Membaca pemikiran Prof Dr Otto Soemarwoto seorang pakar lingkungan dari Unpad, selalu menarik. Ada banyak sisi kajian dari setiap bukunya yang selalu saya kutip untuk sebuah tulisan. Dari sekian pakar lingkungan di Indonesia, Prof Otto adalah sosok yang saya kagumi karena pemikirannya lebih dekat, lebih mudah dimengerti dan membumi. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan pakar yang terlalu tinggi bahasannya sehingga sulit dimengerti oleh pembaca. Beberapa kesempatan diskusi, saya sering bertemu beliau sebelum meninggal pada tahun 2007 yang lalu. Salahsatu pemikiran menarik dalam buku Pembangunan Berkelanjutan, antara teori dan realitas, Unpad 2006 adalah tentang kontroversi setiap pembangunan. Dalam proses pembangunan selalu terjadi kontroversi pro dan kontra terhadap sebuah kebijakan dan pelaksanannya. Dalam alam demokrasi kontroversi adalah wajar, karena pemahaman orang per orang ataupun kelompok tentang kebijakan pembangunan dapat berbeda dan perbedaan itu boleh dinyatakan. Kontroversi dapat menyempurnakan perencanaan pembangunan sebelum rencana itu diimplementasikan. Tetapi jika terjadi kontroversi berkepanjangan yang melelahkan, kontroversi itu menjadi kontra-produktif. ''
Dalam alam demokrasi kontroversi adalah wajar, karena pemahaman orang per orang ataupun kelompok tentang kebijakan pembangunan dapat berbeda dan perbedaan itu boleh dinyatakan.'' [caption id="attachment_240727" align="alignleft" width="198" caption="Bebek atau kelinci (
http://juliocaesarz.blogspot.com)"][/caption] Perbedaan pendapat dapat disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi terhadap sifat umum ataupun detil dan pengambilan sudut pandang yang berbeda serta dapat juga karena ilusi. Gambar disamping menerangkan tentang perbedaan persepsi umum. Gambar ini dapat dilihat sebagai kepala seekor kelinci. Tetapi dapat juga dilihat sebagai kepala seekor bebek. Dua persepsi yang sama sekali berbeda. [caption id="attachment_240713" align="alignright" width="188" caption="Wibisana (
http://wayang.wordpress.com)"][/caption] Contoh kedua melukiskan tentang perbedaan sudut pandang yang diambil dari pewayangan Ramayana. Rama, raja Ayudya, adalah simbol kebaikan dan kebenaran. Rahwana, raja Alengka, adalah simbol keburukan dan kejahatan. Rahwana menculik Dewi Sinta, isteri Rama. Sebuah perbuatan jahat. Karena perbuatan itu terjadilah perang antara Rahwana dan Rama. [caption id="attachment_240708" align="alignleft" width="201" caption="Kumbakarna (www.gamelannetwork.co.uk)"][/caption] Rahwana mempunyai dua orang adik: Kombakarna dan Wibisana. Kedua orang adik itu tidak menyetujui perbuatan kakaknya. Rahwana marah dan keduanya diusir dari keraton. Kombakarna tetap di Alengka dan berperang melawan Rama. Dalam peperangan itu Kombakarna gugur. Wibisana pergi ke Rama dan berpihak kepadanya. Pertanyaannya ialah: siapakah yang benar? Kombakarna ataukah Wibisana? Jawabannya tergantung dari sudut pandang penjawab. Berdasarkan sudut pandang etika Wibisana benar, karena dia membela kebenaran. Sebaliknya Kombakarna salah karena dia membela kejahatan. Tetapi dari sudut pandang kenegaraan dan nasionalisme, Kombakarna adalah benar. Dia mati sebagai pembela negara. Dia seorang pahlawan. Dia bersikap
right or wrong my country. Sebaliknya Wibisana salah. Dia seorang pengkhianat yang berpihak pada musuh yang menyerang negaranya. [caption id="attachment_240738" align="alignright" width="200" caption="Ilusi Mueller-Lyer (www.determity.com)"][/caption] Kontroversi dapat pula terjadi, karena adanya ilusi. Dalam Gambar, tertera dua buah garis, yaitu a dan b. Jika sekelompok responden ditanyakan garis mana yang lebih panjang, kebanyakan responden menjawab akan menyatakan garis a lebih panjang daripada garis b. Kenyataannya kedua garis itu sama panjang. Jawaban itu ilusi yang disebut ilusi Mueller-Lyer (
Zimbardo and Ruch dalam Soemarwotto. O, 2006). Ketiga contoh di atas memberi ilustrasi bahwa kita harus mengantisipasi akan adanya kontroversi tentang sebuah kebijakan pembangunan. Betapapun baiknya persiapan dan perencanaan sebuah kebijakan serta betapapun baiknya tujuan pembangunan itu, kemungkinan terjadinya sebuah kontroversi selalu ada. Jika terjadi kontroversi, kontroversi harus dikelola, bukannya diredam dengan kekuasaan yang dimiliki pembuat kebijakan. Peredaman akan menimbulkan kekecewaan dan memperkuat sikap oposisi. Jika kekuasaan peredaman cukup kuat, peredaman dapat tercapai. Kontroversi seolah-olah tidak ada lagi. Tetapi kontroversi sebenarnya belumlah selesai. Dengan peredaman itu kesediaan kerjasama pihak oponen hilang atau bahkan ada usaha untuk menghambat pelaksanaan kebijakan itu. Lebih buruk lagi peredaman dapat merupakan api dapam sekam yang sewaktu-waktu bisa dapat meledak. Hal ini kita alami setelah terhapusnya kekuasaan otoriter dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Berbagai konflik yang ada dalam masyarakat tidak lagi terkendali dan pecahlah kerusuhan sosial yang bertubi-tubi. Pengelolaan kontroversi mensyaratkan adanya kesediaan pada pihak pembuat kebijakan yang berkuasa untuk berbicara dengan para pihak berkepentingan (
Stakeholders), baik yang pro maupun yang kontra. Dialog itu akan memberi informasi kepada pihak pembuat kebijakan tentang kelebihan dan kekurangan kebijakannya itu. Informasi itu akan memperkaya pemahaman pihak pembuat kebijakan tentang makna kebijakannya dengan lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Informasi ini sangat berguna untuk memperbaiki kebijakannya itu ataupun untuk menyusun kebijakan lain. Pada lain pihak dialog itu juga memberi kesempatan kepada para pihak yang berkepentingan untuk mendalami maksud dan tujuan kebijakan pemerintah. Mengelola kontroversi karena perbedaan persepsi ataupun perbedaan sudut pandang tidaklah mudah. Mengelola kontroversi karena ilusi sering lebih sulit lagi, karena argumen yang digunakan sering tidak rasional. Pengelolaan kontroversi dipersulit, apabila ada pihak-pihak yang memanfaatkan kontroversi itu untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Ibaratnya memancing di air yang keruh. Mengelola kontroversi memerlukan kesabaran, tenaga dan waktu, baik pada pihak penguasa, maupun pihak masyarakat. Sayangnya, keduanya sering tidak sabar. Para pembuat kebijakan sering ingin kebijakannya segera dilaksanakan dan pihak oponen tidak mau berkompromi. Akibatnya dapat terjadi kontroversi yang berkepanjangan yang melelahkan dan menambah biaya yang tidak sedikit. (Iden Wildensyah) [caption id="attachment_240744" align="aligncenter" width="149" caption="Prof Dr Otto Soemarwoto (www.suarapembaruan.com)"][/caption]
Disarikan dari buku Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: antar konsep dan realitas hal 24-28. Penerbit Universitas Padjadjaran, 2006. Sekilas Tentang Prof Dr Otto Soemarwoto Otto dilahirkan di Purwokerto, Jawa Tengah, 19 Februari 1926. Menamatkan SD di Temanggung (1941), MULO di Yogyakarta (1944), dan SMA di Yogyakarta (1947). Lulus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1954, dan meraih gelar doktor dalam
plant physiology dari University of California, Berkeley, AS, tahun 1960, dengan disertasi
The Relation of High Energy Phosphate to Ion Absorption by Excised Barley Roots. Pada 1980, dia menjadi guru besar tamu di universitas itu. Berbagai prestasi dan jabatan pernah disandangnya, antara lain menjadi guru besar termuda di UGM pada 1960. Tahun 1964-1972, Otto menjadi Direktur Lembaga Biologi Nasional di Bogor, dan menjadi Direktur SEAMEO (South East Asia Ministers of Education Organization) serta Biotrop di Bogor (1968-1972). Dia diangkat menjadi Guru Besar Tata Guna Biologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung (sejak 1972) dan Direktur Lembaga Ekologi Unpad (1972). Otto pernah menjadi anggota Board of Directors International Institute for Environment and Development, New York dan London (1971-1978), anggota Executive Board International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Swiss (1972-1976), anggota Dewan Redaksi Journal of Environmental Conservation Zurich, Swiss, anggota Dewan Redaksi Journal of Agriculture and Environment, Den Haag (1974), dan anggota Commission on Ecology, Swiss (1980). Pada 1993, ia bergabung dengan Business Council for Sustainable Development yang diketuai Bob Hasan. Di tahun yang sama ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Pertanian Wageningen (Belanda). Pada 2006, ia menjabat sebagai Guru Besar (Emeritus) Lingkungan Unpad. Almarhum juga meraih Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (1981) dan Satyalencana Kelas I (1982), Order of the Golden Ark dari Belanda Dia juga menyusun sejumlah buku dan karya tulis, antara lain
The Alang-Alang Problem in Indonesia, paper, the Tenth Pacific Science Congress, Honolulu, AS, (1961),
Problems of High School Biology Teaching in Indonesia, Kadarsan Sampoerno & O Soemarwoto, IUCN Publications (1968),
Ecological Aspects of Development, Elsevier Publishing Co, Amsterdam,
Prinsip Sistem Penafsiran Pengaruh Lingkungan, Bandung, Lembaga Ekologi Unpad (1974). Selain itu,
Environmental Education and Research in Indonesian Universities, Singapore, Maruzen Asia,
Jaring-Jaring Kehidupan Mengenai Amdal, Indrapress (1981),
Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta, Djambatan (1983),
Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama (1991), dan
Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta, UGM Press (2001) Sumber:
www.suarapembaruan.com
KEMBALI KE ARTIKEL