Caranya, mungkin ekstrim; bekukan sementara keberadaan Babinsa, seperti diusulkan Koalisi Masyarakat Sipil. Setidaknya sampai pemilihan presiden, 9 Juli 2014, berlalu. Atau ada penyelidikan tim independen Babinsa Pilpres itu, yang hasilnya bisa dipercaya masyarakat.
Dengan begitu, nantinya tidak ada keraguan pada hasil pemilihan presiden, 9 Juli mendatang. Pertemuan koordinasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan pihak TNI, Senin (9/6), yang membahas prosedur kinerja Babinsa) dalam pemilu, belum menjernihkan persoalan.
"TNI menyampaikan panduan kerja dan prosedur TNI, terutama Babinsa dalam pemilu. Dan itu tidak ada soal mendata preferensi warga dalam pemilu presiden," ujar anggota Bawaslu Daniel Zuchron di Gedung Bawaslu usai pertemuan tersebut, Senin (9/6).
Dalam pertemuan tertutup, pihak TNI diwakili Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Laksamana Madya Ade Supandi dan Asisten Teritorial Mayor Jenderal Panjaitan. Panglima TNI Jenderal Moeldoko tidak hadir, karena berada di Kepulauan Maluku bersama Kapolri Jenderal Sutarman untuk memastikan netralitas TNI dan Polri dalam Pilpres 2014, di wilayah itu.
Daniel Zuchron mengatakan, rapat koordinasi ini penting untuk menindaklanjuti hasil penelusuran lembaganya terkait kasus Babinsa di Jakarta Pusat. Seperti diketahui, seorang Babinsa di wilayah Gambir, Jakarta Pusat, dituding mengarahkan warga untuk memilih pasangan Capres Prabowo Subianto-Cawapres Hatta Rajasa.
Dalam pertemuan itu sekali lagi TNI menegaskan netralitasnya di Pilpres 2014. Dari penjelasan Kasum dan Aster itu, kehadiran Babinsa itu sebagai bagian dari tugas rutin untuk pendataan data keamanan. Jadi, tidak ada instruksi untuk menyangkut preferensi pilpres.
Meski begitu, pihak TNI, melalui Kasum TNI kembali mengakui, telah menjatuhkan sanksi kepada anggota Babinsa yang diduga melakukan pelanggaran. "Oleh karena itu hasil pengawasan Bawaslu terhadap kasus Babinsa di Jakarta Pusat itu di luar dari perintah. Tidak ada yang ditugaskan oleh TNI," kata Daniel.
Babinsa yang dimaksud itu, Kopral Satu Rusfandi. Staf Koramil Gambir, Jakarta Pusat itu, Bintara Pembina Desa, di Kelurahan Cideng, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Seperti ditulis Metrotvnews.com dan Kompas.com, Minggu (8/6), Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigadir Jenderal TNI Andika Perkasa, Koptu Rusfandi mendapat hukuman penahanan berat 21 hari. Koptu Rusfandi NRP. 310394840170 itu juga dikenai sanksi administratif, penundaan pangkat selama tiga periode atau 3 x 6 bulan.
Koptu Rusfandi, kata Andika, bersalah melanggar disiplin perbuatan tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan profesional. "Tidak memahami tugas serta kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit.”
Danramil Gambir Kapten Saliman, atasan Koptu Rusfandi, juga kena hukuman disiplin. Menurut Andika, Kapten Saliman menugaskan Koptu Rusfandi sebagai Babinsa tanpa pembekalan teritorial memadai. "Kapten Saliman tidak berusaha menegur dan menghentikan tindakan Koptu Rusfandi melakukan pendataan preferensi warga di Pemilihan Presiden 2014."
Hukuman terhadap Koptu Rusfandi dan Kapten Saliman, tidak cukup. Publik masih tidak percaya, sang Koptu bergerak atas inisiatif sendiri mendatangi warga mendata preferensi warga di Pilpres. Apalagi, seorang warga Gambir mengakui, sang Koptu mengarahkannya pada Capres-Cawapres nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Bukti dari ketidakpercayaan itu antara lain ditunjukkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membekukan Babinsa, untuk menetralisir kabar Babinsa Pilpres itu.
"Ada kecurigaan terhadap Presiden SBY dengan politik ganda. SBY menjelaskan TNI netral di belakang publik, SBY justru memerintahkan TNI tidak netral dan memilih salah satu capres untuk mengamankan dirinya ketika beliau turun," kata Direktur Imparsial Al Araf di kantor Kontras, Jakarta, Minggu (8/6).
Menurut Al Araf, informasi mobilisasi Babinsa tidak hanya terjadi di Jakarta tapi juga di wilayah lain. "Ada kegagalan SBY dalam mengontrol TNI karena terjadi mobilisasi." Ada informasi kasus yang sama terjadi di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi ini sudah dibantah pihak Kodim setempat.
Musni Umar dalam tulisannya di Kompasiana, setelah membaca berita di Kompas.com, Kamis (5/6), mengatakan, Babinsa tidak netral itu harus diusut tuntas. Berdasarkan pengalaman Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM) itu, sewaktu aktif di Golkar akhir rezim Orde Baru, Babinsa itu tidak berdiri sendiri. Ia menuding, anggota Babinsa itu mendatangi rumah-rumah rakyat untuk mengarahkan warga memilih Prabowo berdasarkan perintah atasannya.
Kubu Prabowo-Hatta sudah membantah itu. Prabowo yang sudah tak aktif lagi di kemiliteran, dipastikan tidak mempunyai jalur komando lagi di TNI. Selain itu, tidak ada jaminan Babinsa atau jajaran TNI bakal menuruti perintah Prabowo, kalau benar ada, untuk memenangkannya.
Argumen kubu Prabowo-Hatta itu ada benarnya. Karena itu, harus ada penelitian menyeluruh, atau pembekuan sementara Babinsa, seperti diusulkan Al Araf itu, setidaknya sampai Pilpres 2014 selesai, untuk memastikan netralitas TNI tersebut.
Jika masalah ini tidak tuntas, bisa berdampak pada legitimasi Pilpres 2014, terutama jika pasangan Prabowo-Hatta memenangkan pertarungan. Rasanya, kita perlu menunggu tindakan Presiden SBY sebagai Panglima Tinggi TNI untuk menuntaskannya, setelah keterangan Jenderal Moeldoko dan Jenderal Budiman, tidak berhasil menenteramkan publik.