Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah akrab dengan sepeda. Aktivitas bersepeda sudah dikenalkan sedari kecil. Dimulai dengan latihan bersepeda dengan dua roda bantu di belakang, hingga kemudian bisa menggowes sepeda dengan dua roda.
Belakangan, aktivitas bersepeda atau biasa disebut besikal kian banyak peminatnya. Pabrikan sepeda besar tanah air juga makin kreatif mengeluarkan produk yang sesuai dengan selera pasar. Tengok saja situs internet yang menjual sepeda baru. Konsumen pasti akan dibuat sedikit kebingungan memilih sepeda yang sesuai dengan selera, kebutuhan, dan uangnya.
Sebagai penggowes, saya tentu punya cerita bersepeda yang bisa dibagi. Sejak sekolah dasar saya sudah sangat akrab dengan sepeda. Sepeda pertama saat itu adalah jenis BMX. Ini sepeda yang sudah kondang pada 1980-an. Almarhum ayah saya membelikan sepeda BMX bekas seharga Rp50 ribu. BMX warna merah inilah yang mengantar saya ke SDN Gurah III Kediri Jawa Timur yang berjarak tempuh sekira 250 meter dari rumah.
Cerita bersepeda saya berlanjut hingga ke jenjang madrasah tsanawiyah atau SMP. Seiring tren modifikasi sepeda yang mewabah kala itu, saya mengganti stang sepeda BMX dengan ukuran yang lebih panjang. Ini dikarenkan posisi sadel sepeda saya naikkan seiring bertambahnya tinggi tubuh saya. Modifikasi ringan tersebut diperlukan karena jarak tempuh dari rumah menuju MTsN Kediri 2 mencapai 10 kilometer. Untuk perjalanan pergi-pulang, total jarak tempuhnya berarti 20 kilometer.
Sekira setahun saja saya mengendarai sepeda BMX ini. Seiring kebutuhan, ayah membelikan sepeda baru jenis jengki dengan merek Phoenix. Tulisan jengki sengaja saya miringkan karena saya khawatir tak semua orang akrab dengan istilah tersebut. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah kian jauh yakni sekira 16 kilometer untuk sekali jalan. Demi mengejar kecepatan agar tak terlambat sampai di sekolah, saya menggowes sepeda jengki ini.
Cerita bersepeda dengan si jengki ini sebagian pernah saya urai dalam tulisan berjudul Rahman Halim dan Gudang Garam Kediri. Untuk menyemangati kayuhan sepeda di pagi hari, sesekali saya balapan dengan para buruh PT. Gudang Garam yang sebagian berangkat kerja ke pabrik dengan naik sepeda. Biasanya jam 06.00 WIB saya keluar rumah. Bekapan udara pagi yang dingin tak menyurutkan semangat saya menggowes si jengki berwarna biru.
Kayuhan sepeda para buruh pabrik rokok ini tergolong kencang. Maklum, mereka juga takut terlambat tiba di pabrik. Sementara saya tak ingin terlambat tiba di sekolah. Kecepatan kayuhan para buruh ini mungkin secepat pula dengan gerakan melinting rokok kretek yang sehari-hari mereka jalani. Aksi balap sepeda dadakan antara saya dengan buruh linting rokok ini biasanya berlangsung selama beberapa kilometer. Dimulai dari Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo Gurah menuju Simpang Lima Gumul hingga mencapai Tepus Kediri.
Balapan usai di pertigaan Tepus Kediri. Di sini “lawan” saya berbelok ke kanan menuju ke pabrik Gudang Garam. Adapun saya belok ke kiri menuju pusat kota Kediri. Balapan semacam ini hanya sesekali saja. Manfaatnya ialah mempercepat kayuhan sepeda sehingga saya juga lebih lekas tiba di sekolah.
Keakraban saya dengan sepeda berlanjut ke jenjang kuliah. Karena keterbatasan dana, almarhum bapak batal membelikan saya sebuah sepeda motor. Dikirimlah sebuah sepeda untuk menunjang aktivitas saya dari kost ke kampus. Jarak kost saya di Jalan Surya Jebres Tengah Surakarta menuju kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta sebenarnya tak terlalu jauh. Hanya saja, dengan bersepeda rasa malas saat hendak berjalan kaki bisa teratasi.
Kali ini saya mendapatkan sepeda gunung. Sepeda bekas itu dibelikan bapak untuk menyemangati saya agar rajin datang ke kampus. Tak hanya untuk kuliah, sepeda gunung pertama ini juga menemani saya saat hendak latihan karate atau mengikuti kajian di luar kampus. Pendek kata, aktivitas saya bepergian di sekitar kampus UNS banyak ditunjang sepeda gunung ini. Kontur tanah di kampus UNS yang naik turun bisa menjadi keasyikan saat bersepeda.
Jadi, sejak 1996 lalu saya sudah terbiasa bike to campus. Di saat banyak teman memilih naik sepeda motor ke kampus, saya memilih naik sepeda. Karena itulah alat transportasi yang bisa saya miliki. Toh, naik sepeda masih sedikit lebih mewah daripada jalan kaki.
Sepeda gunung ini juga menjadi saksi beratnya perjuangan saya mencari uang tambahan di sela-sela kuliah. Suatu hari dosen Bahasa Inggris meminta mahasiswa memfoto kopi buku materi kuliah. Terdorong mencari uang tambahan, saya berinisiatif mengoordinir urusan foto kopi buku tersebut. Biaya foto kopinya ternyata mahal. Sampai-sampai saya meminjam modal uang sebesar Rp250 ribu kepada rekan sekelas saya di jurusan ilmu komunikasi FISIP UNS Muhammad Rifani.
Buku tersebut lantas saya foto kopi. Setelah kelar, saya mengambilnya dari tempat foto kopi. Tumpukan foto kopi ini harus saya bawa ke kampus dengan sepeda. Dengan agak terhuyung-huyung, saya meletakkan tumpukan buku di atas frame. Tangan kiri saya memegang tas plastik yang berisi buku. Sementara itu, tangan saya mengendalikan stang sepeda. Beberapa kali tumpukan buku yang saya bawa merosot jatuh.
Berganti-ganti sepeda sedari SD hingga kuliah mungkin menjadi hal mudah dilakukan jika ada uang. Namun yang sulit dilupakan dari setiap sepeda itu ialah kenangannya. Kenangan itulah yang mendorong saya menuliskan cerita bersepeda kepada para Kompasianer.