Lampau, kita pernah sedekat nadi sebelum sejauh matahari. Layaknya penggalan lirik lagu lawas itu.
Kamu, adalah rindu yang entah. Rasa yang kosong. Sekosong mengertiku tentangmu. Bak teka-teki yang belum bisa kupecahkan.
Benang kusut yang tak pernah usai kuburai. Kita pernah berbagi rasa sakit sebelum semuanya menjadi rumit. Saling menguatkan di masa sulit, meski berakhir perpisahan tanpa pamit.
Pernah saling menjadi penopang jikalau salah satu tumbang. Berjanji tak akan pernah meninggalkan, meski akhirnya salah satu memilih menghilang.
Seonggok daging di dalam sini terasa ngilu, meski hanya sedikit, meski hanya secuil, nyatanya asa itu masih ada. Tak menampik bahwa diri ingin agar kita bisa baik-baik saja. Kembali seperti sedia kala. Seperti semula.
Ruang tempat kita berbagi, bercanda, dan berbalas pesan hingga larut malam kini menjelma ruang yang sama sekali tak ingin kujamah. Bukan karena aku membencimu, bukan. Hanya menolak percaya bahwa tak ada lagi kita-- bukan, aku dan kamu tak pernah jadi KITA selama ini.
Aku dan Kamu, hanya dua orang yang saling menompang, mencari inang sebagai tempat menumpang. Aku berpikir tak ada yang lebih mengerti aku selain kamu, pun sebaliknya, tak ada yang lebih mengerti kamu selain aku.
Namun, nyatanya itu semua keliru. Aku tak pernah benar-benar memahamimu. Kamu, pun begitu.
Tak perlu saling meminta maaf, ini bukan salahmu, juga bukan salahku. Bukan kita yang harus berdamai. Melainkan ego kita masing-masing. Berdamai dengan diri masing-masing. Memaafkan diri sendiri, lalu bangkit lagi, berjanji tak akan ada keliru kedua atau kesekian kali.
Tak ada yang salah, tak ada yang bisa menghalau rasa. Aku yang melupa. Absen dari perintah-Nya, hingga mudah terbuai rasa. Menjatuhkan hati sebelum waktunya.
Pada akhirnya, kita bukan saling meninggalkan, hanya kembali pada awal. Tak mengenal. Lalu, aku tak mau lagi kecolongan, biar kuikhlaskan karena aku percaya janji Tuhan.
Tak perlu risau, tak perlu resah, perihal jodoh, tak perlu dikejar, kau hanya harus memantaskan. Memantaskan diri dan mempersiapkan untuk takdir mana yang lebih dulu melamar. Jodoh atau kematian.
Satu hal lagi, jangan pernah lupa. Kita adalah saling yang menjadi asing.