Menolak pelajar membayar tarif normal pastilah menjadi tindakan yang tidak efektif dan tidak populer. Akan tetapi mengangkut pelajar jika jumlahnya kebanyakan tentulah bakal merugikan sopir itu sendiri.
Tarif pelajar yang dimaksud di sini adalah Rp 1.000 per orang. Prakteknya ada yang bayar Rp 2.000 jika jaraknya jauh tapi tak sedikit yang cuma bayar Rp 500 alias gopek jika jarak dekat. Padahal tarif umum yang berlaku untuk jenis angkot atau mikrolet Rp 4.000-Rp 5.000 per orang.
Akibatnya, sopir pun jadi pilih-pilih. Saat pagi hari, hampir selalu dipastikan banyak pelajar mereka cuekin. Para sopir cenderung memilih penumpang dengan tarif normal dan enggan berhenti di tempat yang banyak pelajarnya.
Orangtua yang nggak mau ambil pusing lalu mempersilahkan anaknya yang belum dewasa pergi dan pulang sekolah menggunakan sepeda motor. Selain lebih praktis, cara ini memang lebih murah. Padahal hal itu sangat berisiko, terutama bagi keamanan siswa itu sendiri terkait tingginya angka kejahatan perampasan sepeda motor, juga saat terjadi kecelakaan.
Kembali ke sopir angkutan tadi. Saat jam pulang sekolah, ketika sopir angkutan tak punya pilihan, mereka akan rela ngetem di depan sekolah. Namun ketika ada pelajar jual mahal, pilih-pilih angkutan yang akan dinaiki, sopir pun pasti akan mengomel. "Huh, dasar anak-anak sekolah belagu. Nggak ada yang mau ngangkut, baru tahu rasa."
Para sopir itu lazimnya hafal pelajar-pelajar mana yang dianggap resek dan tak mau mengangkutnya. Namun hampir bisa dipastikan pelajar putri lebih tertib membayar ongkos angkutan dibanding pelajar putra.
Beberapa orang pelajar SD adalah penumpang yang kerap membayar ongkos gopek, sebuah pecahan rupiah yang paling kecil.
Padahal belum tentu orangtua para siswa itu ekonominya pas-pasan.
****
Ternyata ada yang lebih tragis dari sekadar tarif pelajar dan problemanya di atas.
Ada tiga jenis mikrolet yang melintas di Jalan Palmerah Barat, yakni mikrolet 09 (Tanah Abang-Kebayoran Lama), 9A (Tanah Abang-Kampung Baru) dan 11 (Tanah Abang Kebun Jeruk).
Di depan sebuah SD negeri di kawasan itu, biasanya para sopir mikrolet berhenti sejenak saat bubaran sekolah. Namun mereka tak pernah mau mengangkut sekelompok siswa SD tertentu meski mikrolet dalam keadaan kosong.
Pemandangan kontras yang hampir setiap hari saya lihat itu Kamis (9/6) kemarin mendapat jawaban. Salah seorang dari siswa SD itu langsung memohon seperti mengemis kepada sopir yang berhenti di depan sekolahnya.
"Please...," begitu kira-kira permohonan siswa tadi.
Sopir yang saya tumpangi ternyata langsung paham alias ngacir meninggalkan geng siswa SD tersebut.
Ketika saya tanya mengapa ia melakukannya, sopir itu menjawab bahwa para bocah SD itu minta tumpangan gratis. Karena jumlahnya sekitar 4 hingga 6 orang, ia terpaksa menolaknya. Selain akan merugi, kehadiran penumpang-penumpang gratis itu akan menutup peluang mengangkut penumpang lain.
"Dan kalau saya turuti, saya nggak mendidik mas. Ntar jadi kebiasaan," kilahnya seraya menyebut bocah-bocah SD itu biasanya turun di sekitar Rawabelong dan semua sopir sudah paham dengan gaya bocah-bocah tersebut.
Begitulah sopir itu kemudian mengkategorikan penyebabnya menjadi dua hal.
Pertama karena kebiasaan bocah-bocah itu sendiri yang menghabiskan uang jajan hingga tak tersisa uang untuk ongkos pulang. Kedua karena kebiasaan orangtua yang sengaja tak memberi uang untuk angkutan karena bisa menumpang gratis.
"Kalau menurut saya, faktor orangtualah penyebab utamanya. Bocah-bocah itu kan pasti menurut apa kata orangtua," simpul sang sopir mikrolet tadi.
Benarkah karena orangtua? Saya sendiri tak mau menapikan faktor yang pertama.
Bisa saja, bocah-bocah SD tersebut sebenarnya sudah diberi ongkos pulang dan uang jajan oleh orangtua, meski tak besar. Namun karena godaan konsumtif di sekitar mereka, uang jajan dan ongkos pulang habis tanpa terasa.
"Lagi pula jika naik angkot bisa gratis, mengapa mesti bayar?" Begitu kira-kira pikiran yang terbentuk di pikiran anak-anak itu.
Tentu saja pikiran semacam itu tak muncul begitu saja. Ingat, anak-anak seusia mereka adalah peniru yang sempurna. Mereka bisa saja meniru siswa yang lebih besar--yang kerap mereka saksikan-- saat menumpang truk dan mobil bak terbuka di jalanan demi mendapat angkutan gratis. Bisa juga hal itu sudah terbentuk karena meniru kakak-kakak kelas mereka sebelumnya.
Fakta itu sungguh tragis. Mau jadi apa mereka kelak jika masih kecil saja sudah menghadapi kenyataan seperti itu? Lebih parah jika hal itu tak diperhatikan akan terus terulang pada adik-adik kelas mereka, bahkan dengan jumlah lebih banyak.
Bisa jadi orangtua belum tahu apa yang terjadi pada anak-anak mereka. Kalaupun tahu cenderung menutup mata karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bisa jadi pihak sekolah sudah tahu tapi tak juga memedulikannya, toh sudah terjadi di luar sekolah dan bukan urusan mereka. Bisa jadi pemprov DKI tak tahu dan tak peduli soal ini. Toh, mereka sudah membuat kebijakan sekolah gratis untuk semua SD negeri.
Adakah yang punya solusi soal ini, please...