Identitas Buku                                           Review oleh:Wisna Amalia
Judul Buku : Muslimah Feminis
Pengarang Buku: Neng Dara Affiah
Penerbit Buku : Nalar.email:nalar@nalar.co.id
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2009
Ukuran Dimensi Buku : 13cm x 20cm
Tebal Buku :122 halaman
ISBN :10:972-26-9021-2
Membaca buku Muslimah Feminis ini, membuat saya terhanyut dalam alur cerita perjalanan Neng Dara Affiah dalam menjelajahi multi identitas mulai dari identitas etnis,gender,agama dan identitas negara.Buku ini sangat menarik untuk dibaca,karena merupakan sebuah biografi intelektual dan spiritual yang berbentuk penuturan.Apabila ditambahkan dialog mungkin buku ini sudah seperti novel yang dimana banyak disukai oleh kalangan milineal sekarang ini.Dalam buku Muslimah feminis ini patriarki adalah sebuah kenyataan.Neng Dara Affiah mengalaminya sendiri dan menentangnya dalam perjuangan hidupnya.
Dikisahkan bahwa budaya patriarki hampir saja membunuhnya.Ketika ia mengalami sakit berat karena tekanan batin,tetapi tidak berdaya menentangnya karena yang ditentangnya adalah bapaknya sendiri yang tragisnya didukung pula oleh ibunya sendiri.Beruntung ia memiliki seorang suami yang sangat mengerti dan memberi dukungan batin padanya.Jadi tidak semua laki-laki menganut budaya patriarki dizaman sekarang ini.
Buku ini diawali tentang etnisnya,ia mengambil definisi dari (Geertz:1974)etnisitas adalah penegasan sosial mengenai keberadaan seseorang dan dari tanah itulah seseorang berasal.Banten merupakan etnisitas dimana Neng Dara Affiah dilahirkan.Agama yang dianut orang Banten sebagian besar adalah Islam,bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banten adalah bahasa Sunda,tetapi berbeda dengan bahasa Sunda Priangan yang halus.Bahasa Sunda Banten cenderung kasar sebagian orang menyebut bahasa ini egaliter,karena tidak mengenal hirarki bahasa.Ketegangan etnis di Banten tidak pernah muncul kepermukaan namun ada pergesekan dari dalam yang tidak disadari,khususnya dengan etnis Sunda Priangan.Seperti penggunaan simbol pemerintah "Saung Kadeudeuh"yang tidak akrab dengan bahasa satempat.Neng Dara Affiah juga melihat Banten sebagai daerah yang kental dengan nuansa islam,politik,agama dan tradisi sehingga di daerah inilah awal jati diri nya mulai perlahan terbentuk.
Neng Dara Affiah berasal dari sebuah kota kecil di kawasan Banten,tepatnya di Kacamatan Labuan,Kabupaten Pandeglang.Lahir pada bulan April 1970.Anak pasangan dari ibu seorang guru agama dan ayah pemimpin pesantren sekaligus juga pemimpin masyarakat.Kakek buyut Neng Dara Affiah dari pihak ibu yakni KH Yusuf Syamaun maupun dari pihak ayah yakni KH Ali Akbar adalah para ulama yang berpengaruh dalam mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dilingkungannya masing-masing.Ayah dari Neng Dara Affiah meneruskan mengelola pesantren dan madrasah ibtidaiyyah(sekolah dasar agama) yang embrionya telah dirintis oleh kakek buyutnya.Nama madrasah tersebut adalah"Annizhamiyyah" yang merujuk kepada perguruan tinggi yang pernah dipimpin oleh Imam Al-Ghazali,seorang pemikir besar Islam abad pertengahan yang didirikan pada tahun 1065 M(457 H) di Baghdad."Annizhamiyyah" Â merupakan lembaga pendidikan yang diwariskan orang tua nya dan masih berkembang hingga sekarang.
Sejak Sekolah Dasar (SD) Neng Dara Affiah sudah terbiasa dengan bacaan berat, yang membuat pemikirannya jauh lebih dewasa dari usia yang sesungguhnya.Seperti novel Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul Anak Perawan di Sarang Panyamun,Di Bawah Lindungan Ka'bah Karya Hamka,Buku Islam Ahmadiyah,Islam Jamaah dan Perdebatan Islam dan Kristen serta majalah Islam Panjimas.Sehingga dalam usia yang masih belia ia memiliki kecenderungan dalam paham Wahabi.
Beranjak usia remaja Neng Dara Affiah meneruskan sekolah pesantren  Al-quran di Serang.Di pesantren ini ia tergabung dalam sekelompok pengajian"usroh".Dalam kelompok tersebut ada beberapa kebiasaan yang berupa identitas kelompok yang dipraktikkan seperti cara bersalaman,menggunakan pakaian yang sangat tertutup,bercadar,laki-laki dan perempuan tidak boleh menatap.Metode pengajiannya adalah membaca Al-Qur'an dan terjemahannya,dimana terjemahan yang dipakai dari Departemen Agama.Hingga ajaran yang sering disampaikan mulai dari berkeluarga sampai mengatur negara berdasarkan syariat islam.Penyelenggaraan pengajiannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Topik yang sering menjadi sorotan disini adalah negara.Sehingga Neng Dara Affiah mulai merasa kegelisahan dalam batinnya.Lalu ia meminta pada orang tuanya agar pindah ke pesantren lain,permintaannya pun dituruti dan berhijrah ke sebuah pesantren di Tasikmalaya.Di pesantren Tasikmalaya ini Neng Dara Affiah mulai merasa ketenangan dan kesejukan hati.Seperti senandung puisi bahasa Arab yang diterjemahkan dalam bahasa Sunda yang membuat jiwanya lebih terasa indah.
Setelah beranjak dewasa,Neng Dara Affiah melanjutkan pendidikannya di IAIN Jakarta(sekarang UIN).Disinilah keislaman nya tambah dimatangkan,paradigma keislaman yang cenderung berbeda dengan jenjang pendidikan sebelumnya SMP-SMA.Ia dihadapkan dengan beberapa pilihan politik kampus yaitu HMI,PMII,dan IMM. Alhasil Neng Dara Affiah memutuskan memilih HMI.Karena ia merasa sudah mengetahui banyak tentang HMI dengan mempelajari pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid sejak di bangku SMP -SMA.
Dalam perkuliahannya ia tergabung dalam Forum Mahasiswa Ciputat(FORMACI),di forum ini ia mulai mengenal feminisme dan terlibat dengan LSM-LSM perempuan.Pertemuannya dengan feminisme membuat Neng Dara Affiah sadar akan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan sehingga ia mulai untuk mensosialisasikan hal tersebut pada masyarakat luas.Salah satunya melalui media milik organisasi besar Islam yakni Warta NU PBNU Jakarta 1992. Media ini cukup efektif baginya untuk menyosialisasikan gagasan-gagasan kesetaraan gender bagi masyarakat yang dikenal sebagai "Muslim Tradisional".
Sebagai seorang muslimah feminis Neng Dara Affiah terinspirasi pada nenek nya sendiri H Siti Masyitoh yang ia sebut sebagai "indigenous feminist"yakni feminis yang tumbuh dari masyarakat lokal dan berbasis dari interaksi sehari-hari dalam kehidupan nyata seorang perempuan tanpa menyadari,mengenal dan menyebutnya feminis.Neneknya H Siti Masyitoh, nampak berperan sebagai kakak perempuan tertua di hadapan para pemuka agama laki-laki(para kiai)dalam pengetahuan agama mereka dan mengayominya.Mereka menghormati H Siti Masyitoh nenek Neng Dara Affiah karena pengaruh yang dimilikinya.
