Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Artikel Utama

Kemenhut dan Kematian Gajah Sumatera

15 Agustus 2014   18:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:28 305 4

Kematian 85 ekor gajah di Sumatra dalam 3 tahun terakhir (2012-2014) menarik menjadi perhatian masyarakat dan media massa.  Selain itu, bagi kalangan konservasi, kematian gajah menjadi preseden buruk bagi pengelolaan kawasan dan penurunan populasi gajah yang saat ini semakin kritis di Sumatera.

Gajah Sumatera memiliki sub jenis Sumatranus atau lengkapnya dari sisi taksonomi adalah Elephas Maximus Sumatranus. Gajah Sumatera ini adalah spesifik hanya ada di Sumatera dari seluruh populasi gajah di dunia. Sehingga, kategori menurut badan dunia yang menangani tentang spesies yaitu IUCN mengkatagorikan sangat terancam punah karena populasinya yang kecil dan sebaran terbatas (hanya ada di Sumatera). Tahun 2010, dalam pertemuan terakhir Forum Konservasi Gajah Indonesia memperkirakan populasi Gajah Sumatera adalah 2400-2800 ekor. Dalam konteks ini, jelas bahwa perlindungan dan penanganan populasi Gajah Sumatera di alam adalah mutlak dilakukan.

Kementrian Kehutanan (Kemenhut) dan beberapa LSM dibantu oleh para penggiat konservasi lainnya, telah membuat strategi dan rencana aksi bersama 2007-2017 untuk konservasi dan pengelolaan Gajah. Strategi dan rencana aksi tersebut sebagai landasan bagaimana sikap dan intervensi para penggiat konservasi termasuk lembaga-lembaga yang ada di dalam melakukan upaya yang terintegrasi dalam perlindungan dan pengelolaan spesies tersebut di alam.

Ada tiga permasalahan besar yang saat ini terjadi yang menimbulkan kematian gajah di alam yaitu penurunan habitat gajah akibat konversi lahan, perburuan gading gajah dan konflik gajah dengan manusia. Konflik gajah dengan manusia juga merupakan dampak dari penurunan habitat gajah akibat konversi lahan, merangseknya masyarakat di sentra-sentra populasi gajah liar di alam. Era tahun 2000an, terjadi kenaikan signifikan konflik gajah dengan manusia dimana tidak hanya terjadi korban bagi gajah tetapi kematian manusia. Dampak ini tentu sangat berarti bagi para penggiat konservasi dimana sebelumnya belum pernah merasakan dampak ini.

Konversi lahan yang mengokupasi habitat-habitat gajah dan wilayah jelajah gajah adalah ditenggarai yang terbesar. Dari 15 kantong gajah di Propinsi Riau tahun 2003, saat ini tersisa 9 kantong gajah dimana 4 kantong gajah populasinya kritis 5-20 ekor, sedangkan 1 kantong Balai Radja, populasi sekitar 40 ekor tetapi habitatnya habis dan 4 kantong lain yang sebenarnya diharapkan masih baik termasuk kantong gajah Serangge. Keseluruh kantong ini menghadapi permasalahan utama bersama yaitu konversi lahan terutama di wilayah yang sudah dikonservasi atau dilindungi secara legal.

Akar masalah utama mengapa konversi lahan ini bisa terjadi di kantong-kantong populasi gajah terutama di wilayah konservasi legal? Pertama adalah ketaatan dan konsistensi dalam implementasi tata ruang daerah, kedua, kurangnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap para pelanggar yang mengkonversi lahan secara illegal. Kawasan Balai Radja (Propinsi Riau) misalnya, luas kawasan konservasi yang 18,000 ha saat ini hanya tersisa 200 ha saja, sisanya terokupasi oleh masyarakat untuk lahan sawit, kawasan ini 100% terpakai sebagai wilayah jelajah gajah dan tetap dipakai sampai saat ini meskipun ada pemukiman di dalam kawasan tersebut.

Selain itu, dari ratuan ekor gajah mati sejak tahun 2000an, tidak pernah ada satu kasuspun diangkat ke pengadilan terutama di Riau dan Aceh dengan indikasi perburuan satwa liar atau unsure dibunuh secara sengaja. Persoalan ini yang menyebabkan masyarakat bersikap permisif dan tidak bersalah apabila melakukan pembunuhan gajah.

