KTT ke-15 Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) dari Konvensi Kerangka Kerja dari Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework for Climate Change Convention/UNFCCC) telah resmi dibuka oleh Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen, Senin lalu (7/12).
KTT ini diharapkan akan menghasilkan kesepakatan yang akan menggantikan Protocol Kyoto yang melahirkan skema carbon trade yang diratifikasi Indonesia pada 2004 dan akan berakhir pada 2012. Skema ini mewajibkan konpensasi atas setiap hektar hutan yang disebut sebagai Reducing Emission from Deforestation dan Degradation (REDD) in Developing Countries, yang masih ditentang Amerika Serikat saat itu. Pada Bali Road Map 2007, dihasilkan kesepakatan aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.
Indonesia berjanji akan berperan aktif setelah Presiden Susilo Bambang Yodhoyono pada Pertemuan G20 di Pitsburg, USA mengusulkan agar negara maju wajib menurunkan tingkat emisi yang dikeluarkan dari kawasan industri mereka. Delegasi Indonesia yang dipimpin Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar, berjanji akan menjembatani semua kepentingan negara industri dan negara berkembang pada KTT ke-15 Perubahan Iklim, agar tercapai kesepakatan yang mengikat. Indonesia sendiri mentargetkan penurunan emisi 26 % atau 41 % dari trayektori tahun 2020 jika ada bantuan internasional. Sebenarnya Indonesia tidak diwajibkan menentukan target, yang dituntut harus adalah negara industri maju yang kalau bisa mau menurunkan emisinya sebesar 50 % pada tahun 2050 dari level 1990.
Pada awalnya, banyak yang meragukan KTT ini akan berhasil. Bagi beberapa negara, kesepakatan di Kopenhagen adalah persoalan kelangsungan hidup generasi mendatang. Perwakilan Negara Kepulauan Solomon dengan terbata menahan tangis, menyampaikan harapan agar dunia melihat anak-anak di pulau kecil dan Negara dunia ketiga yang masa depannya suram akibat perubahan iklim.
“Mampukah kita menjaga kelangsungan hidup? Jika kita gagal, siapa yang akan disalahkan? Anda semua dan saya yang akan disalahkan !”
Aliansi Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS) yang terdiri dari 43 negara, merupakan kelompok paling rentan akibat kenaikan muka air laut, juga dampak badai tropis yang terjadi semakin sering dan dahsyat. Komitmen tiga emiter terbesar Gas Rumah Kaca (GRK) dunia yaitu Amerika, Cina dan India, sangat dinantikan. Syukurlah pemerintah Amerika, sejak dipimpin oleh Demokrat banyak berubah kerarah yang positif, dan mentargetkan penurunan emisi sebesar 17 persen dari level tahun 2005 pada tahun 2020. China pun telah mengeluarkan target penurunan emisi 40-45 persen dari level tahun 2005 pada 2020 yang didasarkan pada produk domestik bruto (GDP)-nya.