Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Sejarah Hitam di Akhir Jabatan Presiden SBY

27 September 2014   22:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:15 229 1
MEMBINGUNGKAN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membingungkan. Kita layak mempertanyakan komitmen Ketua Umum Partai Demokrat itu, terhadap demokratisasi dan keberlanjutan era reformasi. Langkah walk out Fraksi Demokrat DPR RI dalam Rapat Paripurna, yang berakhir Jumat (26/9) dini hari, seperti memupus segala pencitraan Presiden SBY yang cinta rakyat. Siapa yang masih percaya SBY reformis?

Kita tahu, keluarnya Fraksi Demokrat yang dipimpin Nurhayati Ali Assegaf dari ruang sidang di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta itu, jelas menjadi andil terbesar bagi kemenangan Koalisi Merah Putih.

Kubu yang dimotori Partai Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS itu menang dalam voting pengesahan UU Pilkada, yang memilih kepala daerah melalui DPRD. Itu berarti kelak, gubernur, bupati dan walikota tak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti telah berjalan sejak 2005.

Akal sehat kita sukar memercayai jika tindakan Fraksi Demokrat itu, tanpa sepengetahuan SBY. Apalagi, Juru Bicara Demokrat Ruhut Sitompul mengaku ikut WO karena telah mendapat kepastian dari Wakil Ketua Umum Demokrat Max Sopacua bahwa langkah itu atas perintah SBY.

Tetapi, kepada pers di Washington DC, Kamis (25/9) malam waktu setempat atau Jumat (26/9) pagi Waktu Indonesia Barat, SBY mengaku kecewa atas hasil rapat paripurna itu. Malah, Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu,  berencana menggugat hasil voting RUU pilkada yang mengesahkan pilkada lewat DPRD itu. "Dengan hasil ini, saya sampaikan ke rakyat Indonesia, Partai Demokrat rencanakan mengajukan gugatan hukum, dipertimbangkan mana yang tepat, ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi."

Anehnya, tidak ada perintah tegas untuk menindak pembangkangan yang dilakukan Fraksi Demokrat itu, kalau benar SBY kecewa. Karena itu, berarti Nurhayati-Benny K Harman dan lainnya, tak mematuhi petunjuk SBY agar memilih opsi Pilkada secara langsung.

Karena itulah, kita patut mempertanyakan kredibilitas SBY dalam memperjuangkan pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Kita mengamini pernyataan para petinggi PDI Perjuangan yang menganggap SBY hanya lips service ketika berpidato soal pilkada langsung.

Pernyataan SBY yang diunggah di youtube, Minggu (14/9) malam, jelas sekali pilihannya pada pilkada oleh rakyat secara langsung itu. Malah, perintah itu diulang oleh Ketua Harian Demokrat Syarief Hasan. Kata Menteri Koperasi dan UKM itu, pilihan Demokrat, pilkada langsung.

Kalau akhirnya kadernya di DPR (minus enam orang, antara lain I Gede Pasek Suardika, Hayono Isman, Ignatius Mulyono) memilih WO dan membuka peluang menangnya opsi pilkada lewat DPRD, semua itu menunjukkan ketidakkonsistenan. Katanya akan bersama rakyat, nyatanya, nol besar.

Bisa juga SBY, yang 20 Oktober 2014 akan mengakhiri jabatan Presiden RI periode kedua (2004-2009 dan 2009-2014), telah kehilangan tuah, sampai perintahnya tak dijalankan para kadernya di DPR. Bayangkan, dengan berani, Nurhayati Ali Assegaf memimpin rekan-rekannya meninggalkan ruang sidang. Kalau benar tak ada perintah, artinya telah terjadi pembangkangan secara nyata.

Sejarah hitam

Apapun, bisa dibilang tindakan Fraksi Demokrat DPR RI itu, telah menjadi catatan hitam di akhir jabatan Presiden Yudhoyono. Langkah Nurhayati Ali Assegaf Cs itu, sepengetahuan SBY atau tidak, telah mencoreng segala pencitraan yang susah payah dibangun sang presiden dalam 10 tahun terakhir ini.

Di luar itu, segala kecaman, bahkan caci maki dari masyarakat kepada SBY, terus mengalir dan bertahan di media sosial, sampai Sabtu (27/9). Lihat saja Kompas.com menuliskan, publik menumpahkan kekecewaannya melalui media sosial Twitter atas sikap Partai Demokrat yang WO itu.

Tidak sedikit yang menganggap partai politik yang dipimpin Presiden SBY itu, sebagai pecundang. Kekecewaan publik itu disampaikan langsung kepada SBY melalui Twitter. Tak sedikit pengguna media sosial itu yang me-mention akun SBY, @SBYudhoyono.

Bahkan, hashtag#ShameOnYouSBY menjadi topik teratas.  "Presiden pilihan rakyat yang mencederai rakyatnya sendiri.. presiden yang mempunyai 4 album dalam 10 tahun. linkin park kalah #ShameOnYouSBY." Demikian tulis Radityo melalui akunnya @Radityoiskandar, sampai jadi trending topic.

Baca juga: @Nouvalgeha: "Terimakasih pak @SBYudhoyono, anda telah membunuh hak demokrasi rakyat Indonesia dengan mewariskan "Pilkada Tidak Langsung". #ShameOnYouSBY".

Hayono Isman, anggota Fraksi Demokrat DPR, yang tidak ikut WO, menilai wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum DPP Partai Demokrat dicacimaki di media sosial oleh netizen. Menurut anggota Dewan Pembina Demokrat itu, kecaman pedas itu imbas sikap Fraksi Demokrat yang memilih meninggalkan ruang sidang paripurna saat voting Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Wajar jika Pak SBY dicacimaki," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (27/9).

Hayono melihat, SBY sosok pimpinan partai politik yang cerdas dan tegas. Namun, kata bekas Menpora di era Orde Baru ini, tindakan Fraksi Demokrat DPR RI itu, tak cukup mampu menggambarkan kecerdasan itu.

Hayono juga mengkritik omongan koleganya, anggota Fraksi Demokrat DPR Benny K. Harman dan Syarief Hasan, yang menganggap sikap WO itu sebagai pilihan untuk menjadi penyeimbang pemerintah.

Itu memang alasan Demokrat WO, selain karena merasa 10 syarat yang diajukan tak disetujui seluruh fraksi. Jelas saja kubu Koalisi Merah Putih, yang sejak awal memilih Pilkada lewat DPRD, takkan setuju opsi lain. Tetapi, PDIP, PKB dan Hanura mendukung opsi baru yang dimasukkan Fraksi Demokrat itu. Herannya tanpa ba-bi-bu, Nurhayati-Benny mengajak rekan-rekannya keluar ruangan.

Yang jelas, Fraksi Demokrat secara sadar atau tidak, gagal menjadi partai penyeimbang pemerintah. Langkah WO itu, kata Hayono, justru menunjukkan seolah Demokrat ingin memberikan kemenangan bagi Koalisi Merah Putih. Bukan apa-apa. Dari hitung-hitungan kekuatan di DPR, minus Fraksi Demokrat, jelas kemenangan di tangan Koalisi Merah Putih (Gerindra, PAN, Golkar, PPP dan PKS).

"Semua orang bisa melihat, anak saya yang beda partai atau justru sopir saya sekali pun, yang dilakukan Demokrat itu bukan tindakan partai penyeimbang tetapi memberikan kemenangan kepada KMP," kata Hayono.

Peluang SBY memperbaiki citranya saat ini, hanyalah dengan memecat inisiator walk out itu. Seperti saran Gede Pasek Suardika, anggota Fraksi Demokrat yang memilih bertahan dalam rapat paripurna, bentuk tim kehormatan partai untuk menyelidiki masalah itu. Lalu, segera pecat siapa yang memerintahkan tindakan WO itu.

Itu langkah tepat, jika memang SBY tidak memerintahkan kadernya di DPR itu, meninggalkan ruang sidang. Kecuali, sekali lagi, itu hanya pemanis di bibir seperti kata orang-orang PDI Perjuangan.

Langkah lainnya, segera gugat UU Pilkada yang mengakomodir pemilihan kepala daerah lewat DPRD itu. Kata pengamat politik dari LIPI Ikrar Nusa Bhakti dalam Bincang Pagi Metro TV, Sabtu (27/9), SBY dan Demokrat harus mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Pilkada tersebut.

Jika tidak ada sanksi keras dan tegas yang dijatuhkan, yakinlah SBY bakal berkubang dalam sejarah hitam di akhir jabatannya. Jika tak ada judicial review ke MK, segala pencitraan SBY yang digambarkan reformis, demokratis dan berkomitmen, akan hilang tersaput kabut sejarah hitam.

Satu lagi, cukuplah rakyat Indonesia yang bingung melihat sikap SBY itu. Jangan sampai masyarakat dunia juga ikut bingung, nanti, jika SBY bertugas menjadi Ketua Global Green Growth Institute (GGGI), sebuah organisasi internasional yang fokus pada isu-isu lingkungan hidup.

Pesan pentingnya, sebagai pemimpin pesannya harus jelas, jangan membingungkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun