[caption id="attachment_620" align="alignleft" width="300" caption="pak mulyono duduk di bawah papan berisi foto dan puisi "hidup di desa" ciptaan pak beye (wisnunugroho.kompasiana.com)"][/caption] akhir pekan datang lagi. senang rasanya dijumpainya lagi. terlebih, akhir pekan ini adalah akhir pekan terakhir pada tahun ini. tambah bonus satu hari libur lagi. wuih, akhir tahun yang baik hati. kebaikan hati berupa tambahan libur satu hari itu ada karena tahun baru 1430 hijriyah atau orang desa di jawa menyebutnya peringatan satu suro. hihihihi di sejumlah desa, khususnya di desa-desa di jawa tengah dan sekitarnya , malam satu suro menjadi malam yang dikeramatkan. saya tidak tahu kenapa. ingatan masa kecil saya, pada setiap malam satu suro itu kawanan kerbau albino atau kebo bule disebutnya diarak keliling benteng keraton. kyai slamet nama resmi untuk kawanan kebo bule itu. saya tidak ingin membahas soal malam satu suro yang banyak kleniknya dibandingkan penjelasan nalarnya. saya ingin menulis soal desa. tentu saja, bukan desa tempat leluhur saya lahir dan bertempat tinggal sampai sekarang di klaten sana. desa yang ingin saya tulis adalah desa imajiner dalam gambaran pak beye. bayangan imajiner hidup di desa versi pak beye itu saya kutipkan dari puisi pak beye yang dipajang di koridor menuju kantor presiden sejak dua tahun lalu. puisi tentang desa imajiner itu dibuat pada malam hari kasih sayang, 13 februari 2004. saya membayangkan suasananya agak romantis sedikit. saat itu, pak beye masih menjabat sebagai menteri koordiantor bidang politik dan keamaman. soal-soal pemilu dan pilpres sedang diperhatikan. upaya pak beye maju sebagai calon presiden juga sedang diupayakan. kembali ke puisi itu, berikut ini kutipan lengkapnya:
hidup di desa merdunya seruling di malam hening direlung bulan sabit, di atas bukit sedamai hati petani, ketika mimpi telah pergi menanti mentari pagi bersinar kembali membawa salam ke seluruh negeri ketika kokok ayam memecah kebisuan dusun dan fajar meremang di ufuk timur kehidupan insan menapak lagi mengarungi hari panjang yang menjanjikan harapan bila sang surya lengser perlahan di ujung senja warga desa bergegas kembali ke rumah-rumah mereka berbagi cerita dalam kisah suka dan duka meski hati tetap bahagia karena itulah dunia mereka hidup di desa pewaris adat nenek moyang mereka selain dipajang dengan foto pak beye dan bu ani menyiapkan pidato di pagi hari, puisi pak beye ini juga terkumpul dalam buku berjudul taman kehidupan yang dicetak dan dibagikan bersamaan dengan mudurnya pak beye dari kabinet bu mega, maret 2004. puisi yang terkumpul dalam buku itu adalah puisi yang dibuat pak beye dalam kurun waktu sangat singkat, januari-maret 2004. tergolong luar biasa menurut saya. di tengah berat tugasnya sebagai menko polkam, dalam kurun waktu dua bulan, tercipta 31 judul puisi. wuiiiihhhhh kembali ke bayangan imajiner pak beye tentang desa yang dipajang di koridor menuju kantor presiden, saya teringat sosok nyata orang yang tidak bisa hidup di desa. pak mulyono, 55 tahun. pak mulyono adalah warga desa bandung rejo, pranggen, demak, jawa tengah. suatu siang di istana, karena kelelahan dan memang waktunya istirahat, pak mulyono duduk mengaso. di istana pak mulyono adalah pekerja cabutan. bersamaan dengan proyek renovasi istana, pak mulyono masuk dalam kumpulan besar para pekerjanya. tentu saja, pak mulyono tidak melamar langsung untuk bisa bekerja di istana. pelamarnya adalah perusahaan besar atau perusahaan langganan istana. pak mulyono sekadar dipekerjakan saja di sana. tanpa di sadarinya, pak mulyono mengaso di bawah puisi "hidup di desa" ciptaan pak beye. sambil masih menyeka keringat di hahi tuanya, pak mulyono saya hampiri dan saya tanya asalnya. pak mulyono berujar: "saya datang dari desa. tidak ada pekerjaan lagi di sana. makanya saya ke jakarta." foto yang saya lekatkan di atas adalah gambar pak mulyono duduk di bawah puisi "hidup di desa" ciptaan pak beye. yang melintas sambil tersenyum adalah staf khusus pak beye bidang penegakan hukum dan kakaen, mayor jenderal purnawirawan sardan marbun. pak pray mungkin kenal. saat ini, pak mulyono sudah tidak lagi bekerja di istana. saya tidak tahu apakah pak mulyono "hidup di desa" karena telah menemukan pekerjaan di sana. bukankah progam peenpeem mandiri puluhan triliun anggarannya? bagaimana kira-kira menurut anda? apa gambaran anda tentang hidup di desa?
KEMBALI KE ARTIKEL