Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

WANADRI, Ternyata Tidak Arogan

23 Maret 2013   01:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:23 10088 3
Sehari setelah tulisan saya yang berjudul "MAPALA UI Ternyata Munafik Kelas Berat" yang saya publikasikan di kompasiana http://peristiwa.kompasiana.com/regional/2013/03/20/1/538550/mapala-ui-ternyata-munafik-kelas-berat.html dimana di dalamnya saya menyinggung WANADRI yang saya sebut sebagai kelompok Pecinta Alam yang arogan. Saya menerima pesan pribadi di Inbox Facebook saya dari Muhammad Gunawan alias Ogun, yang merupakan salah satu anggota senior WANADRI.

Inti dari pesan tersebut adalah penjelasan Ogun terhadap peristiwa yang terjadi pada tahun 1994 dari sisi WANADRI. Peristiwa yang telah membuat kami memiliki persepsi negatif terhadap WANADRI selama 19 tahun.

Berdasarkan penjelasan Ogun yang disampaikan dengan sangat simpatik ini. Saya menyadari bahwa pandangan negatif kami terhadap WANADRI yang telah bertahan selama 19 tahun ini, benar-benar karena adanya salah persepsi di pihak kami. Sebab kami telah menilai WANADRI arogan dan sombong hanya berdasarkan informasi dari orang ketiga yaitu POLRI.

Dalam komunikasi antara saya dan Ogun yang berjalan dua arah ini, saya sangat senang ketika Ogun menerima permintaan maaf saya dan juga sangat memaklumi situasi yang kami alami pada tahun 1994 silam. Di mana saat itu komunikasi masih merupakan sesuatu yang mahal. Waktu itu belum ada internet dan telepon genggam seperti sekarang. Sehingga kami tidak bisa langsung serta merta minta klarifikasi dari WANADRI ketika peristiwa seperti itu terjadi.

Untuk lebih memahami kronologis peristiwa ini. Saya pikir saya perlu menjelaskan sedikit tentang latar belakang terjadinya peristiwa yang membuat kami mendongkol selama 19 tahun kepada WANADRI.

Waktu itu tahun 1994 ketika kami dari UKM PA LEUSER Unsyiah berencana melakukan pendakian Gunung Leuser dari jalur selatan.

Jalur selatan Leuser adalah jalur maut. Beratnya medan yang harus dilalui meraih puncak Leuser melalui jalur ini telah merenggut nyawa beberapa pendaki yang mencopa menggapainya. Pada masa itu seolah-olah ada semacam perlombaan (meskipun tidak pernah disebutkan) antara kelompok Pecinta Alam di Indonesia untuk menjadi yang pertama mecapai Leuser melalui jalur ini.

Dalam usaha ini, korban nyawa pun tidak terelakkan. Rika Pandayana adalah nama salah seorang pendaki dari KAPA UI yang menghembuskan nafas terakhir di jalur ini. (Berdasarkan informasi dari Bima Sukma yang mengaku sebagai anggota KAPA UI,  almarhumah Rika bukan anggota KAPA UI. Menurut informasi dari http://makeadventure.blogspot.com/2008/12/gunung-leuser-3381-mdpl.html Rika Vandayana adalah anggota WANADRI)

Pada tahun 1993, UKM PA LEUSER mencoba peruntungan untuk menggapai puncak Leuser melalui jalur ini. Tapi tim ekspedisi Leuser yang kami namakan (Tim Pendakian Gunung Leuser) TPGL 93 yang menggunakan 'Alpine Tactic'sebagai strategi pendakiannya terpaksa mengakhiri misinya pada hari ke 14 tanpa mencapai puncak karena kehabisan logistik. Di belakang Tim Leuser menyusul tim STUPALA Universitas Borobudur yang melakukan pendakian menggunakan 'Himalayan Tactic'. Kedua tim ini menjadikan desa Peulumat sebagai titik awal pendakian. Saat tim Leuser dalam perjalanan pulang, tim kami sempat bertemu dengan tim dari Universitas Borobudur dan sempat berfoto bersama.  Tim dari Universitas Borobudur ini melanjutkan ekspedisi, tapi di hari ke 85, mereka terpaksa mengakhiri ekspedisi karena salah seorang anggota tim mereka yang bernama Hendra Budhi meninggal dunia.

