Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sebelum Aku Pergi...

20 Maret 2014   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:43 161 0

Alya Nindya Rosa, 17 tahun. Kelas XI SMAN 78 Jakarta. Cantik, berprestasi, ketua OSIS, pemandu sorak, model terkenal, pemenang Top Singer 2010 dan 2011, 3 kali berturut-turut menjadi juara parallel di sekolah, menjuarai Olimpiade Bahasa Inggris tingkat Propinsi. Baik hati, supel, mudah bergaul dan mempunyai banyak teman. Itulah Aku.

Narsis mungkin menulis seperti ini, tapi kau harus tau, meski aku seperti ini aku bukanlah anak remaja yang suka main hura-hura dan bersenang-senang belaka. Meski nggak bisa dibilang alim, namun aku cukup lurus untuk tak mengenal minum-minuman keras.

Tapi semua itu tak bertahan lama. Waktu telah mengubah segalanya. Ya, waktu. Aku masih ingat malam itu. Malam ketika aku benar-benar merasakan kesakitan di bagian tubuhku. Dan saat itu aku baru tahu, bahwa aku menderita kanker darah. Aku sungguh tak menyangka. Aku frustasi, depresi. Aku benar-benar mengalami mental breakdown.

Sejak saat itu hidupku berubah, pergaulanku berubah, prestasiku pun berubah. Aku mulai bermain dengan anak-anak PUB, minuman keras, dan obat terlarang. Mula-mula aku merasa asing, namun lama-lama aku bergantung pada mereka. Kini tak ada lagi Alya si Juara dan si Pemandu sorak. Kini yang ada hanyalah Rose, si Pemabuk Ulung.

Semua itu berlangsung cukup lama. Hingga pada waktu malam yang mendung, aku mengalami kejadian yang sangat mengerikan. Malam itu, Tony, anak PUB yang sering menemaniku mabuk-mabukkan, mengajak aku keluar. Aku tak tau apa yang ia lakukan ketika tiba-tiba ia mengarahkan mobilnya menuju jalan yang sepi dan gelap. Ketika kutanya, ia justru tertawa. Sungguh aku takut luar biasa.

Dengan sangat nekat aku turun dari mobilnya. Tak kusangka ia sangat marah. Dia turun dari mobilnya dan mengejarku sambil membawa pisau. Entah apa maunya, yang jelas aku bisa mati jika pisau itu mengenaiku. Sambil menjerit aku berlari dan berlari. Aku hampir putus asa. Tenagaku sudah habis. Tempat ini terlalu sepi untuk dilewati seseorang. Sedangkan Tony sudah sangat dekat. Aku pun terjatuh. Aku hanya bisa berteriak kini. Berlari sudah tak kuat lagi. Lalu aku ingat Tuhan dan segera aku mohon pertolonganNya.

Tiba-tiba ada mobil yang melintas sangat pelan. Tony langsung membalikkan badan di pepohonan, takut ketahuan. Lalu mobil itu berhenti tepat di sampingku. Begitu mobil dibuka aku ternganga, orang-orang yang berada di dalam mobil pun ternganga. Ketka kulihat Tony mulai bersiaga, dengan tatapan yang sangat tajam, aku segera minta bantuan pada orang-orang yang ada di mobil.

Mereka langsung memberiku tempat duduk di depan. Ya, Aku sudah tahu, mereka mana mau duduk berdempetan dengan cewek?? Mereka kan pengurus Rohis(Kerohanian Islam) di sekolahku. Ada Yogi, Irsyad, Hanif, dan Aldo sebagai pak supir.

Dan di dalam mobil aku menangis. Mereka tak merasa terganggu mendengar aku menangis sepanjang jalan. Bahkan mereka bilang, “Tidak apa menangis saja sampai hatimu merasa lega. Mungkin itu bisa membantu mengobati ketakutanmu“.

Aku sungguh nyaman berada di mobil ini. Meskipun mereka berempat, mereka tidak macam-macam denganku. Lama-lama aku merasa lelah menangis terus. Aku memejamkan mataku. Bukan tidur, hanya memejamkan mata. Perlahan aku dengar percakapan via telepon dari belakang. Sepertinya suara Irsyad.

“Assalamu’alaikum, Ukhti Nabila? Afwan mengganggu malam-malam, boleh ana minta tolong?“

“Gini, ada ukhwat yang butuh bantuan anti, boleh ana antar beliau kesana sekarang?? Alhamdulillah, kalau begitu. Jazakillah, Ukhti. Wassalamu’alaikum , , ,”.

Mau dibawa kemana aku? Untuk apa?? Tadi kudengar nama Nabila. Bukankah ia pengurus Rohis juga? Apa urusannya?.

“Gimana, Akh? Bisa?“.

“Beres, Akhi Aldo. Ciiiiiipppz !!“.

“Alhamdulillah“.

10 menit kemudian. Di depan sebuah rumah mewah, mobil yang kutumpangi berhenti. Semuanya menunggu aku turun. Dengan sopan Aldo mempersilahkan aku turun.

“Silakan turun, Ukhti Alya”.

“Untuk apa aku dibawa kemari??“, tanyaku.

“Kami tidak mungkin mengantarmu pulang dalam keadaan seperti ini. Bisa gawat. Lebih baik kamu turun dulu. Tuh, Ukhti Nabila akan membantumu berbenah“.

Sebelum aku turun, seorang gadis manis dengan pakaian panjang dan jilbab yang anggun menghampiriku. Dia mengetuk kaca mobil, segera kubuka. Nabila.

“Assalamu’alaikum“, sapa Nabila dengan santun.

“Wa’alaikum salam“, serentak semua menjawab kecuali aku.

“Ini, Akhi?“, tanya Nabila sambil melihatku.

