Kehidupan terminal sudah menjadi bagian kehidupanku, meski hanya mampir dua kali sehari, selalu ada cerita menarik yang bisa kusaksikan di terminal. Tempat ini membuatku merasa lebih hidup, dengan caranya.
Kadang aku penasaran apa yang dilakukan orang lain saat keluar dari terminal. Kehidupan seperti apa yang mereka jalani, apakah mereka pernah muak dengan semua hal yang ada di sekitarnya atau pernah nggak mereka bosan karena rutinitas yang gitu-gitu aja?
Aku penasaran soal itu.
Jujur, sebelum aku bisa menikmati kehidupan terminal yang penuh lalu lalang ini, bagiku terminal terasa sangat mengganggu. Sempat berharap bagaimana jika peraturan kendaraan pribadi dibuat lebih longgar? Bagaimana jika semua orang bisa bebas bepergian tanpa aturan jarak?
Seharusnya lebih nyaman dan efisien. Aku nggak perlu datang ke terminal setiap hari hanya untuk pindah ke kota lain yang jaraknya hanya 30 menit perjalanan bus.
Tapi ya, itu hanya seandainya, hanya bagaimana jika, dipikirkan sampai sore pun tetap nggak akan jadi kenyataan. Daripada terus protes dan mengkhayal sesuatu yang mustahil, kuputuskan untuk lebih menerima keadaan. Mungkin ada hal menarik yang nantinya bisa kunikmati di perjalanan.
Butuh waktu sekitar 6 bulan untukku benar-benar bisa menerima keadaan ini. Dan selama 6 bulan aku belajar membaca banyak pola. Mulai dari jadwal keluar-masuk bus, orang-orang yang berangkat dan pulang bersamaku, jadwal pedagang kecil membuka toko, pakaian mereka dari senin-sabtu, hal-hal yang mereka bicarakan, susunan makanan, susunan motor, ekspresi, suara burung, cahaya matahari, pedagang minuman dan masih banyak lainnya.
Rasanya aku jadi lebih peka dan lebih peduli pada segala hal yang ada di terminal ini. Bahkan aku tau ekspresi bus saat melewati jalan berlubang dan polisi tidur. Bus-bus ini seperti mengeluarkan ekspresi enggan campur malas tapi terpaksa bergerak, karena mereka ngga bisa menolak perintah. Ekspresi itu selalu terbayang di kepalaku, kapanpun aku mengingat bus.
Setelah memahami pola terminal dan keramaiannya, aku mulai belajar mamahami manusia yang ada di sekitarku. Selalu ada cerita berbeda dari mereka yang bikin aku lebih nyaman di terminal.
Pernah ada sekelompok wanita muda, sepertinya mahasiswa, terlihat sangat frustasi. Wajah mereka kusut dan agak kurang konsen. Mereka nggak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mereka orang asing. Aku belum pernah melihat warna almamater yang mereka bawa. Sepertinya mereka datang karena harus riset tugas. Dan sepertinya riset mereka ngga berjalan sesuai rencana. Aku hanya bisa berharap semoga segera ada jalan keluar.
Lalu ada seorang perempuan muda yang tiba-tiba duduk di sampingku. Tadinya kursi samping ku sudah dipenuhi orang, tapi sepertinya ada beberapa yang pergi saat aku memperhatikan para mahasiswa itu.
"Permisi ya kak" katanya sambil meletakkan tas gendong di dekat kakiku. Ia seperti orang yang akan melakukan perjalanan jauh, tasnya penuh sekali.
"Mau mudik kak?" tanyaku basa-basi, nggak mungkin aku penasaran dengan kehidupan pribadinya.
"Nggak, saya mau merantau. Kebetulan kemarin keterima kerja di Ibu Kota, jadi ini mau berangkat ke sana. Kakaknya kerja juga?"
Aku sedikit menggeser posisi dudukku agar bisa lebih leluasa ngobrol. Sepertinya ia perempuan yang ramah dan enak diajak ngobrol.
"Iya, saya freelancer" jawabku sambil menurunkan hp. Tidak sopan jika ada orang berbicara, aku tetap memegang hp. Kira-kira begitulah prinsipnya.
"Loh, freelancer pergi-pergi juga?" tanyanya kaget. Ini reaksi yang wajar, rasanya hampir semua orang kaget karena jawaban tadi.
"Iya, sengaja. Orang rumah taunya kerja itu pergi dari rumh. Kalau saya nggak keluar, mereka bisa salah paham. Biasanya malah nggak toleran. Sudah tau lagi ada kerjaan tetap disuruh ini dan itu."
