Tim Tsunami Mitigation Culture diketuai oleh Puja Yulmi Agustin bersama dengan 3 orang mahasiswa lainnya sebagai anggota pelaksana yaitu,  Aisyah Syafitri,  Willia Dara Rosandy dan Jefri Nando dengan dosen pendamping  Risky Ramadhan,S.Pd.,M.Si . Dengan penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana data spasial dapat diintegrasikan dengan kearifan lokal Mentawai sebagai bagian dari peran mitigasi bencana tsunami.
Masyarakat mentawai yang merupakan kelompok individu yang tinggal di pulau kecil di bagian barat Provinsi Sumatera Barat. Wilayah mentawai tercatat kerap dilanda gempa bumi dengan skala tinggi. Kerena hal itu, masyarakat Mentawai memiliki mitigasi yang berbasis kearifan lokal tersendiri. Salah satu lagu mitigasi tersebut yaitu berjudul Teteu Amusiat Loga.
Kegiatan survei dilakukan pada 21 Juni 2024 di salah satu desa di Kecamatan Siberut Selatan yaitu Desa Muntei yang merupakan desa yang masih kental dengan adat dan tradisi. Selain itu, di Desa muntei terdapat 2 sanggar salah satu nya Sangar Bubuakat, Sanggar ini sebagai wadah bagi masyarakat terutama anak-anak untuk mengenalkan budaya Mentawai kepada mereka, di sana juga mereka menyimpan beragam atribut-atribut budaya Mentawai. Survei tersebut disambut baik oleh Kepala Desa Muntei, masyarakat dan Tetua adat.
Pada kegiatan survei Tim Tsunami Mitigation Culture menemukan bahwa bagaimana lagu tersebut kerap dinyanyikan oleh anak-anak Mentawai saat bermasin gasing dari batang bakau atau manggis hutan juga saat bermasin petak umpet. Namun, mereka yang menyanyikan ini tidak tahu bahwa ada makna dibalik lagu ini. Kata "Teteu" diartikan sebagai kakek atau juga bisa sebagai gempa bumi. Menurut kepercayaan masyarakat Mentawai yang beraliran Arat Sabulungan, mereka percaya pada roh-roh penguasa alam sejagat. Teteu adalah salah satu penguasa bumi. "Teteu Amusiat Loga sudah menjadi salah satu bukti bahwa nenek moyang kami tetap melekat dihati kami,mereka menciptakan lagu yang seolah-olah memberitahu kami kalau ketika alam memberikam tanda seperti didalam lagu yaitu jeritan tupai maka berwaspadalh bahwasanya akan datang bencana tsunami,dan kami para tetua dimentawai berharap agar kearifan lokal seperti lagu teteu Amusiat Loga ini tidak mengalami degradasi dikalangan generasi muda kedepanya" kata Lala kolam  (si kerei ,Tetua adat dimentawai)".Jika Teteu murka, maka ia akan mengoncangkan bumi hingga mengeluarkan gempa.
Namun, sebelum gempa tersebut mengguncang, ada beberapa pertanda yang disampaikan oleh binatang, Sebagi contoh tupai akan gelisah, begitu juga dengan ayam peliharaan akan berkotek tanpa sebab. Lagu ini tak mengubahnya seperti early warning system yang bersifat kultural bagi masyarakat di Kepulauan Mentawai. Seiring dengan penelitian mereka yang berkelanjutan, harapan tim ini adalah bahwa konsep kearifan lokal dalam mitigasi tsunami akan menjadi sebuah contoh inspiratif bagi wilayah lain yang juga menghadapi ancaman serupa. Dengan menjaga tradisi mereka sendiri, mereka tidak hanya menyelamatkan warisan budaya, tetapi juga menyelamatkan nyawa.