepada mempelai dan menikmati hidangan yang sekitar satu jam itu, kami segera pulang. Tiga orang tetangga yang semula naik angkot ikut pulang bersama kami. Keluar gedung saya kaget, karena praktis halaman penuh sepeda motor, tidak tersisa tempat kosong, bahkan untuk lewat orang saja kesulitan.

Saya lihat kendaraan yang mengisi parkir yang dipermasalahkan istri saya tertutup di sekelilingnya oleh sepeda motor. Sudah pasti kesulitan untuk keluar. Dengan penuh rasa kemenangan saya tunjukkan keadaan itu kepada istri saya.

“Tuh kan bu, coba kalau kita parkir di situ, boleh jadi satu jam masih menunggu, baru bisa pulang!”.

Terlihat para tamu undangan yang lebih dahulu datang dan yang akan pulang seperti kebingungan, karena tidak mungkin mengeluarkan kendaraannya yang sudah tertutup banyak motor itu. Berjalan menuju tempat parkir di bank, istri saya tidak ngomel lagi, bahkan terlihat cerah. Hingga kami putar arah, masih terlihat para tamu yang bergerombol menunggu. Lima belas menit kami sudah sampai ke rumah.

Mengapa seseorang mudah menyalahkan? Tidak lain karena yakin merasa benar dan kurang sabar menyampaikannya. Namun setelah melalui pedebatan dan pembuktian dengan fakta-fakta, akhirnya bisa ketahuan benar tidaknya. Kasus yang saya alami lebih menguntungkan, tanpa berdebat, fakta sudah berbaik hati membuktikan kebenarannya sendiri.

Merasa benar boleh-boleh saja. Namun memaksakan ‘kebenaran’-nya itu yang berpotensi menjadi masalah, yang bisa saja membuatnya kecele dan malu sendiri. Konfirmasi atau diskusi adalah cara elegan dan aman terhadap risiko kecele dan penyesalan, bahkan Tuhan dan utusanNya pun tidak memaksakan ajaran kebenarannya kepada umatNya, Tuhan hanya menunjukkan kalam-Nya dan mempersilahkan umatNya membuktikan, menemukan dan memilih sendiri kebenarannya. Apa jadinya jika Tuhan main paksa seperti watak manusia? (Depok, 11 Mei 2011)

----------------

Sumber Ilustrasi: http://parapsyco.files.wordpress.com/2011/01/adrt.jpg

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun