Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dilema Kereta Api Indonesia

7 Februari 2011   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:50 266 0
Kemarin saya, dengan terpaksa, melakukan perjalanan dengan jasa Kereta Api di siang hari. Saya saat itu memakai Kereta Api kelas bisnis. Berikut ini saya akan menceritakan pengalaman saya tentang perjalanan, apa yang ada di pikiran saya selama di perjalanan, dan apa yang ingin saya katakan kepada semua orang tentang kondisi perkeretaapian kita.

Saya mendapat jatah gerbong nomor satu. Itu berarti gerbong paling ujung belakang jika KA berjalan menuju Jakarta. Saya sempat terpikir kata-kata bulek (tante dalam bahasa jawa),"Kalau naik Kereta Api Bisnis, jangan ambil gerbong ujung. Disitu bakal jadi terminal penjual asongan."

Saya sempat berbaik sangka dengan kondisi kereta yang pada awalnya memang tenteram, walaupun kata-kata bulek terus terngiang-ngiang di kepala. Karena, 2 jam pertama perjalanan memang tenteram, tenang, dan teratur. Hingga tibalah Jam ketiga perjalanan.

Saat itu, para penjual mulai mempertontonkan kebolehannya. Menawarkan barang dagangannya dengan suara lantang, nyaring, merdu, dengan segala nada dan iramanya. "It doesnt matter", kata hati saya. Karena saat itu para pedagang memang hanya lewat, muter dan balik lagi ke gerbong depan untuk menjaja barang dagangannya. Dan saat itu memang sedang ada di stasiun. Saya berharap saat Kereta Api berjalan, maka sang penjual turun dan suasana kembali nyaman.

Kereta pun berjalan. Namun ternyata sang penjual masih saja menjajakan barang dagangannya. Hilir mudik tak karuan. Dan setiap kereta berhenti di stasiun, setiap itu pula bertambah pedagang yang naik. Entah karena prosedur perkereta-apian memperbolehkan fenomena ini atau petugasnya yang acuh tak acuh dengan kejadian seperti ini atau memang ini adalah kejadian yang sangat biasa terjadi dan diterima umum apa adanya.

Bukan bermaksud menjustifikasi, tapi apa iya boleh dan diperbolehkan, jika gerbong yang sejatinya untuk penumpang malah dijadikan terminal bagi para pedagang asongan. Mari kita bayangkan bersama, lorong kosong antara tempat duduk kanan dan kiri, sepanjang lorong kosong di gerbong dijadikan tempat istirahat para pedagang. Tidak hanya sebentar, tapi mencapai separuh waktu perjalanan! Dan tidak cuma satu-dua pedagang, banyak sekali. Sepanjang lorong, benar-benar sepanjang lorong penuh!

Saya pernah mengalami hal yang mirip saat saya menumpang kereta ekonomi. Bedanya, di kereta ekonomi ini yang memadati gerbong adalah penumpang. Namun, di kereta bisnis kali ini yang memadati adalah pedagang. "Saya membayar untuk layanan bisnis man! Bukan layanan ekonomi!"

Saya sebenarnya cukup gerah juga dengan keberadaan penumpang gelap. Tak ada tiket, dan mengatur penumpang bertiket dengan sekehendak hatinya.

"Mas, kursinya dibalik aja ya... biar saya bisa tidur!", Kata seorang penumpang saat saya menumpang kereta bisnis.

Kira-kira apa cocok, apa layak, kata-kata seperti itu muncul dari seorang penumpang gelap tak bertiket? Memang kita diajarkan toleransi. dan saya pun memberikan toleransi dengan membiarkannya dan memberikan ruang kepadanya walaupun dengan tidak mengabulkan keinginannya. Tapi kata-katanya itu lho... hmm... bikin nggak nahan.

Etika yang berjalan di kepala saya bilang begini,"Jika saya yang ada di posisi penumpang gelap, maka cukup bagi saya bisa menumpang dan selamat sampai tujuan tanpa terusir dan tanpa membuat orang lain merasa terganggu. Itu sudah cukup buat saya."

Saya juga heran dengan petugas kereta. Sepertinya, menumpang tanpa tiket di Kerata Api memang diperbolehkan. Hanya dengan membayar Rp 50.000,00 kepada petugas, maka Anda dapat menikmati layanan kereta sama baiknya seperti Anda membayar Rp 150.000,00 sebagai harga tiket di loket. Bukankah ini luar biasa? Apakah memang prosedurnya seperti ini atau memang ini menjadi hal yang biasa sehingga diperbolehkan?

Saya sebenarnya menghadapi dilema jika melihat fakta perkereta-apian di negeri ini. Kalau lihat para pedagang, kok ya kasihan sampai segitunya. Kalau lihat penumpang gelap, ya emang sih sarana transportasinya keknya emang belum mencukupi. Kalau lihat petugas KA yang nrima duit, ya katanya PT KAI merugi. Tapi di sisi lain,, hm....

Dalam pemahaman saya, dengan kekuatan monopoli perkereta-apian oleh PT KAI, seharusnya dan idealnya nggak ada yang namanya rugi bagi PT KAI. Kalau mau menaikkan harga tapi layanannya masih gitu-gitu aja keknya penumpang pun enggan dan makin enggan. Karena, dengan tingginya harga KA saat ini, dan harganya hampir sama dengan tiket pesawat, penumpang akan lebih memilih pesawat yang jauh lebih hemat waktu.

Tak tahulah saya dengan semua itu. Saya hanya bingung dengna fenomena ini. Semoga kita semua mendapat solusi terbaik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun