Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Money Can't Buy Us Happiness

25 September 2014   20:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:32 114 1

Jadi………….. 4x6 itu sama ngga dengan 6x4?

Topik yang lagi happening banget di social media, bahkan sampai dibahas di surat kabar, melibatkan para pakar matematika, dibahas dari segi ilmu alam, ilmu logika sampai dari tinjauan budaya.

Kalau menurut saya pribadi, 4x6 jelas sama dengan 6x4, absolutely jika kita membicarakan hasil, yaitu sama-sama 24.

Namun 4 x 6 tidak sama dengan 6 x 4 jika yang kita bicarakan adalah cara menjabarkannya dalam bentuk penjumlahan berulang.

4 x 6 ( empat kali enam) = 6+6+6+6

6 x 4 ( enam kali empat) = 4+4+4+4+4+4

Walaupun hasilnya sama, namun pembelajaran tentang konsep dasar, baik itu perkalian, penjumlahan, pengurangan maupun pembagian sangat diperlukan oleh anak-anak kita. Agar mereka tidak tumbuh menjadi generasi yang hapal mati,generasi instan tanpa tahu filosofi ilmu yang dipelajari.

Kemarin saya membuat status di facebook yang isinya menanyakan mana yang lebih penting hasil atau proses?. Dan semua teman yang komentar menjawab bahwa proseslah yang paling penting.

Mari kita bicara kenyataan. Contohnya di dunia kerja, bagaimananpun kerasnya kita bekerja, pergi pagi, lembur sampai tengah malam kalau ternyata tidak menghasilkan apa-apa, penjualan tidak naik, laba tidak tercapai, maka penilaian terhadap kinerja kita di atas kertas tidak sebanding dengan kerja keras yang kita lakukan. Jadi yang dilihat bukan seberapa lama waktu yang kita habiskan di kantor tapi seberapa besar hasil yang bisa kita berikan ke perusahaan.

Tidak hanya di perusahaan yang laba oriented, perusahaan jasa pun memiliki service level agreement yang baku. Kita dianggap bekerja dengan baik saat SLA yang ditetapkan terpenuhi. Saya ambil contoh pak pos, sebagai pelanggan terkadang kita tidak peduli apa halangan yang dihadapi beliau saat mengantarkan paket kita. Mungkin saja kejebak macet, motornya rusak, atau halangan-halangan lain. Pokoknya kita menilai bagus tidaknya pelayanan pos dari seberapa cepat paket tiba ke si penerima.

Ambil lagi contoh lain, seorang dokter  misalnya. Sebagai pasien kita akan kembali ke dokter yang sebelumnya kita datangi apabila telah terbukti bahwa setelah berobat dengan beliau penyakit kita sembuh. Tak peduli betapa baiknya si dokter, lemah lembut, sabar mendengar kita bercerita, kalau ujung-ujungnya penyakit kita tidak sembuh, maka sangat kecil kemungkinan kita akan kembali kepada dia. Bahkan seorang dokter kandungan terkenal sekalipun, jika ternyata tidak berhasil membuat pasiennya hamil, kemungkinan besar si pasien tidak akan merekomendasi dan mengakui kehebatan si dokter.

Kalau dihubungkan ke dunia pendidikan, saat UN digelar, atau saat UMPTN jamannya saya dulu. Setelah belajar selama 12 tahun dari SD hingga SMA, akhirnya penentuan masa depan itu ( kata sebagian orang) ditentukan dalam ujian selama 2 hari saja.

Kenyataannya, beberapa teman saya yang saat di SMA begitu pintar, selalu bisa menjawab pelajaran, rangking dari kelas 1 sampai 3 ada yang tidak lulus UMPTN. Apakah adil hanya melihat hasil test 2 hari saja, padahal selama 12 tahun sebelumnya mereka adalah pelajar berprestasi. Nah, bagaimana ini?. Yang penting proses atau hasil sih?.

Masih banyak contoh lain di kehidupan nyata yang menegaskan bahwa bagaimanapun prosesnya, semua tetap bermuara kepada hasil.

Sebagai orangtua apa yang harus kita ajarkan kepada anak kita. Proseskah atau hasil oriented?.

Menurut saya keduanya harus seimbang dan sejalan. Memisahkan dan menempatkan salah satunya di posisi lebih penting, sama seperti memisahkan opor ayam dengan ketupat saat lebaran, akan hambar.

Pentingnya mengajarkan konsep dan proses kepada anak sejak dini tidak hanya berlaku untuk pelajaran matematika, ilmu alam dan ilmu pasti. Paradigma yang berkembang di masyarakat kita bahwa seorang anak dikatakan cerdas jika mumpuni di bidang ilmu eksak dan ilmu pasti membuat kita sebagai orangtua melupakan kecerdasan-kecerdasan lain yang penting dimiliki oleh anak.  Termasuk kecerdasan untuk survive di kehidupannya kelak. Salah satu kecerdasan yang sering terlupakan oleh kita adalah mengajarkan kecerdasan financial pada anak. Artinya mengajarkan anak untuk melek financial dari usia dini.

Pentingnya menumbuhkan kecerdasasan finasial sejak dini bukan agar mereka menjadi orang kaya di kemudian hari, bukan juga agar mereka bisa menghasilkan uang yang berlimpah. Kecerdasan financial kita tumbuhkan agar mereka bisa mengelola keuangannya dengan bijak demi kesejahteraan kehidupan mereka kelak. Sejahtera bukan berarti kaya raya.

Kebanyakan orangtua menganggap bahwa kecerdasan financial pada anak berkutat pada pengajaran dan pelatihan menabung. Anak disuruh untuk hemat…. hemat… hemat.

Kalau dihubungkan dengan konsep proses dan hasil, maka menabung adalah proses yang di kemudian hari akan ia petik hasilnya. . Namun, dibalik menabung itu, banyak  filosofis yang sedang kita tanamkan kepada anak. Konsep di balik kegiatan menabung itu yang harus kita pertajam.

Filosofi Pertama, Tidak berlebih-lebihan

Belanja seperlunya, manfaatkan yang ada, hindari membeli karena ingin, tapi lebih kepada butuh. Disini kita melatih anak untuk cermat dalam mengambil keputusan. Mana yang perlu mana yang sekedar ingin.

Cara paling sederhana adalah dengan melatih mereka membuat daftar keinginan. Biarkan mereka memisahkan mana keinginan, mana kebutuhan. Misalnya:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun