Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Teknologi Tenaga Angin, Mungkinkah?

24 Desember 2010   14:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25 909 2
Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah perbincangan di televisi yang membahas tentang rendahnya kemampuan Indonesia untuk menghasilkan produk-produk berteknologi.

Di acara itu banyak ahli yang membahas masalah ini dari berbagai sudut pandang. Tapi hanya ada satu point yang kami pikir paling menarik dalam perbincangan itu, yaitu kurangnya dukungan dana terhadap industri yang mengembangkan teknologi.

Dan ini benar sekali, karena itu sudah kami alami sendiri.

Kami adalah perusahaan yang berfokus dalam menghasilkan produk-produk teknologi berbasis baja. Sejak tahun 1992, kami PT.Haspelindo Ekatama telah menghasilkan banyak produk dan juga mengerjakan proyek-proyek berteknologi tinggi. Sebut saja misalnya suspensi Per Keong untuk kendaraan niaga dan Jip. Sekarang mobil-mobil niaga baru keluaran Daihatsu dan Toyota, menggunakan teknologi suspensi yang hampir persis sama seperti yang kami buat dulu.

Untuk proyek fisik, kamilah yang merancang dan mengerjakan menara BNI 46 yang sekarang menjadi ikon Jakarta. Selain itu kami juga mengerjakan pembuatan hanggar pesawat di Hongkong dan Manila. Jadi secara teknologi tepat guna seperti ini, sebenarnya kita di Indonesia tidak kalah terlalu jauh dibanding negara-negara yang sekarang berkembang pesat teknologinya.

Sebenarnya kalau pemerintah mau serius dan mau mengalokasikan dana dan membuat kebijakan yang pro teknologi ini, Indonesia akan bisa berkembang pesat sekali. Tapi bagaimana mau bisa maju, kalau alokasi dana untuk riset dan pengembangan teknologi ini saja sangat terbatas. Di Account twitter-nya ekonom Faisal Basri mengatakan, Cina mengalokasikan dana sampai puluhan milyar dollar setahun untuk mengembangkan riset dan teknologi, sementara Indonesia, semilyar saja tidak sampai.

Mentalitas pemerintah dan pengambil kebijakan kita adalah mentalitas proyek, "berapa untuk saya", itu yang paling penting. Dan itu harus dibayar dimuka. Ini kami alami saat kami mempresentasikan teknologi yang bisa menutup semburan lumpur Lapindo. dengan teknologi yang kami punya, hanya dibutuhkan dana 400 Milyar saja untuk menutup lubang itu (pada saat itu sebelum lubangnya membesar dan merembet kemana-mana) dengan waktu enam bulan saja padahal Jepang baru berani mengerjakannya di angka 3,5 trilyun dengan proses yang sangat ribet dan lama. Tapi proyek ini gagal, karena ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan adanya bencana ini, yang  mendapat pemasukan dari proyek penanggulangan yang dikerjakan setiap hari. Proyek ini gagal kami laksanakan.

Kalaupun ada pihak swasta yang katanya ingin menjadikan Indonesia setara, itu hanya sampai sebatas omongan. Tidak sampai ke aksi nyata.

Dalam keadaan yang sama sekali tidak kondusif untuk pengembangan teknologi seperti ini. Kami terus berusaha menciptakan beragam inovasi.

Produk inovatif terbaru yang kami hasilkan adalah alat penghemat bahan bakar berbasis air. Yang bekerja dengan cara memecah molekul air menjadi hidrogen yang kemudian disuntikkan ke dalam intake manifold untuk bercampur dengan udara yang masuk ke ruang bakar untuk membantu bahan bakar utama untuk terbakar lebih sempurna serta mengurangi konsumsi bahan bakar yang ada.

Tapi produk yang sudah jadi ini, terkendala masuk ke pasar karena kami terkendala dana untuk mempromosikan dan mensosialisasikan fungsi alat ini. padahal sudah banyak sekali pelanggan yang memakai alat ini yang merasa puas dengan kinerjanya. Cuma itulah, karena tidak ada dorongan kebijakan dari pemerintah untuk memacu produk teknologi seperti ini, kami sangat kesulitan untuk menemukan sumber pendanaan untuk memperkenalkan produk kami.

Beberapa waktu yang lalu di Grand Indonesia, kami berbincang-bincang dengan T. Irwan Djohan, calon walikota Banda Aceh dari jalur independen. Dalam pembicaraan itu, Irwan menyinggung tentang salah satu masalah utama di kota Banda Aceh, kota tempatnya mencalonkan diri sebagai pemimpin, yaitu masalah kurangnya pasokan listrik. Sehingga listrik di kota itu sering padam.

Saat itu Irwan mengatakan kalau dia terpilih menjadi walikota dia berencana untuk mengalokasikan dana untuk pembangkit listrik yang bersifat lokal yang bisa melayani kebutuhan listrik sebuah komunitas. Dan sebagai solusinya Irwan berpikir untuk memanfaatkan Solar Cell.

Tapi sepengetahuan kami, Solar Cell adalah pembangkit listrik yang membutuhkan biaya investasi dan perawatan paling mahal. Berdasarkan daftar yang didapat dari sini http://www.ecobusinesslinks.com/solar_panels.htm harga listrik yang harus dibayar untuk tiap watt yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga surya. Termurah adalah 1,42 US Dollar dan yang termahal 2,54 US Dollar. Bayangkan kalau orang harus menyalakan televisi, kulkas dan mesin cuci dengan mengandalkan tenaga listrik ini.

Belakangan ini, melihat maraknya bisnis tower telekomunikasi yang disewakan kepada perusahaan seluler yang kemudian menciptakan masalah baru dalam bisnis ini. Seperti kesulitan mendapatkan izin, mahalnya sewa tanah serta penolakan masyarakat terhadap Tower yang sudah dibangun, serta waktu pemasangan yang bisa berbulan-bulan..

Maka kami pun berpikir untuk menciptakan sebuah Tower telekomunikasi portable yang mudah dipindah-pindahkan dan hanya butuh waktu dalam hitungan menit untuk bisa berdiri dan siap pakai. Sebenarnya tower seperti ini sudah pernah dibuat orang di Amerika, tapi banyak sekali kelemahannya. Tower buatan Amerika ini ketinggian maksimalnya hanya 17 meter. Kemudian harganya juga sangat mahal, untuk mendirikan tower juga masih menggunakan teknologi Hidrolik yang sangat riskan kalau mengalami kebocoran.

Melihat itu, maka kamipun berpikir untuk membuat tower sejenis dengan teknologi yang lebih disempurnakan dan dengan sistem pengamanan yang lebih baik. Serta yang lebih penting, tower ini bisa dibuat dengan ketinggian sampai 72 meter. Maka terciptalah  Mobile Tower Integrated System (MTIS) unithttp://www.youtube.com/watch?v=1vSzpzERdbA yang langsung mendapat sambutan hangat dari pasar. Saat ini kami sedang mengerjakan 10 unit tower setinggi 42 Meter ini untuk digunakan oleh Telkomsel sebelum lebaran nanti.

Setelah tower ini berjalan, terinspirasi dari percakapan tentang kelangkaan listrik dengan Teuku Irwan Djohan, kami pun berpikir untuk menciptakan produk baru yang mengadopsi teknologi MTIS yang akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Yaitu produk pembangkit listrik tenaga angin yang bisa dipindah-pindahkan. Yang biayanya jauh lebih murah dibanding pembangkit listrik tenaga matahari.

Alat yang akan kami buat ini nantinya akan mampu menghasilkan energi listrik sampai 200 Kilowatt. Cukup banyak untuk bisa memenuhi kebutuhan listrik di sebuah pemukiman.

Mudah-mudahan, proyek ini akan segera berjalan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun