2 Juli 2010 09:10Diperbarui: 26 Juni 2015 15:081940
Oleh Wirduna Tripa
Selama ini masyarakat yang menyaksikan kasus-kasus yang melilit penegak hukum melalui media massa tak pernah terdengar atau terbaca bahwa ada oknum penagak hukum yang statusnya menjadi terpidana. Akan tetapi, hanya menjadi “diduga” dan berhenti pada “terdakwa”, sementara “terpidana” tak pernah menempel pada nama mereka. Padahal masyarakat menunggu bagaimana ending dari kasus-kasus yang diusut.
Beberepa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk membesuk Muhib Dani-korban penembakan oleh oknum Brimob di gampong Alue Raya Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya- ia dirawat di rumah sakit Bhayangkara. Muhib terbaring di atas ranjang dengan kedua kakinya terperban besar. Setelah lebih sepuluh hari di rumah sakit, ia belum dapat mengeluarkan suara. Ia masih sangat trauma dengan penembakan tersebut “Meukeu-keu ditembak kiban han rot seumangat” begitu kata ayah Muhib Dani dalam bahasa Aceh.
Muhib Dani adalah salah satu korban tindak kriminal oknum kepolisian yang kesekian kalinya menimpa masyarakat Aceh. Kasus yang menimpa Muhib Dani ini adalah kasus yang terhitung bukan pelanggaran level kecil ‘cilet-cilet’ akan tetapi kasus ini sudah tergolong ke dalam tindak kriminalisasi (baca UU, Kriminal). Nampaknya saat ini Kepolisian kian kreatif dalam melakukan berbagai pelanggaran terhadap masyarakat, mulai dari pemukulan, pelecehan sampai penembakan. Memang secara pragmatis fenomena ini muncul disebabkan oleh berbagai indikasi, baik faktor politis, sentimen personal bahkan bisa jadi tindakan arogan yang dilakukan Polisi sehingga hilang kendali objek amunisi. Dalam hal arogansi, polisi butuh kematangan dalam memposisikan dirinya dan kognitif terhadap aturan-aturan, sehingga sekiranya dapat lebih bijak dan manusiawi. Dalam hal ini, Koalisi NGO Hak Asasi Manusia (HAM) telah mencatat beberapa pelanggaran pihak kepolisian (penembakan) terhadap masyarakat sipil, mereka pun sudah melayangkan surat tersebut ke Kapolri. Namun hingga kini belum ada suatu tindak lanjut yang jelas dari petinggi kepolisian tersebut. Apakah aspirasi masyarakat untuk menuntut hak rakyat yang tertindas hanya dijadikan sebagai permaian saja? Jika kita berbicara masalah hukum memang tak akan habis-habisnya, karena ini adalah keselahan sistem yang sudah mengakar di negeri kita. Baik yang terkait masalah korup dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang kerap dilakukan pihak penegak hukum itu sendiri. Secara manusiawi tak logis memang kalau membuka baju sendiri. Tetapi kalau kita berbicara dalam konteks aturan jelas bahwa tak ada batas dan tak pandang bulu. Namun, hukum di negara kita ini hanya sepintas tercantum dalam kitab-kitab aturan. Aturan-aturan tersebut hanya diperuntukkan bila objek tersalahnya adalah kaum-kaum lemah. Bila kaum-kaum lemah yang salah tak perlu menunggu minggu atau bulan, seketika itu juga dapat divonis dan jelas status sebagai terpidana. Namun, kenyataan ini akan bertolak belakang bila yang dijerat adalah penegak hukum. Bila mereka yang bersalah, proses hukum pun berbelit-belit dan tak kunjung selesai. Kenyataan ini memang sudah terjadi sejak negara ini dinyatakan merdeka. Selama ini masyarakat yang menyaksikan kasus-kasus yang melilit penegak hukum melalui media massa tak pernah terdengar atau terbaca bahwa ada oknum penagak hukum yang statusnya menjadi terpidana. Akan tetapi, hanya menjadi “diduga” dan berhenti pada “terdakwa”, sementara “terpidana” tak pernah menempel pada nama mereka. Padahal masyarakat menunggu bagaimana ending dari kasus-kasus yang diusut. Nah, hal ini pun terjadi pada kasus penembakan Muhib Dani. Sudah hampir lebih satu bulan belum ada kejelasan tentang status oknom Brimob yang jelas-jelas bersalah. Meski pun beberapa minggu yang lalu mahasiswa yang berasal dari Nagan Raya telah melakukan unjuk rasa terkait pengusutan kasus tersebut, sebagaimana diberitakan Serambi, Kamis (7/5). Dalam unjuk rasa tersebut pihak Kapolda telah menerima tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kejelasan. Apakah aksi yang dilakukan mahasiswa tak cukup untuk menjadi bahan pertimbangan sekaligus bahan refleksi bagi polisi? Ataukah aspirasi mahasiswa (rakyat) hanya diterima dengan begitu saja tanpa ada follow-up. Kejadian seperti ini memang sering terjadi, tak hanya sekarang, tetapi kasus-kasus sebelumnya yang hilang dan redam dengan begitu saja. Sangat cukup jadi bukti Sebagai contoh, kasus oknum Polisi yang melakukan pemukulan terhadap Ilham, salah seorang guru, sampai sekarang oknum polisi tersebut tak jelas statusnya. Dalam hal ini, polisi terlihat tak serius dan seperti menutup-nutupi tentang kasus ini. Bila kasus yang seperti ini tak dapat diselesaikan dengan tuntas maka polisi tidak akan mendapat simpatis dan kepercayaan dari masyarakat, hanya akan menjadi harapan semu. Menggantungkan harapan tetapi takut mengadukan. Realita membuktikan bahwa citra kepolisian semakin hari semakin pudar dan kehilangan jati. Banyak sudah dosa-dosa besar yang dilakukan oknum polisi yang sampai sekarang belum ada titik temunya. Namun, meski demikian bila kepolisian serius untuk mengembalikan citra yang selama ini sudah bertinta merah, Saya rasa belum terlambat. Masyarakat masih menanti akan keadilan yang hakiki, keadilan yang memanusiawi dan keadilan yang tak pandang bulu.
Penulis adalah aktivis mahasiswa, berasal dari Nagan Raya, Aceh.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.