“Ia, Ukhti. Afwan jiddan merepotkan”.

“Tidak apa, ayo turun semuanya. Abang ana ada di dalam, tafadhol kalau mau ngobrol!“.

Segera semuanya turun. Nabila membantuku turun, ia menggandeng tanganku, diajak masuk kedalam kamarnya yang sangat luas. Begitu masuk, dia terkejut melihatku, mungkin karena tadi gelap jadi kurang mengenaliku.

“Lho!!! Anti Alya kan? Kenalkan, ana Nabila!”.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum seraya menerima uluran tangannya.

“Bagaimana bisa begini?“, tanya Nabila bersahabat.

“Ceritanya panjang”.

“Kelihatannya anti capek sekali. Kalau nggak keberatan kapan-kapan anti bisa cerita ke ana”.

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Mmm,, tunggu dulu, sepertinya aku ingin menanyakan sesuatu kepada Nabila.

“Melihat keadaanku yang seperti ini dan kemari diantar anak-anak Rohis itu, kamu tidak curiga pada aku dan mereka??“.

“Tidak, untuk apa curiga?“.

“Sedikitpun?“.

”Iya, ana tidak curiga sedikitpun. Karena ana mengenal siapa mereka. Mereka tidak mungkin melakukannya. Lagi pula, mereka tadi habis menghadiri sebuah acara untuk membawakan nasyid dan disiarkan langsung di TV, tampil pada pembukaan dan penutupan. Acaranya saja selesai 30 menit yang lalu. Jarak dari sana kesini 20 menit. Mana mungkin dalam waktu 10 menit mereka mampu membuat anti babak belur kayak gini? Dan juga,ana tau anti gadis baik-baik“.

Woooooww, salut!!!

Setelah memarku diobati, dipinjami kain panjang yang indah, juga diberi makan, aku diantar pulang. Bukan lagi oleh Aldo Cs, tapi oleh Nabila dan abangnya. Aku berterimakasih pada Aldo Cs, juga pada Nabila untuk sebelum dan sesudahnya. Nabila anak yang menyenangkan, santun, dan juga ceria. Kami langsung akrab. Sebelum turun dari mobil, kami tukar nomor hape. Oh,, hari ini sungguh penuh kejutan.

Siang ini sepulang sekolah, aku ada janji dengan Nabila. Dia mengajakku ikut kajian yang diadakan anak-anak Rohis. Upz, kamu jangan kaget, aku ikut dia cuma sebagai balas budi. Cuma sekali ini dan tak akan lagi. Canggung juga sih dengan keadaan yang seperti ini. Tapi anehnya, ketika menjalani, ternyata semua sungguh tak seperti yang aku duga. Anak-anak Rohis itu sungguh membuatku merasa sangat nyaman. Mereka sangat menyenangkan dan tidak pernah membedakanku. Kami langsung akrab. Bahkan kini aku punya nama panggilan baru. “Ukhti Alya“. Bagus kan? Aku tahu. Sepertinya aku akan menarik omonganku sebelum kemari tadi. Ya, sepertinya aku akan kesini lagi besok, besok, dan besoknya lagi.

Aku akan bertekad bulat. Aku merasa ini saatnya. Ya, saat untukku berhijab. Dua bulan mengikuti kegiatan keislaman membuatku sadar. Sadar bahwa duniaku selama ini adalah dunia salah. Dan saatnya untuk berbenah. Teman-temanku masih sulit menerima perubahanku. Mereka jadi sedikit menjauhiku. Hanya teman-teman Rohis yang masih mau bersama denganku. Iih biar saja. Kini sudah tak ada lagi Rose si MODEL TOP, si Penyanyi Pop, si Pemandu Sorak. Kini yang ada adalah Ukhti Alya si Jilbaber yang menjadi juara tunggal di SMAN 78 Jakarta. Ya, biar saja, waktu akan mengubah segalanya. . .

Malam ini aku sangat menderita. Seluruh tubuhku merasakan kesakitan yang menyiksa. Dokter mengatakan bahwa kankerku sudah stadium empat. Aku sungguh berat menerima semua ini. Ingin rasanya menangis. Aku benar-benar takut. Tapi aku teringat kata-kata Nabila 1 minggu yang lalu. Bahwa sejatinya kematian adalah kematian. Hanya saja ada 1001 cara untuk menuju ke sana. Dan itu harus dilewati tanpa ada pilihan. Seketika itu aku sadar. Dan kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Sholat sunnah 2 rakaat untuk ketenenangan jiwaku yang sedang tergoncang. Ba’da shalat segera kuambil ponselku. Kuminta maaf pada teman-temanku, juga guruku. Tak lupa aku meminta maaf pada orang tuaku. Mereka semua terharu. Semoga dengan air mata itu, bisa membuat mereka ikhlas memaafkan kesalahanku.

Kini aku merasa bahwa aku sudah dewasa. Lega rasanya. Menjalani kehidupan yang indah sesingkat ini. Ah, sudah malam. Sudah waktunya untuk tidur. Sebelum tidur aku berdoa. Aku tak tau sampai kapan aku bertahan. Tapi 1 pintaku, kapanpun itu. Semoga aku diperkenanankan ba’da dalam keadaan khusnul khotimah, dalam keadaan berislam, beriman, dan berihsan. Juga dalam ketulusan orang-orang yang kutinggalkan. Amin.

Ah........ Mata ini sudah terlalu berat. ‘‘Bismikallahuma ahya wabismika ammut‘‘.

14 April 2012. Pukul 00.10, langit malam begitu gelap, segelap mendung yang ada di kediaman keluarga Handika. Segala cahaya yang ada pada mata yang takkan lagi terbuka. . .



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun