Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Menggugat Arsitektur!

4 Maret 2010   12:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37 288 0
[caption id="attachment_85898" align="alignleft" width="286" caption="Ilustrasi diunduh dari google.com"][/caption]

Jika tahun 2000 yang lalu teman saya, salah seorang arsitek lulusan perguruan tinggi di Kota Bandung, membuat sebuah acara Arsitektur Menggugat, maka saya ingin menyampaikan sebuah gagasan tentang menggugat arsitektur. Dasar pikiran yang nyata bahwa perencanaan ruang yang semena-mena tanpa melihat karakteristik daerah, seperti banyaknya lahan yang seharusnya menjadi lahan untuk konservasi di habiskan oleh desain untuk kepuasan pemilik modal. Dalam hal ini sudah banyak kejadian yang berakhir bencana pada masyarakat. Baik itu bencana secara langsung maupun tidak langsung. Nah bencana langsung yang biasa terasa adalah kebutuhan air yang timpang dimana ada pihak sangat diuntungkan sementara dipihak lain merasa kesulitan mendapatkan akses air bersih ini, ambilah contohnya kasus masyarakat Ciumbuleuit dan Setiabudhi hanya karena pengambilan air tanah yang berlebihan oleh dua apartemen sekitar lokasi tersebut, masyarakat menjadi kekurangan air, belum lagi sinar matahari yang tertutupi oleh gedung apartemen yang mengalahkan tingginya bangunan milik penduduk.

Selanjutnya ruang terbuka publik yang menjadi sempit dimana masyarakat umum semakin sulit mengakses ruang bersama. Ketidakberadaan ruang publik ini adalah bencana tidak langsung yang pada akhirnya akan mengkotak-kotakan masyarakat dengan sikap egoistis dan individualistik, dengan sendirinya akan menghilangkan rasa kebersamaan yang menjadi ciri masyarakat timur. Ruang publik yang dipersempit ini bisa dilihat dari perumahan-perumahan besar di komplek semacam Kota Baru Parahyangan, Kota Wisata Cibubur, Villa Istana Bunga dan perumahan lainnya di Kawasan Bandung Utara yang seyogianya dijadikan kawasan konservasi air dan tanah. Perumahan yang mengambil gaya arsitektur kebarat-baratan pada akhirnya meninggalkan identitas ketimuran, pun dengan budaya dan gaya hidupnya.

Ruang publik yang hilang dengan sendirinya akan menghilangkan rasa kebersamaan, dengan demikan bencana yang tidak terasa ini akan terus melanda bangsa Indonesia bila kejadian serupa tidak diantisipasi dari sekarang. Lebih jauh lagi dalam konteks lingkungan, banyak perencanaan yang semena-mena merubah kontur alami dengan memangkas bukit, menggunduli serta mengganti karakteristik pepohonan dengan pohon palsu yang hanya dijadikan aksesoris, cobalah tengok pohon palsu di depan gerbang masuk Kota Baru Parahyangan serta pohon penghias sepanjang jalan, atau kota Fantasi di Cibubur yang sangat tidak terbayang darimana datangnya, begitupun dengan desain rumah yang mungkin saja jika Soekarno masih ada akan terheran-heran dengan keadaan sekarang dimana identitas bangsa Indonesia semakin luntur dengan derasnya arus globalisasi tanpa mengindahkan karakteristik wilayah sekitar.

Dari persfektif lingkungan, perencanaan yang baik hendaknya memberikan banyak hal positif bagi masyarakat setempat bukan mengerdilkan bahkan sedikit demi sedikit menghilangkan atau menguburnya dalam sistem yang berjalan seiring waktu. Dampak negatif dari setiap perencanaan kerap ditemui, hanya saja media tidak begitu besar mem-blow up kejadian dari setiap pembangunan yang tidak ramah lingkungan tersebut.

Dinas Tata Ruang dan Pemukiman dalam satu kesempatan pernah mengadakan diskusi tentang perencanaan di KBU (Kawasan Bandung Utara) dalam kesempatan itu dipaparkan tentang konsep perencanaan untuk KBU yang sangat ideal, tentang pembangunan yang masih memenuhi kaidah konservasi air dan tanah. Ada titik terang bahwa sebenarnya konsepsi ideal arsitektur dalam menggunakan lahan pada dasarnya harus sesuai dengan peruntukan dan tata guna lahan yang tersedia, tidak bisa seenaknya membangun tanpa perencanaan desain yang universal menyangkut masalah dampak sosial dan lingkungan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukan hal yang sebaliknya. Masih banyak perencana-perencana yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku seperti tidak mau ambil pusing dengan kenyataan lapangan, dampak sosial dan lingkungan. Masyarakat setempat terpinggirkan lalu jatah lingkungan dan akses ruang terbuka yang dibatasi. Hal ini mengakibatkan rasa kebersamaan dalam sendi-sendi kehidupan perlahan luntur karena masyarakat tidak diberikan ruang yang bisa berinteraksi satu sama lain. Begitupun dengan hilangnya sense of belonging terhadap lingkungan setempat yang mengakibatkan sikap acuh tak acuh, tidak peduli dan masa bodoh.

Pada dasarnya perencanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, indikator keberhasilan pembangunan ini terdiri dari tiga faktor yaitu masyarakat, ekonomi dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut harus terpenuhi. Jika salah satu dari tiga sendi pembangunan berkelanjutan tidak terpenuhi dalam arti ada korban pembangunan, maka perlu ditinjau ulang.

Rencana pembangunan selalu terjadi tarik menarik kepentingan, seperti ekonomi dan lingkungan. Di salah satu pihak kepentingan ekonomi sangat mendominasi, sementara dipihak lain kepentingan lingkungan sangat penting. Kedua kepentingan sebetulnya tidak akan terjadi tarik menarik bila perencana bisa memberikan solusi konkrit dalam memadukan kedua kepentingan tersebut. Jika tiga esensi konsep berkelanjutan diterapkan maka tarik menarik kepentingan tersebut bisa dikurangi. Tiga esensi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah pertama, memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan yang akan datang. Kedua, tidak melampaui daya dukung lingkungan. Ketiga, mengoptimalkan sumber daya yang ada dengan menyelaraskan antara sumber daya manusia dan pembangunan dengan sumber daya alam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun