[caption id="attachment_58133" align="alignleft" width="144" caption="arit, alat pertanian"][/caption] Sejenak kita lupakan kekhawatiran tentang uang kita yang ada di
ATM, dari pencuri-pencuri gentayangan, sebab BI dengan cadangannya yang melimpah sudah menjamin simpanan kita. Hanya sering-seringlah memeriksa saldo anda, agar apabila ada kejanggalan bisa secepatnya anda laporkan. Kehilangan uang keringat bertahun-tahun adalah musibah. Tetapi ada musibah yang lebih besar dari itu, dan dapat dialami secara massal oleh masyarakat, yaitu, kehilangan nasib. Sore itu adalah hari yang terang di awal tahun dua ribu sepuluh. "Kamu anak Hardi?" Laki-laki tua itu setengah menghardik ketika menjabat tanganku. Sebenarnya ia sedang berusaha meyakinkan bahwa ia adalah orang yang harus dihormati. Karena Bapakku, Hardi, sudah berumur tujuh puluh lima tahun, dan seorang pensiunan guru. "Ya, Mbah". Jawabku. "Sini,
Le, kupagari sekalian". Aku hanya menebak maksudnya. Ia menyuruhku mengambil sebuah kursi dan menyuruhku duduk di atasnya. Setelah aku duduk tenang, ia mengurut kepalaku. "Bismillah .....". Ia pun merapalkan mantera-mantera yang tidak aku dengar. Beberapa lama kemudian ritual itu selesai. "Nanti ada bacaan-bacaan yang harus kamu amalkan." Katanya. Ia pun duduk kembali di kursi tamu. Aku pun duduk dan berbincang-bincang sejenak dengan Si Mbah. Si Mbah, adalah seseorang yang memiliki kekuatan yang lebih dibanding orang-orang biasa. Setidaknya secara fisik. Di usianya yang mendekati delapan puluh tahun, tubuhnya masih tegap kekar dan sorot matanya tajam, seperti seorang tentara. Dulunya memang ia seorang tentara. Ia menunjukkan foto Presiden Soekarno yang sedang sungkem pada ibunya. "Ini Bu Ida, " Katanya. Ibunda Soekarno memang bernama Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keturunan bangsawan Bali. "Lihat foto ini, aku salah satu yang ada di belakangnya " Katanya bangga. Tetapi, aku tidak yakin benar tentang hal itu. "Ada tiga marinir yang diberi wasiat ini (foto tersebut, beserta warisan supranatural). Yang dua sudah meninggal, tinggal aku saja. " Syukurlah, Mbah. Mbah masih sehat hingga sekarang, kataku dalam hati. Mengenai warisan supranatural itu, aku kurang percaya. Pada saat aku pamitan dari rumah Ibu mertua, aku merogoh selembar uang duapuluh ribu rupiah, dan kutitipkan pada Ibu untuk diberikan pada Si Mbah. Kata Bapak, Si Mbah, adalah anggota
KKO, dan tergabung dalam resimen khusus
Cakrabirawa. Pasukan pengawal Presiden, paspampres zaman dulu. Setelah 1965, ia pernah pulang kampung, untuk menjadi buruh serabutan. Ia dapat mencangkul lahan dua kali lebih cepat dari orang biasa. Ia bisa memindahkan gundukan pasir lebih banyak dalam waktu yang sama. Sudah lama ia hidup dari kota ke kota, membagikan berkah supranaturalnya itu, yang entah berkhasiat atau tidak. Bagi yang dikunjungi, sesungguhnya itu adalah isyarat agar mereka memberikan sepuluh-duapuluh ribu untuk menyambung hidupnya yang senja. Ia hanyalah secuil kisah. Dari berbungkah-bungkah kisah para wong cilik di desaku. Yang harus direnggut nasibnya oleh sebuah peristiwa di malam temaram 1965. Orang-orang menamainya
gestok, gerakan satu oktober. Peristiwa itu menjadi penanda waktu yang penting, untuk menentukan kapan kejadian-kejadian lain terjadi. Misalnya, kakak perempuanku lahir satu tahun setelah gestok, berarti 1966. Seseorang meninggal dua tahun sebelum gestok, berarti 1963 dan seterusnya. Di masa-masa kecilku, aku tahu Bapak sering membantu mengurusi berkas-berkas kelahiran anak-anak desa yang bapaknya
terlibat. Anak-anak tersebut orang tuanya diganti dengan orangtua yang bersih, tidak terlibat. Ini dimaksudkan agar anak-anak tersebut tidak terhalang dalam soal sekolah dan usaha menjadi
pegawai negeri, suatu cita-cita umum di desa. Yang disebut terlibat adalah, orang-orang yang namanya tercantum secara sadar atau tidak sadar di daftar hitam yang disita dari kantor
BTI (Barisan Tani Indonesia), sebuah organisasi
underbow PKI. Waktu itu BTI memang organisasi biasa, dimana aparat desa yang tergabung mendaftar para warga seperti mendaftar arisan. Warga desa, yang rata-rata buta huruf tidak akan menyangka bahwa selembar kertas akan membelenggu nasib mereka sampai puluhan tahun kemudian. Bukanlah Bapak simpatisan PKI. Ia adalah seorang
marhaen, dan Ibu anggota
Aisyiyyah, jamaah ibu-ibu Muhammadiyah. Di hari hari menjelang peristiwa itu, Pak Camat yang condong ke PKI datang ke rumah membawakan pistol, karena bapakku menentang pengambilan tanah-tanah desa oleh BTI. Di hari-hari itu pula, konon pintu rumah disilang merah oleh orang tak dikenal. Bapak hanyalah mata saksi sejarah apa adanya, dan ia tidak harus menjadi pendendam.
KEMBALI KE ARTIKEL