Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ekologi Manusia yang Dinamis

21 Juni 2010   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:24 2823 0
[caption id="attachment_172809" align="alignright" width="300" caption="Buku Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan (www.flickr.com/wildensyah)"][/caption] (Sebuah Resensi Buku Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan) Studi tentang manusia memang menarik dan sangat dinamis, apalagi dalam konteks perubahan jaman serta kemajuan teknologi yang semakin pesat. Dikaji dari banyak sisi baik secara sosial, budaya dan lingkungan selalu memberikan hal unik yang bisa dijadikan pelajaran. Sebuah buku tentang Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan karya Prof Johan Iskandar mengantarkan saya pada dinamika interaksi manusia dan lingkungan serta pembangunan berkelanjutan. Dibuka dengan kutipan Diesendorf, pembaca seolah dituntun lalu dibukakan matanya agar melihat kenyataan bahwa perkembangan jaman, kemajuan teknologi ternyata sudah menimbulkan kerusakan lingkungan serta masalah ekologi di muka bumi. Lebih lengkapnya begini ''Pada abad 20 ini, umat manusia telah mampu mengembangkan teknologi yang sangat menakjubkan seperti membangun aneka ragam industri pertanian, pangan, membuat berbagai macam komputer pribadi, melakukan transplantasi jantung, membuat pesawat jumbo jet bahkan sampai melakukan pendaratan di bulan. Namun, berbagai pencapaian teknologi tersebut telah membutakan kita terhadap akan adanya berbagai keterbatasan manusia di dalam ekosistem. Misalkan, banyak di antara kita - terutama yang hidup di kota - memiliki khayalan seolah-olah tidak tergantung pada ekosistem, padahal dalam kehidupan sehari-hari kita sangat bergantung pada ekosistem. Misalkan, kita butuh oksigen untuk bernafas, air untuk untuk minum, dan karbohidrat hasil proses fotosintesis tumbuhan untuk sumber energi. Akibatnya, banyak tindakan manusia yang tidak bijaksana terhadap lingkungan serta menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan atau masalah ekologi di muka bumi (Diesendrof, 2000:20 pada Iskandar, 2010: 1). Perlu dicatat, bahwa kemajuan teknologi membuat manusia egoistis yang tidak peduli lingkungan sekitar yang sebenarnya sangat membantu dalam proses kelangsungan hidupnya. Padahal manusia dalam kehidupan sehari-harinya mempunyai ketergantungan yang sangat erat dengan lingkungannya. Baik lingkungan hidup (biotik) maupun lingkungan tak hidup (abiotik). Lingkungan biotik antara lain jenis-jenis tumbuhan, binatang, dan manusia itu sendiri. Sementara lingkungan abiotik antara lain, udara, air, dan tanah. Manusia memenuhi kebutuhan primernya atau biologisnya antara lain membutuhkan udara untuk bernafas, air untuk minum, serta jenis-jenis tumbuhan dan binatangan untuk sumber pangan. Sedangkan untuk kehidupan non primernya, manusia antara lain membutuhkan kepuasan akan benda-benda material/kekayaan yang dieksploitasi dari alam dan rekreasi serta hiburan dengan menikmati keindahan alam (hal 1-2). Tentang interaksi ini, penulis menyampakan beberapa teori menarik yang menjadi landasan ekologi manusia. 6 teori yang menarik tentang perkembangan hubungan interaksi antara manusia dan lingkungannya terdiri atas (1) Enviromental determinism; (2) Enviromental Possibilism; (3) cultural ecology; (4) The ecosystem-based model of human ecology; (5) the actor-based of human ecology; dan (6) the systems model of human ecology (hal 43). Teori ini menarik dikaji satu persatu, tentang pertentangan teori dan perkembangannya. Sebut saja saja salahsatu teori yang dipertentangkan dan diangkat dalam buku ini, Enviromental Determinism. Para pengikut teori terutama dari kalangan geografi, misalnya Fredrich Rachel dari Jerman. Berdasarkan teori ini dicontohkan faktor-faktor lingkungan ideal yang dimiliki oleh negara Yunani telah menjadi faktor kondusif untuk berkembangnya kebudayaan dan kekuatan politik di Lautan Tengah (Mediteranean). Sementara itu Bangsa Inggris yang dikelilingi lautan menjadi suatu bangsa pelaut karena wilayahnya dikelilingi lautan. Eskimo adalah merupakan bangsa nomaden karena mereka tinggal di kondisi sulit di habitat kutub (arctic). Akibatnya, mereka tidak berkembang menjadi masyarakat yang komplek. Klaim tentang korelasi antara lingkungan dan kebudayaan mudah disangkal dengan pertimbangan, misalnya, bangsa Tasmania yang tinggalnya di suatu pulau, namun mereka tidak memiliki kebudayaan seperti masyarakat Inggris, serta tidak membuat kapal-kapal (hal 44-45). Lebih jauh lagi penulis memaparkan bagaimana contoh interkasi manusia dengan lingkungannya dalam masyarakat lokal di Indonesia. Dimulai dari adaptasi, gambaran ekosistem, gambaran sistem sosial serta pengelolaan penduduk terhadap ekosistem. Beberapa masyarakat adat yang dijadikan contoh dalam buku ini diantaranya adalah Kampung Naga di Jawa Barat, Masyarakat Sumba Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Masyarakat Teluk Bintuni dan Yangu di Papua. Interaksi manusia dan lingkungan berkembang selanjutnya dalam populasi penduduk, pasokan pangan dan kemiskinan. Disinilah kita akan dituntun mengetahui lebih dalam dinamika yang terjadi. Lagi-lagi bahasan ini sebetulnya membuktikan bahwa keterikatan manusia dan lingkungan itu sangat erat. Manusia tidak bisa lepas dari lingkungan sekitar dan populasi manusia menjadi dinamika yang akan membuat interaksi ini berdampak pada banyak sisi. Perdebatan tentang populasi dengan pasokan pangan ini sudah menjadi topik menarik sejak lama. Terutama ketika terbitnya tulisan T.R.Malthus yang sangat terkenal Essay on the principle of Populations, diterbitkan pada tahun 1789. Dalam bahasan ini, penulis memaparkan model klasik Malthus serta model kontra Malthus yang dipelopori oleh Boserup (1965). Dalam paparan ini, menurut kontra malthus bahwa pasokan pangan terus bertambah dalam merespon populasi penduduk, sejalan dengan adanya perubahan teknologi pertanian. Menurut konsep Boserup, terjadi dinamika perubahan teknologi pertanian dalam dalam metode kultivasi dan pilihan alat-alat dalam kaitannya dengan perubahan sistem tataguna lahan untuk merespon adanya pertambahan penduduk. Jadi, kepadatan penduduk adalah determinan utama terhadap sistem tata guna lahan, metode kultivasi, dan pilihan alat-alat pada waktu tertentu (hal 89). Dalam bahasan selanjutnya, interaksi manusia dan lingkungan itu menyangkut pengelolaan penduduk pada sistem pemburu dan peramu. Komunitas ini hidup diberbagai tipe ekosistem dan tersebar cukup luas di dunia. Misalnya, di kawasan pada pasir, daerah kutub dan kawasan hutan-hutan tropis. Beberapa kelompok komunitas pemburu dan peramu yang telah terkenal di dunia antara lain komunitas asli di Australia, komunitas Shosone di Amerika Utara, komunitas Inuit (Eskimo) di kawasan Artik Amerika Utara, Komunitas Tasaday di Filipina, komunitas Semang di Malaysia, komunitas Kubu (suku anak dalam) di Sumatera, Punan (penan) di Kalimantan dan beberapa komuniti asli di Papua (hal 113). Penjelasannya lengkap dengan gambaran sistem sosial, berburu binatang liar yang sering dikonsumsi, serta hasil hutan lainnya. Selain berburu dan meramu, dalam buku ini juga ada penjelasan tentang bagaimana pengelolaan lingkungan oleh penduduk pada sistem perladangan berpindah dengan contohnya masyarakat Baduy dan masyarakat Dayak Wahea. Lalu pengelolaan lingkungan oleh penduduk pada sistem sawah yang menjelaskan bahkan sampai teknis menanam padi yang dimulai dari penentuan musim, seleksi benih, mencangkul, menanam dan panen (hal 173). Tidak lupa juga penulis menyampaikan kritik terhadap Revolusi Hijau yang disebutkannya sudah menghilangkan varietas unggul lokal Indonesia, semula mencapai 8.000 Varietas padi lokal yang biasa di budidayakan petani, kini tinggal puluhan saja. Buku ini ditutup dengan pandangan manusia terhadap lingkungan, kerusakan lingkungan dan upaya konservasi alam. Penulis memberikan contoh bagaimana orang sunda memandang lingkungan. Pandangan ini berisi kearifan masyarakat sunda dalam memperlakukan alam, menyelaraskan kehidupan dengan alam dan berusaha menyeimbangkannya. Contoh yang diambil penulis adalah masyarakat Baduy di Banten Selatan. Kerusakan alam lebih karena pengaruh Barat yang bersifat Cartesian/Antroposentris, bahwa segenap lingkungan hanya dipandang bagi kepentingan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bersifat sekuler, dan reduksionistis, serta ekonomi kapitalis yang bersifat menguras sumberdaya alam (Keraf, 2002). Pengaruh globalisasi, pandangan tersebut mempengaruhi pula pada tatanan kehidupan Orang Sunda. Sehingga, pandangan wordview dan perilaku Orang Sunda terhadap lingkungannya mengalami banyak perubahan secara dratis (hal 184). Upaya konservasi dalam buku ini mengambil contoh pada masyarakat Baduy dan masyarakat Kampung ada Dukuh. Penulis memberikan contoh zonasi dalam memproteksi kawasan yang sangat penting bagi daya dukung manusia. Zonasi ini terdiri dari zona inti, zona penyangga dan zona transisi. Kekurangan pada buku ini pada tampilan yang terlalu kaku, tidak seperti biasanya saya membaca buku teks populer. Yah memang wajar saja demikian karena buku ini dalam pengantar di halaman belakang memang di tujukan untuk referensi penting bagi akademisi, pengambil kebijakan, aktivis LSM, Aparatur negara dan lainnya untuk memahami berbagai macam persoalan lingkungan dan landasan ekologi manusia untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Buku setebal 217 + 10 hal daftar isi dan kata pengantar diterbitkan oleh Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009. Diluar kritik yang sedikit saja tentang kekurangan ilustrasi gambar itu, secara pribadi saya sangat puas membaca buku Prof Johan ini. Lebih dalam, lebih bergizi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun