Beliau jalan kaki seperti ke pasar, mengantar, dan menjemput anak-anaknya. Beliau selalu membawa dan membuka payung sebagai pelindung untuk menghalau teriknya sinar matahari yang selalu menggigit kulit.
Penulis ingat sekali ketika berangkat dan pulang dari sekolah bersama beliau dengan berjalan kaki. Kami melewati gang-gang kecil dari samping sekolah lalu menyeberang jalan serta melintasi rumah-rumah sebelum sampai ke rumah.
Begitu pula di hari Minggu pagi, penulis senang berjalan kaki bersama ibu ke pasar. Jalanan pasar dan gang di sana sangat sempit dan selalu becek meskipun tidak turun hujan. Inilah keunikan pasar tradisional di Jakarta. Selain becek, ada aroma khusus yang tidak bisa dijelaskan hehehe.
Masa-masa indah itu teringat kembali melalui topik pilihan Kompasiana dengan tema "Mengapa Kita Malas Jalan Kaki?"
Sebenarnya kalimat pertanyaan itu tidak pernah muncul di kepala penulis. Ya, karena sedari kecil sampai dewasa, penulis suka dan sering jalan kaki. Mengapa tidak? Hitung-hitung kita berolahraga tanpa biaya.
Tanpa disadari, sebenarnya karakter penulis sudah mulai tumbuh dan terbentuk dari kecil karena sering jalan kaki. Orang pertama yang mengajak dan mengajar penulis untuk jalan kaki tidak lain adalah ibu. Beliau melepas penulis sampai dianggap benar-benar mampu untuk jalan kaki secara mandiri. Penulis lupa kapan mulai jalan kaki sendirian tanpa beliau, sepertinya di kelas 3 SD.
Sewaktu penulis duduk di kelas SMP pun selalu berjalan kaki ke sekolah, ke rumah teman, dan ke tempat olahraga seperti PBSI yang berada di jalan Krendang Raya.