Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

BUKU IMPIAN

4 November 2012   16:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:58 419 0

”..Saya mau menjadi Presiden Indonesia. Inilah cita-cita saya. – Ririn Handayani, 10 tahun..”

Awal tahun 2012, usai liburan semester pertama, saya berdiri di depan kelas, membagikan sebuah buku tulis sederhana, seharga tak lebih dari dua ribu rupiah untuk sekitar 180 murid-murid saya. Semua kelas mendapat buku yang sama, masing-masing satu buku, dengan sejumput pesan personal di balik sampulnya : “Anak-anakku di dunia ini semua hal dapat kamu raih. Bermimpilah setinggi-tingginya, percaya pada kebaikan Tuhan, dan berusahalah sekuat tenaga meraih cita-cita. Katakan dalam hatimu: saya adalah karya terbesar Tuhan. Saya adalah bintang..”

Buku itu bernama Buku Impian. Sejatinya, saya tidak memulai dari awal. Pengajar Muda sebelum saya, Agus Rachmanto telah mengenalkan pada anak-anak Hutan Samak, metode konseling yang unik tapi simpel ini. Saya hanya melanjutkan, menambah jumlah anak yang mendapat buku, dan berusaha membuat mereka memperkaya isinya. Jika anda pernah menonton film ‘Freedom Writers’ (semoga saya tak berlebihan) metode ini mirip ketika Erin Gruwell, guru Freshman English pada kelas Integration Program di Woodrow Wilson High School membagikan diary kepada satu per satu anak didiknya. Berawal dari diary itu, Erin berhasil membuat murid-muridnya menjadi agen perubahan, dari anggota kelompok geng rasis jalanan yang terbiasa memegang senjata dan menembak mati orang berlainan ras, hingga membuat mereka dapat memahami perbedaan ras sebagai sebuah anugerah. Diary mereka bahkan dipadukan menjadi sebuah buku yang berjudul sama dengan judul filmnya : The Freedom Writers Diary.

***

Bila Erin meminta murid-muridnya menuliskan pergumulan rasisme mereka, saya tak punya cara yang lebih baik untuk membuat murid-murid saya mengisi Buku Impian. Sederhana. Seperti Agus, saya meminta mereka bercerita, tentang apa saja. Tentang cita-cita, kenangan-kenangan indah, semua ditulis dibuku itu. Bentuknya beragam, ada yang menulis cerita, membuat pantun, puisi, menggambar, atau ada yang sekadar membuat coretan-coretan abstrak, hingga menulis lirik lagu.

Sejak awal saya minta anak-anak mengumpulkan Buku Impian yang sudah mereka isi sebulan sekali. Namun karena kegiatan saya di dusun cukup menyita waktu, kemudian anak-anaklah yang secara spontan mengingatkan saya untuk mengumpulkan Buku Impian mereka.

Ada anak-anak yang sengaja mengosongkan satu halaman penuh sebelum ia melanjutkan cerita baru. Di halaman kosong itulah mereka menanti respon saya. Begitu yang terjadi. Kami kemudian saling berbalas kata. Di Buku Impian mereka, saya memberi apresiasi untuk cerita, puisi, pantun, gambar yang mereka buat. Rasanya seru bukan kepalang membaca cerita dalam bahasa anak-anak. Setelah mengantar Buku Impian-nya, anak-anak juga selalu tak sabar menanti tanggapan saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun