di rumah mungil dekat sungai yang kerap meluap saat hujan lebat, pak soekotjo berdoa. doanya sudah lama disiapkan, setidaknya sepanjang perjalanan sekitar 15 kilometer dari pusat kota pacitan menuju kawasan pondok pesantren tremas. setelah meletakkan pistol di samping anak lelaki pertamanya dari bu habibah, pak soekotjo menyampaikan doanya. doa itu disusun dalam sebuah nama susilo bambang yudhoyono. dalam masyarakat kita, bukankah doa orang tua tertuang dalam nama anak-anaknya? untuk doa itu, pak soekotjo mendoakan anaknya menjadi seorang yang santun, berjiwa ksatria, dan memenangi setiap peperangan. santun, ksatria, dan menang perang. sebuah kesatuan yang tampaknya tidak ingin dipisah-pisahkan. harapan dan permohonan yang berat dan pantas disampaikan sepanjang masa tampaknya mengingat kita kerap lupa. doa dalam sebuah nama itu pantas juga kita ucapkan lagi. bukan untuk kesantunan yang sudah pak beye tunjukkan dan ajarkan kepada binaannya di partai demokrat namun dibiarkan untuk diingkari. bukan untuk kemenangan dalam peperangnya yang sudah diraih berturut-turut sejak pilpres 2004, pemilu legislatif 2009 untuk partai demokrat, dan pilpres 2009 dengan beragam cara. doa itu, baik juga kita ucapkan lagi untuk hadirnya sikap ksatria. karena itu, perlu sekali-kali kita memanggil pak beye dengan pak bambang agar pak beye ingat doa bapaknya agar dirinya memiliki sikap ksatria. bukan kah kurang lengkap kalau hanya tampil santun dan bisa menang untuk setiap peperangan tetapi tanpa sikap ksatria. salam gitar. [caption id="attachment_71090" align="alignnone" width="500" caption="pak beye menengadahkan kedua tangannya sesaat sebelum ujian doktoral di institut pertanian bogor. (2004.wisnunugroho)"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL