Penulis: 3_Winnie Sitorus, Peserta Latsar CPNS Angkatan IV LAN 2024
Tren K-Pop yang merupakan bagian dari fenomena "Korean Wave" sudah sangat lumrah terlihat di kehidupan sehari-hari. Hal ini digandrungi banyak kalangan terutama genZ. Perkembangan teknologi informasi yang masif akibat adanya globalisasi menjadi faktor utama penyebab besarnya antusiasme publik. Secara perlahan, budaya Korea mulai banyak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama generasi muda, mulai dari fashion, make up, korean skincare, makanan, gaya bicara, hingga bahasa. Jika hal ini terus menerus berlangsung, bukan hal yang mustahil apabila suatu saat nanti Indonesia akan benar-benar kehilangan identitas asli nya dikarenakan terjadinya asimilasi budaya.Â
Jika dirunut ke belakang, sejarah terbentuknya berbagai kebudayaan Indonesia memakan waktu yang lama dan setiap prosesnya mengandung makna yang mendalam. Berawal dari kehidupan zaman kerajaan-kerajaan kuno, kedatangan bangsa asing untuk menjajah sehingga timbullah berbagai pergerakan nasional di Indonesia yang pada akhirnya, puncak dari dari semua proses tersebut menghasilkan 4 (empat) konsensus dasar yaitu Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara Garuda Pancasila, serta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya sebagai alat pemersatu, identitas, kehormatan dan kebanggaan bersama. Â
Empat konsensus dasar tersebut sampai saat ini terus dipertahankan dan masih eksis penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, bila ditelisik dari fakta yang ditemukan di lapangan, implementasi dari konsensus dasar tersebut tidak mendapatkan antusiasme tinggi dari warga negara. Mulai dari upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, hingga memajang foto berisi 5 (lima) sila Pancasila di setiap ruangan kantor/sekolah tampaknya hanya sebatas formalitas saja. Berbanding terbalik dengan antusiasme terhadap budaya K-Pop yang begitu tinggi. Menurut data, pada tahun 2019, Twitter mengumumkan daftar negara yang paling banyak men-tweet terkait artis Kpop sepanjang tahun 2019 dan Indonesia berada pada peringkat 3 setelah Thailand dan Korea Selatan. Sedangkan untuk penayangan video-video K-pop di Youtube berdasarkan negara, Indonesia menempati posisi ke-2 dengan persentase 9.9% (Won So, 2020). Tahun 2021, Twitter mengumumkan bahwa Indonesia berada di peringkat pertama dalam daftar negara dengan jumlah Tweet tentang K-pop terbanyak selama dua tahun berturut-turut.Â
Data tersebut menunjukkan fakta miris bahwa warga negara Indonesia pengguna twitter lebih tertarik dengan budaya K-Pop dan secara tidak langsung ikut berperan serta dalam menyebarluaskan budaya asing tersebut. Kemudian, fenomena lainnya seperti menyelipkan kata-kata dengan bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari seperti annyeong, jinjja, aigoo, saranghae, hyung, dan hwaiting. Penggunaan kata-kata dalam bahasa Korea kini menjadi tren yang sedikit demi sedikit mengikis penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Orang yang tidak memakai selipan kata-kata dalam bahasa Korea sering dianggap kuno dan ketinggalan zaman.Â
Selain itu, bentuk dari degradasi kebudayaan nasional juga tampak dari para fans dari artis-artis Korea yang mendirikan fanbase atau komunitas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Komunitas tersebut aktif membicarakan perkembangan artis favorit mereka, mengikuti event-event yang diselenggarakan, ikut aktif mempromosikan bahkan mengajak orang lain agar ikut menggemarinya juga.Â
Fakta yang sangat miris, seandainya saja warga Indonesia juga aktif untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia yang tentunya tidak kalah saing dengan budaya K-Pop. Namun, tampaknya menggandrungi budaya lokal nasional terkesan kuno dan kolot sudah melekat di pikiran masyarakat saat ini. Trend K-Pop menjadi hal yang membanggakan jika mengikuti perkembangannya karena dianggap keren, adaptif, modern, dan modis. Sehingga kebudayaan nasional yang katanya sudah kolot tersebut perlahan digantikan dengan kebudayaan baru yang lebih canggih.
Meluasnya budaya asing menyebabkan semakin terkikisnya budaya nasional. Pengikisan budaya di Indonesia ditandai juga dengan semakin hilangnya jati diri sebagai bangsa Indonesia. Sebagai generasi muda penerus bangsa sudah selayaknya lah kita bijak untuk menanggapi fenomena tersebut. Globalisasi harusnya dipandang sebagai peluang untuk semakin memperkenalkan kebudayaan nasional ke dunia internasional. Sama halnya seperti yang dilakukan oleh penggemar K-Pop tadi, kita bisa menyebarluaskan konten-konten positif mengenai kebudayaan nasional di media sosial, aktif membentuk komunitas sebagai wadah pengenalan dan pelestarian budaya lokal, tetap mempertahankan kebudayaan lokal sebagaimana mestinya tanpa mencampuradukkan dengan budaya asing yang supaya terlihat keren. Bangsa Indonesia mempunyai ciri khas dan keunikannya tersendiri yang tidak dimiliki negara lain. Kita seharusnya bangga, melestarikan, serta mempublikasikannya bukan malah 'memuseumkannya' .