Setelah gagal di tahun 1993, kami yang masih penasaran dengan Jalur Selatan Leuser bertekad menembusnya pada tahun 1994. Meskipun pada tahun 1993 'Alpine Tactic' yang kami usung telah terbukti gagal membawa kami ke puncak Leuser. Tapi karena waktu itu kami selalu kesulitan dana untuk setiap ekspedisi yang kami lakukan, karena di Aceh hampir mustahil mendapatkan sponsor. Maka kami tak punya pilihan, satu-satunya taktik yang mungkin kami lakukan dalam melakukan ekspedisi adalah 'Alpine Tactic' dimana semua perlengkapan dan bekal dipanggul sendiri oleh pendaki. Tidak seperti Himalayan Taktik yang memiliki tim pendukung yang mensuplai kebutuhan tim utama.

Sebagai konsekwensinya kami harus berlatih lebih keras, karena kami dipersiapkan untuk memanggul beban minimal 40 Kg per orang yang diperkirakan akan cukup untuk bekal ekspedisi selama 33 hari.

Angka 33 hari ini kami dapatkan berdasarkan perhitungan dari waktu yang ditempuh oleh tim TPGL dan waktu 85 hari yang ditempuh oleh Tim STUPALA. Berdasarkan cerita dari tim TPGL waktu yang ditempuh Tim TPGL dalam sehari setara dengan 4 atau lima hari waktu yang ditempuh tim STUPALA.

Waktu ekspedisi kami rencanakan pada saat liburan semester genap di akhir bulan juli, dengan target kami akan mencapai puncak pada tanggal 17 agustus 1994.

Untuk mensukseskan misi itu, kami dilatih seperti atlet Olimpiade selama hampir setahun penuh. Banyak peserta seleksi yang muntah-muntah dan gugur dari seleksi. Selama Pra Ekspedisi kami berlatih mendaki Gunung Seulawah dengan ransel berisi batu bata. Untuk melatih mental dan kekompakan kami dilepas berjalan di siang bolong dengan beban 40 Kg di punggung di padang rumput antara Jantho dan Krueng Jreu selama dua hari.

Tapi di tengah persiapan kami, kami baca di koran lokal bahwa pada bulan Mei Tim gabungan dari WANADRI dan BRIMOB POLRI akan melakukan ekspedisi Jalur Selatan Leuser. 2 bulan sebelum rencana ekspedisi kami. Dan ternyata ekspedisi ini sukses, mereka berhasil menjadi tim pertama yang mencapai puncak Leuser dari jalur selatan dengan menjadikan desa Manggeng sebagai titik awal pendakian.

Berita ini tidak menyurutkan semangat kami untuk melakukan ekspedisi, meskipun banyak kendala yang harus kami hadapi tekad kami untuk menembus jalur Selatan Leuser pada tahun ini tidak surut. Selain dana ada banyak kendala yang kami alami sebelum berangkat melakukan ekspedisi ini. Salah seorang anggota tim andalan kami gagal berangkat karena menjelang keberangkatan, orang tuanya meninggal dunia. Beberapa tidak mendapat izin dari orang tua, sampai yang tidak punya ransel untuk berangkat melakukan ekspedisi. Tapi di tengah semua kendala itu kami tetap berangkat. Dari 60 orang peserta seleksi 9 orang terpilih menjadi tim pendaki dengan komposisi 8 orang laki-laki (saya termasuk salah satunya) dan satu orang perempuan bernama Asih Budiati. Sisanya menjadi tim pendukung ekspedisi, entah itu mengurus pendanaan, perizinan, tim posko dan lain-lain.

Saat akan berangkat kami dilepas dengan gagah oleh Kapolda Aceh, segala perizinan di tingkat Provinsi beres. Karena tidak memiliki dana untuk khusus berangkat mengurus izin di tingkat kabupaten akan kami lakukan berbarengan dengan waktu keberangkatan.

Saat berangkat pun, karena keterbatasan dana untuk berangkat dari Banda Aceh ke Blang Pidie yang jaraknya sekitar 600 KM, hanya Tim inti yang mendapat kehormatan berangkat naik Bus. Para anggota tim pendukung, harus rela berdesakan di dalam bak terbuka Chevrolet Pick Up milik bang Erick, salah seorang senior kami.

Setelah menempuh perjalanan selama 14 jam akhirnya kami tiba di Tapak Tuan. Di Ibu Kota Aceh Selatan ini kami yang sedang berada dalam semangat tinggi untuk melakukan pendakian langsung menuju Polres Tapak Tuan untuk melaporkan rencana ekspedisi kami yang dilepas oleh Kapolda sekaligus meminta izin resmi. Tapi tanpa kami duga, Polres Tapak Tuan tidak mau mengeluarkan izin pendakian untuk kami dengan alasan yang paling tidak masuk akal yang pernah kami dengar yaitu DILARANG OLEH WANADRI. Mendengar alasan yang sangat tidak masuk akal itu, kami benar-benar meradang, Ketua Umum kami Sdr Arma Yadi mengamuk dan hampir ribut dengan satuan Polres Tapak Tuan. Ingin rasanya kami menelepon dan memaki-maki WANADRI saat itu juga tapi kami tidak tahu harus menelepon kemana. Akibat dari larangan ini kami terkatung-katung selama seminggu di Aceh Selatan.

Untungnya saat itu salah seorang senior kami (Yah Cut) sedang mengerjakan proyek irigasi di Blang Pidie sebuah kota lain di Aceh Selatan. Jadi selama seminggu itu beliau lah yang menampung kami di Posko kerjanya dan membiayai segala kebutuhan kami selama masa yang tidak jelas itu, sehingga dana kami yang sangat terbatas tidak tersedot untuk hal yang di luar rencana itu. Selama seminggu, kami terus berusaha melobi Polres Aceh Selatan untuk mengeluarkan izin pendakian untuk kami. Tapi Polres tetap berkeras bahwa kami tidak boleh mendaki Gunung Leuser sebelum keluar ANEV (Analisa dan Evaluasi) dari WANADRI. Sebab begitulah pesan dari WANADRI.

Karena melihat sama sekali tidak ada celah untuk mendapatkan izin pendakian. Kami pun melakukan rapat internal untuk memutuskan nasib ekspedisi ini, lanjut atau dihentikan. Arma Yadi sebagai Ketua Umum yang punya tanggung jawab paling besar menyarankan untuk menghentikan ekspedisi dan mencoba lagi tahun depan. Tapi kami 9 orang anggota tim pendaki yang sudah lulus seleksi menolak keras. Ini daerah kita, ini wilayah kita apa pula urusannya dengan WANADRI, nggak ada alasan untuk mundur. Ada atau tidak ada izin kita tetap lanjutkan ekspedisi. Begitu keputusan kami.

Akhirnya disepakati ekspedisi tetap dilanjutkan, meskipun kami melakukannya seperti pencuri.

Dengan tetap menjadikan desa Peulumat sebagai titik awal pendakian sebagaimana ekspedisi tahun sebelumnya, kami berangkat diam-diam tanpa publikasi. Di saat pelepasan Arma Yadi berpesan. "Kalian sudah tahu konsekwensi dari ekspedisi kita ini, kita nggak dapat izin. Kalau kalian mati nggak akan ada TIM SAR yang mencari, kalian cuma bisa berharap pada kami, serta solidaritas kawan-kawan PA di Aceh dan di Medan. Dan kalau kalian sampai ada yang mati, aku masuk penjara". Begitulah suasana pelepasan kami. Dan kami pun berangkat dengan setiap orang memanggul minimal 40 kg beban, kecuali Asih yang hanya memanggul 30 Kg.

Tiga hari pertama kami sengaja tidak berkomunikasi dengan posko supaya keberadaan kami tidak terlacak. Baru pada hari ke-empat, karena kami yakin meskipun kami dilarang mendaki tapi karena posisi kami sudah sedemikian jauh di hutan takkan mungkin lagi ada yang berani menyusul kami. Baru kami melakukan komunikasi untuk melaporkan posisi dan keadaan kami. Akibatnya tentu saja kami jadi ketahuan dan kami disuruh turun, tapi tidak kami hiraukan.

Tapi setelah itu posko tim pendukung kami di Peulumat langsung didatangi polisi. Hasbuna, anggota kami yang berjaga di Posko diusir pulang ke Banda Aceh dengan alasan yang tetap konsisten kami terlalu lancang mendaki Gunung Leuser tanpa menunggu ANEV dari WANADRI.

Tanpa punya pilihan lain, Hasbuna terpaksa angkat kaki. Sebelum pulang, Hasbuna mampir ke statsiun relay TVRI Blang Pidie untuk meminta bantuan menjadi pos pemantau bayangan untuk tim pendaki kami dan permintaan itu diterima oleh TVRI. Sehingga setiap sore kepada mereka lah kami melaporkan keadaan dan posisi kami. Pak Tawon dan Juala adalah dua nama pegawai TVRI Blang Pidie yang masih saya ingat (tapi sampai saat ini tidak pernah saya ketahui sosoknya), setiap sorenya menerima laporan tentang keadaan kami.

Situasi pendakian sendiri harus diakui memang sangat berat. untuk mencapai kaki Leuser ada banyak bukit dan lembah yang harus dinaik turuni, cuaca sama sekali tidak bisa ditebak, tapi secara umum jauh lebih sering hujan daripada cerah. Air juga jadi isu utama, kadang kami tidak mendapatkan sumber air selama berhari-hari. Air tidak layak minum, mulai air dari kantong semar, perasan lumut sampai kubangan Babi terpaksa kami minum dalam ekspedisi ini.

Dengan segala kendala yang kami hadapi, pada hari ke 10 kami sampai di tempat Tim STUPALA Universitas Borobudur di evakuasi. Pohon-pohon ditempat itu (khas pohon di ketinggian dengan diameter maksimal sebesar paha) tampak rata ditebangi seluas lapangan Bola, yang digunakan sebagai tempat pendaratan Helikopter. Suara tiga air terjun yang keluar dari dinding selatan Leuser terdengar keras sekali. Kami menginap di tempat ini, di sini kami menemukan satu kantong kresek Mie Instant yang isinya sudah habis dimakan semut, sekantong rokok yang sudah basah dan beberapa kaleng sarden dan kornet yang masih bagus yang langsung kami jadikan menu makan malam. Ini menjadi menu makan malam ternikmat kami selama 10 hari ekspedisi, karena menu sebelumnya konsisten hanya nasi dengan lauk ikan asin diselingi dengan teri.

Esok harinya sekitar 1 jam berjalan kaki, kami diserang tawon tanah. Saya terkena di tangan kiri meninggalkan lobang menganga di tempat itu sampai akhir ekspedisi dan tetap berbekas sampai hari ini. Tidak jauh dari tempat itu kami tiba di tempat Hendra Budhi meninggal dunia. Tim SAR meninggalkan tanda berupa nisan di dari semen yang dicetak di tempat itu. Kami berdo'a di tempat itu, memohon pada yang kuasa agar rekan kami Hendra Budhi mendapat tempat yang layak di sisiNya.

Hari ke-12 kami menemui jalur yang terjal dan memutuskan membuat camp di satu tempat yang cukup rata di tengah tebing.

Hari ke 13, tanggal 15 Agustus 2004 sekitar 15 menit merangkak dari Camp, kami akhirnya sampai di puncak Leuser. Asih Budiati teman satu tim saya menjadi perempuan pertama yang mencapai Leuser dari jalur selatan. Menyedihkan sekali membayangkan apa yang dialami oleh Tim STUPALA Universtas Borobudur setahun sebelumnya, mereka terpaksa mengakhiri ekspedisi saat mereka sudah berada dekat sekali ke puncak Leuser.

Malam itu kami menginap di Puncak Leuser dan kami melanjutkan perjalanan ke Puncak Loser keesokan harinya.

Kembali dari Leuser kami menginap semalam lagi di puncak Leuser dan kemudian kami turun, perjalanan turun jauh lebih cepat dibanding perjalanan naik. Total ekspedisi ini kami selesaikan dalam waktu 22 hari.

Tidak ada yang menyambut kami saat tiba di Peulumat, sebab teman-teman di Banda Aceh sedang sibuk mencari dana untuk biaya memulangkan kami dengan cara berjualan nasi bungkus pada mahasiswa baru peserta OSPEK. Baru sehari setelah kami tiba di Peulumat, Arma Yadi dan Zulfikar (Anggota tim terpilih yang gagal berangkat karena orang tuanya meninggal) tiba dari Banda Aceh untuk menjemput kami.

Begitulah kisah ekspedisi kami di jalur selatan Leuser, pada tahun 1994 yang membuat kami mendongkol dan marah pada WANADRI sampai 19 tahun kemudian.

Tapi setelah semuanya dijelaskan oleh Ogun kepada saya, sepertinya WANADRI sendiri sama sekali tidak tahu menahu tentang apa yang kami alami yang diklaim oleh Pihak ketiga (Polres Tapak Tuan) sebagai ulah mereka.

Untuk itu, kepada Ogun secara pribadi dan WANADRI secara institusi. Saya akui kesalah pahaman ini terjadi karena kami yang tidak meminta konfirmasi langsung mengenai kejadian ini pada WANADRI. Untuk itu saya atas nama pribadi dan juga atas nama Tim EJSL 94, UKM PA LEUSER Unsyiah, memohon maaf sebesar-besarnya atas segala persepsi negatif saya dan teman-teman kepada WANADRI selama 19 tahun ini. Semoga ke depan ini tidak lagi terjadi dan sebagai mana yang saya dengar dari adik-adik kami, saat ini Leuser dan WANADRI menjalin kerja sama yang erat, mudah-mudahan selamanya hubungan baik ini terus bertahan demikian adanya.

Wassalam

Win Wan Nur

Anggota Tim EJSL 94, UKM PA LEUSER Unsyiah.

Di bawah ini adalah catatan percakapan saya dengan Ogun di inbox FB saya yang atas seizin Ogun saya publikasikan di sini, tanpa saya tambah atau saya kurangi. Dilengkapi pula dengan tanggapan dari Sofyan dan Enjur Parhandi yang merupakan anggota Tim EJSL 94 UKM PA LEUSER UNSYIAH serta Arma Yadi, Ketua Umum UKM PA LEUSER Unsyiah periode 1993 - 1995

Berikut isi percakapannya :

Conversation started today

8:38am

Muhamad Gunawan

Win Wan Nur,

Saya Ogun dari Wanadri. saya sdh baca Kompasiana. Yang saudara tulis mengenai Wanadri, rasanya tulisan itu sangat-sangat tidak tepat. Wanadri tidak punya kapasitas untuk melarang atau membolehkan orang yang mau naik gunung. Bila ada hal2 yang demikian, ada baiknya menghubungi DP Wanadri di Bandung. Kami tidak bisa menghindar bahwa orang lain melihat kami arogan. Tetapi perlu diingat bahwa hakekat wanadri untuk menjelajah adalah demi pioneeering dan ilmu pengetahuan. Dan kami selalu mencoba untuk belajar dari kearifan lokal, ngga ada rasa lebih besar dari orang lain. Kita bisa diskusi lebih dalam untuk kehidupan berpetualang dan kehidupan lain.. salam, Ogun

Today

12:06pm

Win Wan Nur

Ya saya maaf kalau begitu keadaannya, adik-adik juga sudah menyampaikan tanggapan WANADRI pada saya.

Tapi apa yang saya tulis itu adalah apa yang kami rasakan dan itu alasan yang dikemukakan POLRI kepada kami pada saat itu. Dan akibatnya saat itu kami mendaki gunung di wilayah kami sendiri seperti seorang pencuri.

Sayang sekali waktu itu komunikasi antar kita belum selancar sekarang karena waktu itu belum ada internet.

Saya akan senang dan mengapresiasi sekali kalau WANADRI baik atas nama organisasi ataupun pribadi mau menuliskan segala keberatannya tentang situasi yang sebenarnya tahun 1994 silam, baik di tulisan di Kompasiana itu ataupun tulisan lain. Karena terus terang keadaan itu sangat mengganggu kami pendaki Leuser 1994, dan itu membuat saya dan teman-teman punya persepsi buruk terhadap WANADRI sampai sekarang.

12:35pm

Muhamad Gunawan

Dari kondisi pendakian tahun 1994, Wanadri tidak merasa melakukan suatu kesalahan. bahwa polisi aceh menunggu report dari wanadri, tentunya itu bisa ditanyakan kepada kepolisian aceh. Rasanya, karena ini memang ekspedisi bersama brimob, tentunya laporan2 itu disampaikan kepada DP Wanadri dan Brimob pada waktu itu.

Kami membaca baik2 bahwa dari tulisan yang disampaikan, kami lebih melihat ini adalah ketidak nyamanan pribadi.. Maka, saya lebih memilih bertanya secara pribadi juga.

1:41pm

Win Wan Nur

Kalau begitu terima kasih atas penjelasannya, terus terang saya akui memang waktu itu kita memang kurang komunikasi, tidak seperti sekarang yang kalau ada masalah dan ganjalan, kita bisa cari alamat di Internet.

Tapi waktu itu, kami di Tapak Tuan, sudah siap untuk berangkat, izin dari POLDA sudah keluar, tapi sampai di Polres kami dihalangi dengan alasan harus menunggu ANEV dari WANADRI karena katanya WANADRI berpesan demikian. Anda bayangkan kami sudah berlatih setahun penuh, saat akan berangkat tiba-tiba kami harus terganjal karena tidak adanya izin dari WANADRI, yang entah ada di mana sekarang.

Dengan penjelasan ini, saya jadi memaklumi situasi pada saat itu dan kalau anda dan teman-teman di WANADRI merasa berkeberatan dengan tulisan saya di KOMPASIANA itu, saya akan menuliskan satu tulisan permintaan maaf di media yang sama dan kalau anda mengizinkan dalam tulisan itu saya akan mengutip penjelasan anda di sini.

2:01pm

Muhamad Gunawan

Saya juga mengucapkan terimakasih atas penjelasannya. Memang beralasan kekesalan saudara ketika menghadapi itu. Semoga kedepan memang kita mengutamakan komunikasi dan konfirmasi bila ada sesuatu yang kurang berkenan. Kami siap untuk share dalam berbagai hal yang berkaitan dgn kegiatan kita. Untuk memberikan gambaran yang lebih gamblang, silahkan saja disampaikan di Kompasiana.. Saya juga tidak berkeberatan diskusi kita dikutip. Terimakasih..

2:02pm

Win Wan Nur

Terima kasih, jabat erat dari saya dan Salam Lestari....

Tanggapan dari Sofyan :

Sonyan Sofyan : Pemahaman kedua belah pihak sudah ditemui... Saya pikir, kasus ini sebenarnya kurangnya teknik berkomunikasi pada tahun 1994 itu. benar Wanadri dan tim Brimobnya telah sukses melakukan pendakian pada waktu itu, sayang pihak Polres merasa laporan pendakian dari Tim Wanadri dan Brimob merupakan satu-satunya cara untuk memberi izin pada saat itu. Padahal kami sudah mengantongi izin dari Polda Aceh. Polres dan Polda tidak berkoordinasi secara vertikal, tetapi Polres mengambil sikap yang demikian. Kami menjadi korban... Semoga ini menjadi jembatan emas hubungan antara kami UKM PA Leuser Unsyiah dengan Wanadri...

17 hours ago · Like · 2

Tanggapan dari Arma Yadi :

Arma Yadi : sudah cukup bijak sekali penyampain saudara Muhammad Gunawan dari Wanadri. karena waktu itu kita memang tidak mendapatkan akses untuk berkomunikasi secara langsung kepihak mereka. Kita hanya menerima penyampaian sepihak dari pihak Polres Aceh Selatan waktu itu.

Dan saya fikir lagi, bahwa apa yang disampaikan oleh saudara Win Wan Nur adalah apa yang kami rasakan dilapangan ketika mendapat kabar pahit tidak bisa melakukan ekspedisi tersebut.

Dan Komunikasi pada waktu itu (1994) adalah sesuatu yang sangat mahal. Maka penjelasan dari rekan-rekan semua adalah sangat bijaksana, dan berhasil memperbaiki kesalahpahaman yang sudah terjadi selama puluhan tahun.

Meski demikian saya sangat berharap Win Wan Nur juga mau meminta maaf kepada keluarga besar WANADRI atas tulisan itu, dan berharap Saudara-saudara di Wanadri bisa memahami situasi dan kondisi pada masa tersebut terjadi seperti apa yang disampaikan sudara Win Wan Nur. Dengan itu kita semua bisa saling introspeksi diri, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan.

Trimakasih Wasslam

15 hours ago · Like · 3

Arma Yadi : boleh di share penyampain kita disini, biar teman kita faham keadaan waktu itu win. Tks

15 hours ago · Like

Tanggapan dari Enjur Parhandi :

Enjur Parhandi : Sudah lama ya.....hampir 20 tahun yang lalu......tapi masih jelas terbayang....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun