Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Mengurangi Kemacetan Jakarta

8 September 2009   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:45 674 0
Saya tidak yakin kemacetan lalu lintas di Jakarta dapat dipecahkan dengan perluasan jalan dan pembuatan jalan baru. Saya rasa pembatasan kendaraan, misalnya tahun lama tidak boleh berkeliaran di Jakarta, juga tidak akan efektif. Saya juga tidak yakin mengurangi kepadatan penduduk bisa dilakukan dengan memperbanyak Operasi Yustisi dan penggusuran-penggusuran. Ada cara lain yang menurut saya cukup bijaksana. Cara tersebut saya uraikan di bawah ini. Memang cara ini bisa dianggap radikal, sulit, atau mahal. Tapi sebenarnya sangat masuk akal, bisa dilaksanakan, dan hasilnya cepat kelihatan. Diperlukan pemimpin yang berani (jadi ingat Bang Ali Sadikin ketika membangun Jakarta dengan Nalo dulu) dan kompromi berbagai pihak. Hasil pemilu 2009 agaknya cukup potensial mewujudkan ide ini.

Kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah kronis. Sebagian besar penduduk Jakarta sendiri, setiap bangun tidur pagi, sudah dihantui kemacetan yang akan mereka hadapi hari ini. Mungkin ada yang bertanya, bisakah kemacetan di Jakarta dihindari? Namun, mungkin sudah muncul pikiran lain: ya sudahlah, saya akan mencoba menikmatinya saja. Toh, para pembuat keputusan sudah tidak mampu lagi mengatasi masalah berat satu ini, selain masalah lain yang juga semakin menghantui masyarakat: banjir air kotor (tetapi kekurangan air bersih!), warga pendatang dan rumah kumuh, polusi air dan udara, tawuran tanpa sebab, dan seterusnya.

Untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas (dan masalah-masalah lain ikutannya) di Jakarta, harus dihilangkan penyebabnya. Selama ini Jakarta adalah kota yang paling menarik untuk mengadu nasib dan pencari kerja, mulai dari penduduk desa tanpa kemampuan apa-apa hingga para politisi elit yang sudah mapan tapi masih butuh tambahan rezeki. Menurut wawancara salah satu televisi swasta dengan tukang tambal ban di pinggir jalan, penghasilan si tukang tambal ban adalah Rp300.000/hari (kalau dia kerja 30 hari sebulan, berarti Rp9.000.000/bulan!). Suatu jumlah yang sangat sulit didapat di kampung halamannya. Lalu bagaimana menghilangkan daya tarik Jakarta? Baca artikel lengkapnya dengan mengklik tanda panah ke kanan di bawah ini.

Salah satu penyebab utama Jakarta macet adalah adanya 30-an lebih kantor kementerian (kementerian koordinator ada 3, kementerian ada 21, dan kementerian negara ada 10). Padahal menurut saya, para menteri (dan pejabat setingkat menteri), tidak harus berkantor di Jakarta. Kalau pada masa awal kemerdekaan hingga awal Orde Baru dulu, alasan para Menteri tinggal di Jakarta (selaku ibukota) adalah karena perlu berkoordinasi dengan Presiden dengan cepat. Namun pada masa sekarang, dengan adanya teknologi komunikasi yang sudah canggih, koordinasi tidak perlu lagi harus dilakukan dengan pertemuan fisik. Kalaupun pertemuan harus secara fisik, cukup satu bulan sekali atau pas ada masalah sangat penting yang harus dipecahkan bersama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun