Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Nostalgia SMA di Banda Aceh (Bag 3)

9 April 2016   21:57 Diperbarui: 12 April 2016   22:05 176 0
Kantin Kak Atik dan Budaya Merokok di SMA 2

 Ada tiga kelompok kantin di SMA 2, saya katakan tiga kelompok karena selain kantin utama yang ada di depan, dekat ruang guru dan kelas 3. Waktu kami masih kelas I, kantin utama ini dikuasai anak-anak kelas III. Kantin ini dagangannya lengkap, mulai dari kopi, teh, berbagai penganan sampai bakso yang dijual seharga 500 perak seporsi.  Penjualnya orang Jawa yang sudah beberapa generasi tinggal di Aceh.

 Di dua tempat lain, kantinnya tidak hanya satu. Satu terletak di belakang dekat kelas I.9 dan Lab IPA. Kantin ini menjadi wilayah kekuasaan anak-anak kelas II, anak I.9, I.8 dan I.7. Salah satu penjual di kantin ini adalah istri Pak Yan, guru Olah Raga.

 Sedangkan kelompok kantin terakhir, ada di belakang ruangan kelas tiga, tidak jauh dari depan pintu ruangan kami kelas  I.1. Ini kantin favorit kami, anak kelas I.1, I.2 dan I.3.

 Kantin ini biasa kami sebut kantin kak Atik sesuai nama penjualnya. Sebenarnya di sana ada dua penjual, tapi keduanya bernama kak Atik.

Di kantinnya Kak Atik juga menjual aneka makanan. Salah satu favorit kami adalah Mie yang dibungkus daun pisang. Dijual seharga 100 perak satu bungkusnya porsinya. Sangat kecil, seperti porsi nasi Kucing yang banyak dijual orang di Solo. Mie ini dimakan dengan kerupuk merah putih yang hambar dan sambal yang ditambahkan sesuai selera. Tapi situasi ini justru dimanfaatkan sama pembeli pertama. Yang pertama datang ke kantin, membeli mie biasanya menambahkan kerupuk sampai batas maksimal, sehingga yang terjadi bukan lagi makan Mie pakai kerupuk, tapi makan kerupuk pakai Mie. Tapi kalau sambal selalu tersisa.

 Di samping Mie, kak Atik juga menjual penganan standar seperti pisang goreng dan cemilan lain, tidak ketinggalan bermacam es.

 Selain jajanan standar itu, kak Atik dan juga kantin-kantin lainnya menjual ROKOK. Di tahun 1989 itu di SMA 2 rokok dijual bebas, terbuka tanpa sembunyi-sembunyi .Saya tidak yakin yang satu ini juga dijual bebas di SMA 1 dan SMA 3. Para guru dan pendidik zaman sekarang mungkin akan kejang-kejang mendapati fakta seperti ini.

 Tapi pada tahun itu, ketika iklan rokok masih dengan gagah menampilkan orang yang menghisap rokok. Guru pun tidak mempermasalahkan bahkan bisa dikatakan men-support budaya merokok.

 Satu pengalaman yang sangat berkesan bagi saya dalam soal rokok ini adalah ketika kami sedang mempersiapkan Aula untuk perayaan Maulid Nabi. Saya termasuk salah satu yang terpilih untuk ikut mendekor aula. Kami dibebaskan dari kegiatan belajar dan konsentrasi menyelesaikan pekerjaan di aula. Makanan kecil dan kopi, disediakan oleh sekolah.

 Ketika kami sedang sibuk mendekor ruang aula, Pak Ismail, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan masuk dan tanpa basa-basi menanyakan “ Mau rokok apa Dik?”. Teman-teman yang sedang mendekor pun, dengan santai menyebutkan merk-merk rokok yang mereka suka. Pak Is kemudian merogoh kantong dan mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberikannya kepada salah satu siswa yang ada di aula dan menyuruhny membeli rokok.  Dan dia kembali dengan bebeberapa bungkus rokok  Djarum Super dan Surya 16.

 Saya sebenarnya tidak merokok dan tidak tahan dengan asap rokok. Tapi karena semua teman merokok saya juga ikut untuk gaya-gayaan. Meskipun saya tidak pernah mengisap asapnya sampai ke paru-paru. Cuma dihisap dan dihembuskan di mulut saja.

 Tapi ternyata dalam hidup tak ada yang abadi. Saat kami duduk di kelas III, Pak Ali kepala sekolah kami digantikan oleh Pak Sanusi. Kepala sekolah baru ini tidak melanjutkan kebijakan lunak kepala sekolah lama soal rokok.

 Pak Sanusi yang kepala sekolah baru bersikap tegas terhadap rokok. Siswa SMA 2 dilarang merokok di sekolah.

 Cuma karena sudah menjadi kebiasaan, kantin-kantin masih menjual rokok tapi secara “Klandestin” alias sembunyi-sembunyi.

 Kebijakan kepala sekolah ini segera diikuti oleh bawahannya. Pak Ismail yang tadinya dalam kegiatan sekolah membelikan rokok untuk kami, juga ikut-ikutan bersikap tegas dan saya sempat menjadi korban ketegasan itu.

 Kejadiannya di kantin Kak Atik. Waktu itu kami sedang tidak ada guru dan seperti biasa kalau bosan di kelas beberapa dari kami keluar untuk melepas suntuk. Makan kue, minum kopi di kantin Kak Atik. Sambil mengisap rokok tentu saja.

 Waktu itu, kak Atik sedang bercerita saya lupa tentang apa tapi yang jelas cerita itu menarik perhatian saya. Saya duduk di kursi plastik yang disediakan kak Atik mendengarkan ceritanya sambil mengisap rokok gaya-gaya.  Saking asyiknya mendengar cerita Kak Atik, saya tidak sadar kalau teman-teman saya satupun sudah tidak ada lagi di sana. Rupanya mereka melihat Pak Is datang dari kejauhan.

 Saya yang tidak sadar masih saja dengan tenang mengisap rokok, Kak Atik juga sepertinya tidak tahu. Tiba-tiba Pak Is sudah berdiri di depan saya.

 “Win....”
 “Iya pak?”
 “Apa itu di tangan kamu?”
 “Rokok Pak!”
 Plakk...!, tiba-tiba tangan Pak Is sudah mendarat di pipi saya dan semuanya terlihat gelap.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun