Ketika banyak berita negatif beredar di berbagai media dunia tentang Indonesia, tampilnya Agnes Mo di pentas internasional sesungguhnya dapat menjadi penyeimbang. Ironisnya wawancara Agnez Mo bersama Kevan Kenney dalam sebuah program Build Series produksi Yahoo di New York, Amerika Serikat, justru berbuntut panjang karena munculnya satu frasa sensitif bagi kebanyakan orang Indonesia. Apakah sesungguhnya ada sebutan Indonesia asli (pribumi)?
Sebelum jauh mendalami hal ini ada baiknya kita lihat dulu cukilan wawancara tersebut.
Untuk wawancara lengkap dapat dilihat pada tautan ini:
(Bagian yang menjadi perdebatan terdapat pada menit 05:44 -0 8:42)
Catatan: wawancara dilakukan dengan bahasa sehari-hari sehingga perlu penerjemahan secara interpretasi dengan melihat konteks dan bahasa tubuh.
Selain itu bahasa penerjemahan ini juga disederhanakan.
Kenney: ...Saya melihat banyak yang salah mengerti tentang diri kamu. Saya juga baru tahu bahwa Indonesia itu sangat majemuk.
Agnez: Iya, memang sangat menarik, Indonesia memiliki lebih dari 18.000 pulau dan di setiap pulau memiliki bahasa yang berbeda, pakaian dan alat musik tradisionalnya sendiri. Memang sangat majemuk.
Saya menerima tumbuh dan besar dalam hal tersebut.
Cukup lucu karena karir menyanyi saya dimulai dari gereja (= yang datang dari luar) dan di saat bersamaan terdapat musik tradisional (= dari lokal) tetapi itulah yang membentuk saya. Jadi di sini bukan semata berbicara tentang pelestarian budaya, tetapi lebih tentang bagaimana sebuah budaya itu terbuka (atas sesuatu dari luar = inklusif), hal yang saya perjuangkan selama ini.
Kenney: Sementara kamu memiliki banyak perbedaan dengan orang di sekelilingmu, bagaimana mengatasinya?
Agnez: Memang betul, karena sebenarnya saya tidak memiliki darah Indonesia sama sekali. Saya adalah campuran Jerman, Jepang, dan China yang lahir di Indonesia. Saya beragama Kristen, sementara mayoritas adalah Muslim. Saya tidak ditolak di Indonesia, karena orang Indonesia menerima saya dalam keadaan apapun. Tetapi memang ada dalam diri saya mempertanyakan kenapa saya tidak seperti mereka.
Kenney: (menurut saya) ...ini adalah sudut pandang yang unik, ya kan?
Agnez: Betul, dan hal ini mengajarkan kepada saya untuk menerima perbedaan-perbedaan tersebut. Ini juga mengajarkan kepada saya dalam menerima persoalan diri saya, perbedaan dalam diri saya, keanehan diri saya....
Kenney: ... termasuk untuk menerima orang lain.
Agnez: Ya juga...
Kenney: ...itulah mungkin yang menyebabkan kamu bisa bergaul dengan begitu banyak orang yang berbeda.
Agnez: Iya. ...mungkin juga.. namun saya tidak mau hanya berinteraksi dengan anak gaul, saya juga ingin berhubungan dengan orang-orang yang mengalami penolakan dari lingkungannya. Saya ingin menunjukan kepada mereka bahwa "Hei sebenarnya saya juga anak cupu yang ga berani bicara di depan umum, tapi toh akhirnya dapat jadi public figure".
Saya memiliki banyak followers, jadi menyampaikan hal seperti itu lebih penting daripada menyatakan diri sebagai anak gaul.
Bagus kalau bisa menjadi keduanya, tapi perlu diingat bahwa saya datang dari lingkungan minoritas ...toh saya berhasil juga.
Ulasan atas wawancara
Dari wawancara di atas sebenarnya yang menjadi inti perkataan Agnes adalah bahwa walau dia hidup di Indonesia yang majemuk dan dirinya adalah minoritas, namun semua dapat menerima dan tidak menghentikan karirnya.
Agnes justru mengagungkan keberagamanan yang dimiliki Indonesia, bahkan beberapa menit sebelum cuplikan wawancara di atas dia mengatakan "saya tidak mau mengecewakan negara saya"
Adakah Indonesia Asli?
Polemik wawancara Agnes tersebut sebenarnya menguak kembali hal lama tentang adakah sebenarnya "orang Indonesia asli" atau "pribumi"? Patut disadari bahwa istilah "pribumi" adalah ciptaan pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan warga yang lebih dulu menetap di Nusantara dengan kelompok etnik yang datang belakangan setelah masa peradaban (modernitas) seperti India, Arab dan Tionghoa.
Tapi dari manakah asal mereka yang disebut pribumi itu?
Jauh sebelum masa modern, tentau saja Nusantara adalah tanah kosong yang kemudian didatangi oleh penduduk nomaden dari berbagai penjuru dunia, seperit Yunan (Cina), Formosa (Taiwan), Afrika dan lain-lain sehingga membentuk kelompok etnik yang sekarang disebut Austronesia.
Dalam kuliah umum Koentjaraningrat Memorial Lectures (KML)XIII-2017 yang diadakan di Museum Nasional Indonesia, (9 Februari 2017) dengan tajuk "Kemajemukan dan Keadilan", Prof. Herawati Sudoyo mengemukakan bukti-bukti, baik berupa bukti sejarah maupun melalui riset laboratorium berupa hasil penelitian DNA, bahwa tidak ada satu pun suku di Indonesia ini bisa mengklaim sebagai orang Indonesia asli.
Perubahan persespi tentang frasa "Indonesia Asli" pun telah dilakukan pada amandemen ke-3 UUD 1945 dengan menghilangkan frasa tersebut sebagai syarat calon Presiden, sehingga lebih kepada konsep natural born citizen, yakni seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
Hal yang sama juga telah dijelaskan dari pasal 2 UU no 12/2006 tentang Kewarganegaran dalam hal mendefinisikan "orang-orang bangsa Indonesia asli".
Indonesia di pentas luar negeri
Kita memerlukan lebih banyak lagi berita-berita positip tentang Indonesia di media luar negeri. Kemajemukan Indonesia adalah salah satu andalan dan kiranya ini sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari Sabang sampai Merauke telah dinubuatkan untuk tempat tinggalnya berbagai suku bangsa dan agama.
Sejak dahulu kita telah diajarkan untuk hidup berdampingan dengan damai dan tentram dan inilah nilai-nilai yang harus terus diperjuangkan dan dipertahankan.
Kembali kepada pokok awal permasalahan, jelas Agnes Monica adalah seorang WNI yang lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, berbeda dengan Stefano Lilipaly seorang WNI yang sebelumnya adalah WN Belanda, ataupun Anggun C. Sasmi, seorang eks-WNI yang sekarang menjadi WN Prancis.
Bagi Indonesia modern, apapun statusnya kewarganegaraan seseorang itu tidak menjadi persoalan penting, sepanjang individu-indvidu tersebut membawa harum nama Indonesia di pentas internasional.
Hal inilah yang disebut kebanggaan sebagai bangsa Indonesai maupun diaspora Indonesia.***