**********************************************
Dear Diary,,
Dulu, ada seekor burung yang datang kepadaku. Dia lapar, dan memintaku memetikkan buah segar. Burung bercerita bahwa dia bukanlah burung dari daerah ini. Dia terbang dari timur ke barat untuk menimba pengalaman hidup. Burung muda, penuh semangat hidup, dan--dari tutur katanya--dia sangatlah bijakdan humoris.
Aku membawanya ke kebun buah yang aku kenal. Burung itu--dari matanya--memancarkan kegirangan serta syukur setelah melihat bermacam aneka buah ranum nan segar. Dengan sisa-sisa tenaganya, burung itu mulai berjalan-jalan menelusuri kebun itu. Melihat ke kanan, menengok ke kiri, sesekali mendongakkan kepala menatap ranumnya buah di atasnya. Belum,,, burung itu belum mencoba satu pun buah di situ. Dia hanya berkicau ke sana kemari. Berjalan dari satu ranting ke ranting yang lain.
Akhirnya dia menemukan satu pohon yang rindah, indah, buah lebat nan ranum. Terlihat elok warnanya, dan konon katanya, lezat nan segar nian rasanya. Sang burung pun memintaku memetikkan buah itu untuknya. Merasa sebagai tuan rumah yang baik, aku pun memetiknya. Tak apalah,, toh burung itu kecapekan. Terbang setinggi itu pasti amat sangat menguras tenaganya. Lagipula, aku merasa mulai akrab dengannya. Aku merasa, burung itu akan menjadi sahabat setiaku.
Aku mulai mendaki pohon itu. Sudut demi sudut panjat termudah kulalui. Mudah, berarti aku mengambil jalur aman yang pula berarti jalur yang lama. Tak apalah kubilang. Aku tak punya sayap selebar sayapnya. Tak punya cakar yang dapat mencengkeram erat untuk berpijak. Lenganku yang rapuh, tungkaiku yang lemah, bahkan tidak lebih besar dari ranting pohon itu. Namun, demi temanku itu, kulalui sajalah... Kulewati sarang lebah, kurelakan beberapa bagian di hinggapi gatalnya semut. Inchi demi inchi kudaku, jalur termudah belum tentu aman dan nyaman. Namun dari jalur itu, aku bisa melihat berbagai sudut berbahaya dari pohon itu.
Akhirnya, sampailah aku di puncak pohon dengan buah teranum. Tempat dimana semua hal dapat terlihat jelas. Tempat dimana terlihat kelopak demi kelopak bunga bermekaran dan buah-buah mulai meranum. Kugapai satu buah teranum, kemudian aku turun untuk kuberikan kepada sahabatku.
Dinikmatinya buah itu, dan memang lezat nan segar rasa katanya. Dia menawarkanku, namun aku menolak. Melihatnya yang sangat suka buah itu, aku tak segan mengatakan kepadanya. Kalau dia suka, aku tak akan menyentuh buah di pohon itu. Walaupun pohon itu tumbuh di daerah jalan-jalanku, namun akan kujaga pohon itu untuknya.
Maka burung sahabatku pun menitipkan pohon itu kepadaku, beserta memintaku untuk menyemai bijinya. Kulakukan semua itu. Kujaga pohonnya, kusemai bijinya. Kurawat dia baik-baik. Meminimalisir diri untuk tidak menyentuhnya. Tidak menyentuh buahnya, atau batang pohonnya sekalipun.
Suatu saat, tiba bagiku saat dimana aku kehausan. Tiba saat dimana aku begitu lelah dan begitu kekeringan. Di saat seperti itu, datanglah selembar surat dari sahabatku, si burung bijak tadi. Dia bilang, dia menghadiahkan itu untukku. Aku, di tengah haus dan dahaga lelahku, mati-matian meyakinkan bahwa pohon itu masih tetap miliknya. Pohon yang tak akan kusentuh buah ataupun batangnya, kecuali dia memintaku memetikkan untuknya. Sang burung bijak bilang,"Engkau lebih layak, aku telah berada pada kebunku."
Tak ada yang lain kecuali kujaga dan kurawat pohon itu. Sesekali kunikmati buahnya, hanya di saat dahaga, lelah dan haus telah membawaku hingga ke ujung jurang yang teramat dalam. Saat itu, maka aku akan menikmati sedikit kesegarannya, agar aku bisa berpegangan pada sisi-sisi jurang itu. Sekedar bertahan hidup lebih lama. Tak ada sentuhan, tak ada panjatan, tak ada apa pun. Aku takut sahabatku datang sewaktu-waktu. Aku takut sahabatku kecewa karena aku tidak bisa menjaga hadiahnya dengan baik.
Entah bagaimana mulanya, aku merasa ada burung lain yang mendekati pohonku. "Pohonku"? Entahlah, aku juga tidak pernah sadar, sejak kapan aku mulai menyebutnya "pohonku". Burung ini rupanya tertarik dengan kesegaran dan keranuman pohonku. Aku, pada mulanya, diam saja. Toh pohonku punya sistem pertahanan diri yang hebat.
Apa dinyana, sekali dua kali pertama, burung baru ini terkena durinya, Lama kelamaan dia mulai terbiasa. Namun, tetap dia masih merasakan tiap rengkah tusuk duri. Hingga datanglah burung berikutnya. Dengannya, duri demi duri diruntuhkannya. Aku mulai gerah, mulai memagari pohonku itu. Dengan apa yang aku bisa, tapi ternyata pagar yang kutanam melukai akar pohon itu. Satu tanganku tetap berpegangan ke tepi jurang tempatku berdiri, satu tanganku berusaha mengusir burung terakhir sambil berusaha memperbaiki pagar dan mengobati akar luka itu.
Semakin parah. Ya, luka di akar itu semakin parah dan pagar menancap terlalu dalam. Burung terakhir, menggunakan cakarnya dengan lembut. Menggunakan paruhnya dengan elegan. Ya, saat itu hujan deras. Teramat deras. Siapa pula yang peduli dengan seorang yang bertangan dan tungkai rapuh. Satu laras lengan lemah saja yang dia gunakan untuk pagar, obat, dan perlindungan. Satu laras lainnya, ia gunakan sebagai pegangan terkuatnya.
Maka sang pohon pun mulai terangkat, mulai condong ke burung baru itu. Longsor demi longsor membawanya semakin condong. Hingga tak kuasa, kulepaskan peganganku, kucabut pagarnya. Terbebaslah pohon itu dengan burung baru, dan tenggelamlah aku ke jurang bersama pagar itu.
------
"Belum, aku belum mati."
Kutemukan tubuhku di dasar jurang. Penuh luka. Lebam. Darah. Tak bisa dibedakan lagi. Pagar itu rupanya menyelamatkanku. Gesekannya dengan dinding jurang mengurangi kecepatan jatuhku. Hingga debam tak terlalu terdengar. Terdengar pun, masih kalah dengan riang tawa di atas sana.
-----
Maafkan aku sahabat, aku jatuh luka remuk. Aku tak tahu berapa lama yang kubutuhkan untuk naik ke puncak sana. Semoga hadiahmu baik-baik saja, dan berguna bagi siapapun. Berguna baik, tidak rusak dan termanfaatkan dengan ahsan.
***************************************************************************
Sepanjang kerajaan monarki dan republik
Tukang parkir, betapa bagus kendaraan yang menghampirinya, ia rela saat pemilik mengambilnya. Saat mati-matian di kalahkan pencurinya pun, dia harus rela dituntut pemiliknya.
*********************************************
Senyum dan tetes air mataku atas surat itu. Tintaku berwaktu silam, kini aku membaca dongengnya.