Gambar diambil dari www.wallpapergate.com
Selamat datang pagi. Kau selalu datang mencurahkan kesejukan diantara ceriamu yang menciptakan harapan-harapan baru. Meluruhkan sedikit dari keajaiban Sang Waktu; embun pagi. Sebelum mentari benar-benar menguapkannya, aku selalu membalutkan engkau pada setiap pori-poriku. Sebelum mentari membawamu kembali ke langit biru itu, aku selalu ingin mengecup beningmu, memilikimu senantiasa untuk kureguk. Jujur, aku memujamu sebagai sesuatu yang abadi. Tak lekang oleh segala kondisi yang ditawarkan oleh semesta raya; hujan badai, angin kencang. Kau tetap menghadirkan dirimu ke bumi. Kau adalah bagian dari kilau, bening dari segala bening. Sejuk dari segala kesejukan yang pernah kurasakan. Kesetiaanmu pada bumi sungguh membuatku terpana. Sanggup menemukanmu di dalam keheninganku adalah sesuatu yang sakral bagiku.
Begitulah gambaran embun bagiku. Di mataku, embun pagi adalah lambang dari kerendahan hati. Sebab, ia selalu datang tepat waktu membagikan kilau sejuknya dengan niat yang tulus dari tempatnya bertahta; di seluas-luasnya langit, di setinggi-tingginya langit. Berkenan hadir ke bumi memberikan sesuatu yang paling berharga bagiku dan seluruh makhluk lainnya, pada setiap pagi. Kehadirannya bukan hanya untuk menjangkau pepohonan yang tinggi saja, melainkan ia mampu menghadirkan dirinya hingga ke rerumputan, membasahi seluas-luasnya bumi dengan adil dan merata.
Kerendahan hati selalu membawa ketulusan di baliknya. Keluasan hati dan kebijaksanaan selalu mengikutinya. Itulah simbol dari embun pagi. Sanggupkah kita berperilaku seperti embun pagi? Atau apakah kita menganggap bahwa untuk dapat menjadi seperti embun adalah karena takdir belaka?
Aku rasa tidak. Sebagai insan yang tercipta dari debu ini, kita selalu saja dapat berbuat kesalahan. Lalu, untuk apa sebetulnya kesalahan yang pernah kita buat ini? Pastinya ia terjadi sebagai bahan introspeksi diri, sebagai perenungan diri hingga kita dapat memperbaiki diri untuk dapat naik kelas. Ia terjadi agar kita bisa mengelola batin kita untuk berdamai dengan diri kita sendiri maupun orang lain.
Dengan meminta maaf. Ya, dengan meminta maaf jika kesalahan datang dari diri kita. Nah, jika begitu, apakah kita harus menunggu menjadi takdir kita terlebih dahulu untuk sekadar bisa meminta maaf?
Kemudian saat kita menerima permintaan maaf dari sesama kita. Sebesar apa pun kesalahan dari sesama kita. Apakah kita juga harus menunggu takdir terlebih dahulu hanya untuk sekadar memberi maaf untuk sesama kita yang telah bersalah kepada kita?
Taruhlah, bahwa kita telah difitnah, diikecewakan, disakiti, dan banyak lagi bentuk ‘di’ lainnya. Sanggupkah kita memberi maaf?
Embun pagi telah mengajarkan itu! Kerendahan hati, ketulusan, dan kebijaksanaan adalah kuncinya. Bila kita mau rendah hati maka kita akan selalu berani untuk meminta maaf dan memberi maaf.
Memang butuh proses. Meminta maaf dan memberi maaf dibutuhkan keberanian. Tetapi, jangan biarkan proses itu menjadi lama, karena keegoan kita. Jangan biarkan keberanian kita untuk meminta maaf atau memberi maaf menjadi kian sirna dari diri kita. Jadikanlah hati kita menjadi laut, yang sanggup menampung apa saja dari sungai-sungai yang bermuara pada laut itu. Jadilah seperti bunga teratai yang selalu mau menjadi filter bagi air kolam dengan menjernihkannya selalu.
Jadilah seperti embun pagi yang selalu memberi kesejukan bagi setiap orang. Siapa pun dia! Tak terkecuali bagi orang yang telah bersalah kepada kita. Sebab, embun pagi datang bukan untuk orang-orang benar saja. Melainkan bagi semua orang tanpa pandang bulu.
Sebab, saat kita meminta maaf adalah saat-saat sejuk dan teduh bagi batin kita, juga sesama kita. Demikian pula saat kita sanggup memberi maaf. Kita bagaikan bening dari segala kesejukan yang pernah ada di muka bumi ini!
Urusan kita di sini hanyalah meminta maaf dengan penuh ketulusan jika kita bersalah, dan memberi maaf dengan setulusnya saat kita menerima permintaan maaf dari orang lain. Selebihnya biarkan itu menjadi urusan Tuhan Sang Maha Pemurah. Dari sanalah, kualitas batin kita akan tertempa menjadi sesuatu yang mulia. Sebening embun pagi yang selalu menyatakan cintanya pada bumi, pada setiap harinya tanpa terlewatkan. Berani meluruhkan ego kita yang seluas dan setinggi langit hingga ke akar rumput, demi kedamaian dan kebahagiaan batin kita.
Maka, beranikah kita untuk bahagia saat ini juga?