Benarkah hak-hak asasi manusia (HAM) bersifat absolut-universal – sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)? Jika benar, mengapa justru muncul ketegangan penegakannya di tengah arus globalisasi? Atau, jangan-jangan, HAM seharusnya bersifat relatif-kontekstual bergantung pada kultur yang berbeda-beda?
Dua topik yang mungkin paling yang kerap menjadi wacana HAM adalah soal pelanggaran HAM dan perdebatan mengenai keberlakuan prinsip-prinsip HAM. Soal yang pertama berkaitan dengan upaya terus-menerus yang diperjuangkan para aktivis HAM di seluruh dunia untuk mempertahankan, mengisi dan memajukan HAM. Sementara soal yang kedua merupakan perdebatan panjang yang seolah tak berujung antara sekelompok orang yang berpandangan bahwa HAM bersifat universal dan sekelompok orang lainnya yang beranggapan HAM dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berbeda-beda di dalam konteks yang berbeda, dan karena itu bersifat relatif. Kelompok pertama dikenal sebagai penganut universalisme, sedangkan yang kedua sebagai kelompok relativisme.
Dalam konteks Indonesia, kedua topik itu malah seringkali saling bertaut. Perkara-perkara pelanggaran HAM yang banyak disorot oleh para aktivis HAM sering dianggap tidak termasuk pelanggaran HAM lantaran ada pihak-pihak lain yang memiliki ’standar’ yang berbeda. Tentu saja ketegangan ini umumnya terjadi secara vertikal, antara masyarakat dan negara atau militer. ketegangan Akan tetapi, belakangan ini semakin nyata juga ketegangan horisontal. Misalnya, ketegangan antara kelompok aktivis HAM dan sebagian kelompok Islam. Dalam pandangan kelompok yang terakhir, prinsip-prinsip HAM yang dituangkan di dalam DUHAM tak begitu saja bisa diterapkan. Salah satu prinsip yang paling sering dipersoalkan mereka misalnya adalah mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Fenomena seperti itu bukanlah hal baru. Pada jaman Orde Baru, persoalan yang sering menjadi sumber pertentangan adalah tekanan negara atas nama kepentingan umum terhadap hak-hak inidividual warga negara. Persoalan ini juga bukan khas Indonesia Dalam pergaulan internasional, tantangan terhadap universalisme HAM misalnya datang dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pertemuan OKI di Kairo pada 1990 bahkan melahirkan ”Deklarasi Cairo tentang HAM dalam Islam” (Cairo Declaration of Human Rights in Islam).[1]
Tentu saja bukan hanya kelompok Islam yang mengajukan pandangan berbeda terhadap universalisme HAM. Dalam masa globalisasi dan dominasi pandangan neo-liberalisme, keberatan-keberatan terhadap prinsip-prinsip HAM yang mengedepankan individualisme mulai bermunculan. Masyarakat komunal, kelompok adat, bahkan negara-negara yang tak cukup lincah merespon situasi, mengumandangkan perlawanan terhadap globalisasi dan praktik neo-liberal. Tetapi yang paling menarik, perlawanan serupa juga datang dari para aktivis HAM yang selama ini dikenal menganut asas universalisme HAM.
Mengapa menarik? Tulisan Michael Goodhart[2] mengulas dengan jelas masalah ini. Dengan pendekatan historis, ia memaparkan keterpautan antara universalisme HAM – yang sangat kental dipengaruhi pemikiran John Locke tentang individualisme – dan munculnya globalisasi dan neo-liberalisme. Dalam pandangan Goodhart, globalisasi dan neo-liberalisme bisa dilihat sebagai kelanjutan-begitu-saja dari pengakuan atas universalisme HAM. Ketika HAM melahirkan paradigma baru mengenai martabat manusia – bahwa setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama (natural rights) dan bersifat universal – ketika itu pulalah lahan subur bagi tumbuhnya kapitalisme terbuka lebar. Selanjutnya, kapitalisme berkembang begitu rupa sampai melahirkan globalisasi dan praktik neo-liberalisme seperti sekarang yang, ternyata dan celakanya, menimbulkan akibat-akibat tak menguntungkan bagi pemenuhan HAM kelompok-kelompok komunal. Maka, gejala ini tak ubahnya semacam perangkap diam-diam dari universalisme HAM.