Keterlibatan Neng Dara Affiah dengan feminisme dalam LSM-LSM perempuan,membuat ia mencoba merefleksikan dirinya kedalam lingkup pusaran Kiai.Sebagaimana Kiai,sangat lekat dengan kultur pengutamaan laki-laki(patriarki).Disinilah ia mulai mengalami pertentangan dengan Ayahnya sendiri yang dianggapnya patriarki.Yang tidak terlepas dari ajaran hanya semata-mata bertanggung jawab atas nafkah keluarga dan melindunginya.Sementara urusan rumah tangga dan merawat anak-anak adalah tanggung jawab ibu.Dan ibunya pun sering mengeluh kepada Neng Dara Affiah tentang beban kerja yang ditanggungnya dan menerima karena dimaknai sebagai "kodrat"Tuhan.Dalam waktu cukup lama Neng Dara Affiah hanya bisa terdiam dan pada suatu waktu ia mengalami sakit yang amat parah,dan pada saat itu ia meluapkan semua kemarahannya pada ayah terhadap pilihan pada pasangan hidupnya.Sejak peristiwa itu Ayahnya mulai berubah,Ayahnya sering menjadi penasehat perkawinan dan berkali-kali mengikuti gender training yang dilaksanakan Majelis Ulama Indonesia(MUI)sebagaimana posisi Ayahnya sebagai salah satu Ketua MUI provinsi Banten.
Neng Dara Affiah dalam LSM yang memiliki jaringan pesantren, pemikiran-pemikirannya mengenai kesetaraan gender tidak selalu berjalan mulus.Ia mengalami peristiwa yang menyakitkan dari salah seorang peneliti agama senior yang menuduh dirinya membawa-bawa ideologi barat yang tidak cocok dengan budaya indonesia.Semakin memperoleh tantangan,semakin memperkuat dirinya dengan pengetahuan yang harus disampaikan.Penolakan-penolakan dari Kyai terhadap Fatayat NU pun berhasil ditepis oleh sejumlah intelektual dan ulama NU yang mempunyai pemikiran progresif dan terbuka pada perubahan.Dan akhirnya feminisme yang diterima dikalangan organisasi islam yang memiliki niali-nilai tradisional adalah Nahdatul Ulama(NU).Aktifnya Neng Dara Affiah di Fatayat NU mengharuskan ia turut dalam gerakan reformasi.Pada saat sedang berlangsungnya pro-kontra mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi(RUU APP),ia juga mengeluarkan pendapatnya kepada parlemen melalui Fatayat NU.
Sebagai seorang feminis Neng Dara Affiah memulai kegiatannya  dengan aktif diberbagai organisasi-organisasi alternatif dimana ia bergaul dengan orang-orang cerdas,kritis,dan berani mengemukakan pendapat dan mendiskusikan berbagai masalah-masalah perempuan dan pemerintahan.Pertemuan Neng Dara Affiah dengan agama agama lain terjadi ketika,ia kuliah di IAIN jakarta jurusan Perbandingan Agama.Rasa saling mengenal,menghargai dan memahami agama lain mulai tumbuh ketika ia berkesempatan di undang di Finlandia,2000 yang pada saat pertemuan itu ia merasa menjadi minoritas agama islam ditengah-tengah mayoritas agama kristen.Dan Ia juga diundang ke Amerika untuk program "Ohio University Inter-Religious Dialogue and Exchange Project"sehingga mendapatkan pelajaran keragaman dan kebebasan beragama di Amerika.
Buku ini menarik untuk dibaca karena bukan karangan fiksi,melainkan benar-benar real pengalamannya sendiri yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah.Buku ini sangat cocok untuk kalangan remaja pada saat ini,khususnya bagi para muslimah yang mencari jati diri nya sendiri terutama dalam lingkup feminisme.Namun,buku ini juga memiliki kekurangan yang terlalu fokus pada penulisan biografi dibandingkan penulisan kajian feminimisme itu sendiri.