Mereka tampil dengan gaya pakaian yang eksentrik nan kekinian, mengikuti tren karyawan SCBD (Sudirman Central Businesses District) yang terkenal memiliki gaya fesyen trendi juga modis.
Beberapa dari remaja berusia belasan tahun ini bahkan memiliki popularitas tinggi dan kini dikenal sebagai "penguasa" SCBD.
melihat fenomena remaja SCBD tersebut sebagai fenomena sosial di mana para generasi muda ingin menunjukkan eksistensinya.
"Penampilan-penampilan ekspresi anak muda itu, mereka berusaha untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang, generasi yang update, yang tidak old fashion, tidak kedaluwarsa atau tradisional. Tapi mereka generasi yang mengikuti zaman. Jadi mereka itu up to date,"
keberadaan remaja pinggiran ibu kota di salah satu kawasan elit Jakarta tersebut dapat diartikan sebagai upaya bahwa mereka ingin menunjukkan kelas mereka.
Kaum muda yang berkumpul dan mengekspresikan diri disana seakan menemukan ruang ekspresi yang keren disaat mereka tidak menemukannya di kampung mereka sendiri.
Keinginan kuat tampil flamboyan memaksa mereka kreatif mencari model yang tidak biasa, out of the box, sehingga kreatifitas bermunculan disana. Mereka pun belajar padu padan pakaian, berjalan di catwalk, dan berpose di depan kamera. Jadilah bibit-bibit model muncul secara massif.
Namun di satu sisi, fenomena SCBD ini juga patut menjadi perhatian pihak keluarga dan pemerintah setempat.
Sebab ada potensi hal negatif yang muncul dari fenomena ini, baik tindakan kejahatan, asusila, dan menurunkan motivasi anak untuk bersekolah atau bolos bersekolah karena mereka lebih nyaman nongkrong di area kawasan Sudirman ini.
Tenntu para remaja ini akan menuntut pihak keluarga atau orangtua untuk bisa membelikan mereka pakaian yang modis karena mereka terbawa tuntutan pergaulan dengan teman - temannya yang beraktivitas di kawasan Sudirman.
Tidak cuman itu para pedagang juga di kawasan ini merasa sangat di rugikan karena Pasalnya, semenjak kawasan Sudirman dipenuhi remaja SCBD, para pedagang asongan dilarang untuk berjualan di area tersebut. Bahkan, sebuah spanduk besar bertuliskan larangan berjualan terpasang di lokasi tersebut.
Para pedagang mengaku menyayangkan keputusan pemerintah DKI Jakarta yang justru melarang mereka berjualan, sementara suasana lokasi tersebut sangat ramai. Padahal tahun-tahun sebelumnya, tak pernah ada larangan berjualan di sana.
Apabila ada yang melanggar peraturan tersebut maka didenda Rp500 ribu. Peraturan tersebut diterapkan agar lokasi tersebut tidak dipenuhi sampah bekas jajanan.
Namun, masih ada saja pedagang minuman keliling yang menjajakan dagangannya secara sembunyi-sembunyi. Kebanyakan, para pedagang membawa nampan berisikan 6 gelas air dengan rasa yang beragam dan dijual seharga Rp5000.