Di lain sisi, perlawanan kelompok relativisme bukannya tak membawa masalah. Selain contoh mengenai Deklarasi Kairo yang mengandung konsekuensi eksklusivitas standar Islam terhadap HAM, masyarakat-masyarakat adat dan komunal yang ada cenderung menghapuskan pengakuan atas hak-hak individu para anggotanya. Akibatnya, hak-hak individu di dalam masyarakat komunal seringkali ditentukan oleh sistem setempat yang berlaku dan menjadikan hubungan antarmanusia ditentukan oleh superior. Jelas bahwa bentuk hubungan seperti itu tak menempatkan setiap manusia dalam kedudukan setara satu dengan yang lainnya, juga antara kelompok komunal yang satu dan yang lainnya, dan pada gilirannya juga antara negara yang satu dan negara yang lain. Pandangan seperti ini boleh jadi mudah berlaku di dalam satu komunitas tertentu yang mengakui nilai-nilai yang sama, akan tetapi menimbulkan kesulitan manakala menyangkut hubungan antarkelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda-beda.
Dalam konteks situasi yang didominasi praktik neo-liberalisme dan derasnya globalisasi, komunalisme memang menjadi sangat terancam. Kekhawatiran kelompok ini sangat bisa dipahami karena pengakuan atas hak-hak komunal menjadi hilang. Padahal, dalam banyak kasus, mereka sudah telanjur ’kalah’ dan berada dalam posisi yang sangat marjinal. Karena itulah penganut prinsip relativisme saat ini menemukan momentum yang tepat untuk menentang prinsip-prinsip universalitas HAM.
Hingga di sini, sebetulnya ada satu titik temu yang mempertautkan kedua pandangan yang berbeda. Pada dasarnya, tulis Goodhart, kedua kelompok pemikiran itu sama-sama bersepakat mengenai perlunya mempertahankan martabat manusia (people’s dignity). Namun mereka memiliki respon yang berbeda mengenai bagaimana cara mempertahankannya.
Sebagai jawaban atas perdebatan yang tak berujung itu, Marie-Bénédicté Dembour berpendapat bahwa kedua kelompok tak seharusnya berseteru. Ketimbang memandang universalisme dan relativisme sebagai dua hal yang berhadap-hadapan, Dembour melihat kedua prinsip itu justru laksana ’dwi-tunggal’. Prinsip universalisme hanya akan ada jika relativisme hidup, demikian sebaliknya. Dalam pandangan Dembour, HAM harus diperlakukan seperti pendulum yang senantiasa bergerak di antara prinsip universalitas dan relativitas. Menganggap HAM sebagai sesuatu yang universal semata-mata hanya mencerminkan sikap arogansi yang tak masuk akal. Sebaliknya, mengagung-agungkan prinsip relativisme HAM adalah sebuah bentuk penyangkalan terhadap eksistensi manusia sebagai individu yang bebas.
Kendati demikian, Dembour menegaskan bahwa kedua kutub pemikiran itu tak mungkin bisa dikompromikan satu sama lain. Kedua prinsip mengenai HAM itu memiliki kebenarannya masing-masing, namun HAM harus dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan terus bergerak di antara keduanya. Agaknya, inilah memang jawaban yang memadai.∎
Yogyakarta, 15 Oktober 2008
Footnotes:
[1] Ada dua pendapat menyanngkut Deklarasi Kairo ini. Yang pertama melihat deklarasi ini sebagai bentuk perlawanan terhadap universalisme DUHAM, sementara yang lain menganggapnya justru sebagai kemajuan masyarakat Islam dalam menghargai prinsip-prinsip HAM. Kedua pendapat berbeda ini tercermin melalui dua tulisan berikut. “Prinsip HAM Universal Kompatibel dengan Islam” dalam Kompas, 18 Agustus 2008; Husein Muhammad, “HAM dan Gender dalam Perspektif Islam”, http://www.puskumhamuiinjakarta.wordpress.com/2008/04/10/ham-dan-gender-dalam-perspektif-islam/, diakses 15 Oktober 2008.
[2] Michael Goodhart, “Origins and Universality in the Human Rights Debates: Cultural Essentialism and the Challenge of Globalization”, dalam Human Rihts Quarterly 25 (2003), hal. 935-964, The John Hopkins University Press.