Rebutan lahan parkir kayaknya bukan hal baru di negeri ini. Berita tentang bentrok antargeng karena memperebutkan lahan parkir juga sering kita lihat di televisi atau kita baca di media massa, bahkan tak jarang memakan korban jiwa. Kalau di Ibukota, mungkin nama Hercules sangat familier, sang penguasa parkir di Tanah Abang. Dan bukan rahasia kalau pengelolaan parkir ini ada kongkalikong dengan pihak keamanan atau pemerintah.
Kini, fenomena tukang parkir ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi terjadi juga di kota-kota kecil tingkat kecamatan. Profesi sebagai juru parkir pun mulai banyak bermunculan. Semakin banyak pemilik sepeda motor, profesi ini semakin menjanjikan.
Beberapa waktu lalu, saya sempat ngobrol dengan salah seorang sales sepeda motor, untuk kota kecil seperti Mojosari (Kab. Mojokerto, Jawa Timur) dia ditarget menjual sebanyak 20 unit motor setiap bulannya. Kalau dengan asumsi ada 5 sales setiap dealer, dan ada 5 dealer di Mojosari, maka dalam sebulan kendaraan akan bertambah sebanyak 500 unit motor atau 6.000 unit dalam setahun.
Memang, saat ini pengendara motorlah yang merajai jalanan. Akan tetapi, kalau sudah diparkir, coba tebak, siapa rajanya? Ya. Tukang parkir. Untuk kota kecil tingkat kecamatan seperti Mojosari, untuk sekali parkir di toko swalayan yang dianggap paling besar di sini, kita harus membayar Rp 2.000,- Untuk hari-hari besar, seperti menjelang Iebaran, biaya parkir bisa lebih mahal.
Ketika ngobrol dengan istri, untuk mengukur mahal atau tidaknya biaya parkir, saya membandingkannya dengan harga tempe. Di Mojosari, dengan uang Rp 500, kita sudah bisa membeli satu potong tempe. Tentu, harga Rp 2.000,- sekali parkir itu mahal.
Anehnya, untuk beli buah di lapak pinggir jalan, sepeda saya parkir tepat di samping saya sambil memilih buah-buahan, ketika pulang, itu pun ditarik biaya parkir. Saya ngerasa ini kok lebih ke pemalakan daripada parkir ya... Untuk menyiasati ini, saat keluar berdua sama istri, sepeda tetap saya tongkrongi di pinggir jalan. Dan istri saya persilakan membeli keperluannya. Dengan cara ini saya tidak perlu membayar parkir.
Sempat sih terbetik ingin menelusuri sebenarnya dana parkir ini lari ke mana, tapi kayaknya saya bisa menebak akhir dari penelusuran ini. Pastilah ada pihak keamanan atau penguasa yang melindungi. Karena itu, kepercayaan diri tukang parkir ini cukup tinggi.
Sekali waktu, saat membeli pil vitamin untuk bapak di sebuah apotek, saya pernah menolak untuk membayar parkir. Karena hampir setiap Minggu saya ke apotek nggak ada tukang parkirnya. Ini karena apotek lagi ramai, mereka datang minta biaya parkir. Padahal, nggak ada juga yang ditertibkan atau diamankan. Sekali lagi, saya ngerasa ini kok lebih ke pemalakan daripada parkir ya...
Yang lebih menjengkelkan lagi sebenarnya setiap kali selesai bayar pajak kendaraan bermotor setiap setahun sekali. Karena setiap membayar pajak ini selalu ada item tambahan pembayaran parkir berlangganan sebesar Rp 25.000,- (Bulan Mei 2013). Ketika pulang pun dikasih stiker parkir berlangganan oleh petugas Samsat, yang harus ditempelkan di kendaraan. Pertanyaannya, kenapa kita masih harus bayar parkir kalau memang setiap tahun masih harus bayar parkir berlangganan.
Mungkin angka Rp 25.000 itu tak seberapa kalau dibandingkan dengan kata “parkir berlangganan selama setahun”. Apalagi kalau harus bayar parkir Rp 2000 setiap hari, tentu angka Rp 25.000 ini tak seberapa. Tetapi secara akumulatif, dengan asumsi kendaraan bertambah 500 unit setiap bulan, dalam setahun berarti ada dana parkir sekitar 150 juta hanya untuk wilayah Mojosari dan sekitarnya. Angka ini bisa jauh lebih besar, karena banyak juga yang membeli kendaraan dari luar kota.