Dia tertawa sebentar sambil menutupi mulutnya pakai salah satu telapak tangan, "ya layaknya orang tua ya kak. Saya juga gitu, makanya milih cari kerjaan lain dan pindah ke ibu kota. Kalo nggak, nggak bisa fokus kerja. Padahal semakin tua kebutuhan hidup semakin banyak."
"Kok bisa dapet izin ke Ibu Kota? Apa emang orang tuanya nggak ngelarang?" sekarang aku penasaran.
"Orang tua awalnya nggak boleh, tapi aku bujuk terus. Kemarin sore masih belum boleh, katanya pertimbangkan lagi, perempuan sendirian di ibu kota, nanti hidupnya gimana. Paham kan kak? Mereka cuman khawatir. Aku mengerti perasaan mereka tapi bagiku hidup bukan tentang memahami perasaan orang lain dan menurutinya. Sesekali aku juga harus meyakinkan kalo semuanya baik-baik saja. Dan di sinilah aku sekarang."
Perempuan ini berbicara dengen suara sedang yang terdengar berapi-api. Kalau kamu bisa mendengar suaranya dan bagaimana ia menjelaskan sesuatu, kamu pasti akan melihat seberapa percaya dirinya ia dengan pilihannya.
Rasa percaya diri yang positif, yang membuat semua orang di sekitarnya jadi lebih hidup berkat semangat yang ada di balik ucapannya.
Aku yang ngga berani ambil keputusan serupa, ngga bisa menjawab ucapannya. Dan sepertinya ia menyadari itu, bukan dalam artian yang negatif.
"Kalo boleh tau, kakak freelance apa?" tanyanya penuh rasa hormat. Aku memang lebih tua darinya, dilihat sekali lewat pun kesimpulan seperti ini pasti muncul. Jadi wajar kalau caranya bertanya sedikit menaruh hormat dan hati-hati.
"Saya freelance content writer. Sebenarnya ngga bisa dibilang begitu juga, saya hanya bekerja ketika saya ingin bukan berusaha mencari atau mengumpulkan klien."
Ia mendengarkan dan sesekali mengangguk penuh perhatian, "yang penting nyaman dan tetap kerja kak" jawabnya.
Dia benar. Hal ini cukup penting untuk dinikmati, terutama soal aku bisa bekerja sesuai keinginanku. Tak banyak orang yang punya kesempatan seperti ini. Justru sebagian besar malah bekerja di tempat yang nggak mereka sukai.
Sudah lama aku menyadari hal ini, terutama sejak 6 bulan aku berusaha berdamai dengan terminal. Saat itu aku sadar, nggak semua orang punya kesempatan berkarir di jalan yang mereka inginkan. Pun jika ada, nggak banyak yang pekerjaannya bisa menghidupi diri mereka hingga cukup.
Lika-liku meniti karir sesuai harapan ini yang menjadikan pilihan pekerjaan terasa lebih sempit. Belum lagi soal orang tua dan keluarga yang ngga mendukung. Semua ingin cepat dan instan, bahkan berpikiran kalau menjadi karyawan dengan gaji UMR adalah pilihan terbaik untuk bertahan hidup daripada mengejar mimpi yang belum tentu menghasilkan.
Sulit, tapi begitulah kenyataannya.
Sejak kecil cita-cita sudah berkaitan erat dengan pekerjaan. Pertanyaan ingin jadi apa selalu dijawab profesi, ingin jadi dokter, presiden, pilot, sepertinya jarang ada yang bilang ingin jadi guru, tapi pekerjaan ini lumayan populer.
Begitulah semuanya berawal. Dari akar yang sederhana itu lah, cita-cita, mimpi dan pekerjaan bagi sebagian orang terasa lebih sulit digapai. Tak jarang orang merasa gagal mengejar mimpi. Apalagi mimpi yang berkaitan dengan profesi dengan jalur pendidikan jelas seperti dokter, pilot dan sejenisnya.
Jadi bersyukurlah orang-orang yang bisa bekerja sesuai keinginan hati dan menerima upah yang cukup untuk bertahan hidup tanpa bergantung pada sesama makhluk.
"Iya, yang penting nyaman dan cukup" ucapku sambil mengangguk mengiyakan dan meyakinkan diri sendiri.
Semua sedang sulit di jalannya masing-masing. Semua mengambil keputusan tentang hidupnya. Dan di kota ini, terminal adalah penghubungnya. Bukan sekedar penghubung antar kota, tapi penghubung orang dengan berbagai latar belakngnya.