Kemampuan seseorang melihat masalah dengan benar akan banyak melahirkan alternatif solusi. Bisa saja seseorang mempunyai masalah yang mirip, belajar setiap langkahnya dengan semirip mungkin, akan tetapi solusi yang
dibutuhkan sangat bertolak belakang.
Beberapa penyakit diketahui bisa disembuhkan melalui racun beberapa binatang yang berbahaya. Sifat lintah yang suka menghisap darah dan kelihatan menjijikan ternyata bisa menjadi solusi dari pasien dengan sakit tertentu. Terapi asap rokok dikabarkan juga bisa memberikan kesembuhan  atas kanker tertentu.
Seiring dengan demikian banyaknya pengetahuan yang berkembang, bagaimanakah seseorang bisa dengan pasti menambah-nambahkan pengetahuan yang ilmiah?
Salah satu unsur utama sebuah pengetahuan bisa berkembang adalah dikenalinya sebuah atau beberapa masalah sekaligus. Dan dengan metode ilmiah yang mungkin rumit bagi sebagian orang, justeru bisa memilah-milah dan memisahkan mana urutan sebab dan akibat sebuah persoalan sehingga bisa menjadi sebuah pengetahuan yang baru, yang berarti sebuah solusi ditemukan.
Kami menemukan fakta-fakta ketika mempelajari bahwa SDM Indonesia terkenal dengan kepintarannya, yaitu dengan memenangkan 570 medali emas/perak/perunggu selama 5 tahun ikut olimpiade ilmiah (menurut Kompas
11 Agustus 2015) dan menurut Indeks Dinamika Global 2013 dari Grant Thorton, Indonesia di posisi ke empat terbaik di dunia!
Ketika Anda ketik JUARA KORUPSI dan DAYA SAING SDM Indonesia, maka betapa kagetnya bahwa Indonesia meraih gelar juara dunia untuk kategori Korupsi dan SDM Kelas rendah alias pramuwisma.
Mengapa juara alias kepintaran SDM Indonesia tidak berdampak jelas kepada perbaikan mutu kerja SDM yang sesungguhnya?
Di level ASEAN, terlihat Singapura dengan PDB per kapita sebesar US$ 92,0 ribu, Malaysia dengan PDB per kapita sebesar US$ 33,3 ribu, Thailand dengan PDB per kapita sebesar 15,4 ribu, dan Indonesia dengan PDB per kapita sebesar US$ 9,5 ribu (BeritaSatu.com).
Mengapa kita bisa demikian jauh tertinggal? Padahal dahulunya kita yang dengan luas negara yang berlipat kali lebih luas pernah menjadi yang terbaik yaitu merdeka lebih dahulu di tahun 1945 dan baru diikuti oleh Malaysia (1957) dan Singapura (1965). Bahkan pada tahun 1968 Malaysia banyak mengimpor banyak tenaga pengajar dari Indonesia.
Berkaca dari masalah tersebut, kami mencoba mendiagnosa dengan beberapa pertanyaan survei antara lain dengan survei apa tujuan seseorang bersekolah, berkuliah, mengambil kursus atau mengambil pelatihan. Satu kata yang paling banyak diucapkan dari hampir 60% peserta adalah supaya lebih PINTAR (SMART/BRILIAN).
Ketika kami survei mana yang lebih dibutuhkan seseorang bila bekerja, berkarir, memimpin atau berwiraswasta. Maka jawaban yang muncul adalah SDM yang lebih RAJIN (DILIGENT) sebanyak 65%.
Bagi yang jeli hal ini sangatlah fatal perbedaannya. Yaitu ternyata kita MENGINGINKAN SDM PINTAR (60%) padahal yang kita MEMBUTUHKAN SDM RAJIN (65%). Dari hasil suvei singkat tersebut kami membuktikan adanya perang
batin dalam diri para peserta.
Sekarang kami memiliki masalah yang terukur dan demikianlah program penelitian kami bermula.
Saat kami meneliti lebih jauh, ternyata begitu besarnya perbedaan SDM yang PINTAR dan RAJIN, yaitu: SDM yang dilatih supaya lebih pintar terbukti belum tentu lebih rajin. Akan tetapi SDM yang dilatih rajin, maka lebih pasti lebih pintar.
Dari beberapa pengamatan, banyak tempat sekolah, pelatihan memiliki pola ukur yang kurang tepat misalnya hanya mengukur sisi TEKNIS seseorang seperti nilai kognitif, respon/manifestasi peserta, meriah/tidaknya acara
(logos), kebenaran hanya ada pada sang pengajar, bersifat one way (TOP to DOWN), "copy paste" dsb.
Sementara pelatihan TEKNIS tidak bisa menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengapa bahan pelatihan atau isi sebuah pelajaran tidak diingat lagi setelah rata-rata 1-2 minggu (survei)
2. Mengapa dalam job description seorang pimpinan yang seharusnya tidak ada tugas mengingatkan bawahan justru membuang waktu dengan terus menerus mengingatkan kewajiban bawahannya. Yang otomatis membuat sebal dan buang waktu kerja.
3. Mengapa seseorang bisa begitu subyektif menilai bawahan malas padahal yang bersalah adalah atasan.
4. Mengapa pelatihan tidak bisa tepat sasaran/obyektif pada masalah sehari-hari.
Pelatihan yang bisa memberikan solusi atas ketidak-seimbangan, kami sebut pelatihan NON TEKNIS, dimana kami bisa definisikan sbb: kemampuan mengukur dari sisi afektif, respon harian, mengerti/tidaknya sebuah bahan (rhema),
kebenaran unik ada pada pengajar dan setiap peserta, bersifat melengkapi (BOTTOM to TOP), menciptakan karya sendiri setiap saat.
Hal tersebut bisa dilihat pada gambar (Picture45) terlampir. Pelatihan yang tepat adalah menciptakan SDM lebih Pintar dan lebih Rajin.
Apabila pelatihan tidak bisa memberikan solusi atas sisi NON TEKNIS seseorang seperti perilaku malas, maka sejarah mencatat perilaku malas tsb yang mengundang penjajahan (Picture33).
Demikian pula bila perilaku rajin yang diutamakan sebagai akar dan penyeimbang pendidikan, maka kepintaran akan terlihat lebih bijaksana (Picture35).
Sekarang semakin jelas bahwa masalah ketidak-seimbangan inilah kesempatan memperbaiki dan menciptakan SDM kita juara di lingkungan ASEAN bahkan dunia.
Penulis memiliki banyak testimoni dari teori dan telah dipertanggung-jawabkan secara akademisi saat penulis mendapatkan gelar Master Pendidikan dengan predikat Cum Laude tahun 2015.Â