Jika kita berbicara tentang konflik antara Israel dan Palestina, tampak seperti sinetron dengan ribuan episode yang bahkan kita tidak tahu kapan akan berakhir dan bagaimana akan berakhir. Entah apakah ini disengaja atau tidak, yang jelas konflik ini telah menguras banyak biaya, waktu dan tenaga seluruh bangsa di dunia. Di abad 21 dimana Hak Azasi Manusia dan perdamaian dunia didengungkan terus – menerus tetapi masih ada saja konflik seperti demikian ini.
Memang konflik antara kedua bangsa ini telah berlangsung begitu lama. Dimulai dari zaman kenabian yang tertulis di kitab suci agama samawi, hingga masa tank – tank canggih dan drone yang digunakan untuk bertempur satu sama lain. Meskipun demikian salah satu titik penting konflik ini adalah tatkala bangsa Israel mengumumkan pendirian Negara Israel tahun 1948 oleh David Ben Gurion yang kemudian menjadi Perdana Menteri Pertama Israel. Pengumuman ini sendiri didahului adanya pernyataan sebelumnya bahwa Bangsa Yahudi sebagai sebuah bangsa yang besar haruslah memiliki tanah air sendiri. Masalah berlanjut ketika kemudian tanah di wilayah Arab yang telah ditempati penduduk Palestina disebut sebagai tanah air mereka. Eksodus besar – besaran pun terjadi dari Eropa. Eksodus makin besar tatkala Adolf Hitler mengumumkan pemusnahan Kaum Yahudi yang dianggapnya adalah ras rendahan.
Eksodus ini bukannya tanpa tentangan, bangsa Arab menentang dan menganggap pernyataan tentang tanah air Yahudi itu merupakan bentuk perampasan tanah bangsa Palestina. Namun bangsa Eropa, yang dimotori Inggris memilih mendukung eksodus tersebut mengingat bangsa Yahudi yang sering bermasalah dengan warga asli Eropa, sehingga dengan pemindahan orang Yahudi ke Palestina bisa mengurangi tensi ketegangan di Eropa yang sudah dilanda Krisis dan Perang Dunia.
Tanah Palestina sendiri pada masa itu berada dalam kolonialisme Inggris, sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya mudah saja Inggris memindahkan kaum Yahudi ke Palestina. Ketegangan memuncak tatkala Inggris mendukung pembentukan Negara Israel yang dilanjutkan dengan pengusiran warga Palestina dari tanah mereka sendiri. Sejak saat itu perlawanan dan peperangan terjadi di Palestina, namun karena Israel yang terus memenangkan pertempuran sehingga semakin banyak warga Palestina yang terusir dari tanah mereka.
Saat ini perundingan masih terus berlangsung antara kedua pihak. Dengan difasilitasi oleh beberapa negara, perundingan ini berharap dapat menemukan solusi penghentian konflik keduanya. Salah satu butir solusinya adalah pembentukan dua negara (Two States Solution). Dengan butir kesepakatan ini maka tanah Palestina akan dibagi menjadi dua negara, yakni negara Israel dan Palestina. Namun hingga saat ini perundingan masih menemui jalan buntu karena kedua belah pihak memperdebatkan batas wilayah dan posisi Yerussalem. Sungguh wajar jika batas wilayah menjadi masalah, karena jika dibagi, tidak ada acuan yang menguntungkan kedua pihak, pasti merugikan salah satu pihak. Jika mengikuti Israel wilayah Palestina sangat sempit, jika ikut Palestina Israel kehilangan tanah, jika dibagi rata keduanya rugi karena ada wilayah yang lepas.
Jika kita pahami dengan teliti, memang pembentukan dua negara yang dianggap banyak pihak sebagai solusi terbaik, justru menimbulkan masalah baru, antara lain wilayah dan kota strategis yang nyatanya masih menjadi perdebatan. Yang saya heran, meskipun solusi ini menimbulkan masalah baru dan menyebabkan kebuntuan perundingan, mengapa tetap dipaksakan? Bukankan hal ini justru menjadikan konflik keduanya tidak kunjung selesai? Selain itu, pencapaian solusi dua negara memerlukan tokoh yang dapat didukung kedua pihak. Dahulu sempat ada Yitzak Rabin (Israel) dan Yasser Arafat (Palestina) yang bisa menyamakan pendapat dan persepsi sehingga ada peluang rekonsiliasi. Namun selepas ditinggal keduanya, hubungan kembali menjadi rumit karena tokoh yang ada sekarang belum mampu saling menyamakan persepsi untuk rekonsiliasi.
Kita sudah diteladani oleh sikap Nabi Muhammad saat membangun Madinah. Apakah beliau mengusir kaum asli Madinah? Atau membagi Madinah menjadi dua negeri? Jawabannya adalah tidak. Beliau justru menyerukan persatuan dan rekonsiliasi antara kedua pihak, dimana kaum Asli Madinah bukan hanya muslim, namun banyak dari etnis lain termasuk kaum Yahudi. Nabi Muhammad justru membuat Piagam Madinah, yang salah satu isinya adalah menjaga keamanan dan keselamatan semua pihak, baik itu kaum asli dan pendatang. Dalam Piagam tersebut juga disebutkan bahwa setiap yang bersalah harus dihukum sesuai hukum yang berlaku. Mengapa hal ini tidak dijadikan contoh dalam penyelesaian konflik ini? Saya tidak tahu, para diplomat lebih tahu alasannya.