Upaya telah dilakukan, tenaga kurang

Pemerintah (Kemenhut) dan LSM sebenarnya telah mendorong berbagai hal untuk mengurangi dampak kematian akibat konflik satwa ini salah satunya adalah dengan penerapan Pasukan Gajah reaksi Cepat (PGRC/Flying squad). Unit PGRC ini telah mendapat persetujuan oleh Kementrian Kehutanan sehingga Kemenhut pun meminjamkan 4 ekor gajah untuk melengkapi unit tersebut. Unit PGRC saat ini tersebar di 4 lokasi penting meskipun 2 unit yang paling optimal yaitu unit Lubuk Kembang Bunga (LKB) dan Elang yang dikelola RAPP. Dalam banyak kejadian dari 2005 sampai tahun 2009 di LKB misalnya mampu mengurangi tingkat konflik di seputaran LKB mencapat 78% dari kasus kerugian masyarakat dan kematian dikedua belah pihak.

Selain itu, untuk menghadapi kendala keterbatasan ini, adalah dengan melakukan pelatihan di masyarakat di beberapa desa yang memiliki konflik satwa liar tersebut, dimana masyarakat dapat secara mandiri mengatasi konflik tersebut tanpa perlu dibantu oleh lembaga-lembaga ini. Dari kajian sementara yang dilakukan BBKSDA dan WWF bahwa sebenarnya terjadi pola adaptasi populasi gajah sumatera di habitat-habitat yang telah diokupasi oleh masyarakat, sehingga gajah tersebut dapat “survive” dan menghasilkan keturunan.

Ternyata, meskipun terjadi okupasi lahan, masih menyisakan spot spot habitat untuk makanan seperti daerah – daerah terbuka dan didominasi semak dan rumput. meskipun antara spot satu dengan spot yang lain diharuskan gajah masuk pemukiman. Tentu dari konteks ini dapat dilihat, patut untuk melakukan pengelolaan populasi gajah di spot – spot ini dan melakukan sistem mitigasi konflik bersama-sama masyarakat disekitar spot-spot area tersebut sehingga dalam mengurangi tingkat kerugian konflik satwa.

Bersamaan dengan itu, spot-spot area yang dikunjungi gajah dilegal statuskan untuk dikonservasi secara utuh dan diperkaya makanannya untuk populasi gajah. Bersamaan itu pula dalam konteks jangka panjang, kawasan konservasi Balai Radja dipulihkan lagi habitatnya.

Paradigma Baru

RTRWP baru di Riau menyisakan tanda tanya, seberapa besar peluang RTRWP ini mengakomodir ekosistem hutan Sumatera dan gajah? Persoalan tata kelola sumber daya alam menjadi faktor penting terhadap keberlangsungan hidup gajah. Keberlangsungan hidup gajah dan cara pandang pemerintah dan masyarakat terhadap gajah juga akan menentukan terhadap cara pandang dan implementasinya terhadap taat kelola sumber daya alam dan keberlanjutan sumber daya alam.

Pemerintahan yang baru diharapkan membangun paradigma baru konservasi. Catatan debat capres mengindikasikan ada hal-hal kebaruan misalnya mengenai one map policy (meskipun kebijakan ini sudah ada di era SBY) dan kebijakan-kebijakan yang holistis terhadap tata kelola hutan. Pemerintah dibantu LSM dan masyarakat juga menyiapkan langkah-langkah implementatif yang konsisten misalnya dalam monitoring kawasan konservasi secara intensif, resort based management secara konsisten dan optimal implementasi dan mengurangi birokrasi dan paradigma kolaboratif yang aktif.

Penegakan hukum menjadi prioritas utama di wilayah-wilayah lahan negara atau kawasan lindung yang diklaim masyarakat dan perusahaan yang menyalahi peruntukan perijinan. Penegakan hukum ini penting untuk mengembalikan kawasan-kawasan lindung satwa seperti gajah ke kondisi semula. Selain itu, pentingnya penggalangan dana yang berkelanjutan dalam mendukung pengelolaan konservasi gajah termasuk penanganan konflik gajah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun