Pernahkah terlintas untuk menghabiskan waktu, membuang penat dan stress di ruang publik? Entah sekedar membaca buku-buku sastra, atau novel, atau bahkan komik di tempat umum yang memadai? Yang murah, nyaman, aman, dan menyenangkan? Sambil melihat anak-anak dan orang tuanya tertawa hanya karena bermain balon sabun atau bola?
Masyarakat perkotaan yang cenderung dituntut untuk hidup serba cepat, dan berorientasi pada pekerjaan semata, biasanya memiliki tingkat stress yang tinggi. Beberapa persoalan seperti biaya hidup di perkotaan yang semakin melambung, belum lagi diperparah dengan tingkat kemacetan yang kian hari kian mengkhawatirkan saja, sehingga banyak plesetan menyebutkan“tua dijalan”, juga dapat turut memperparah kondisi kejiwaan masyarakat kota. Maka tidak heran jika sifat masyarakatnya cenderung lebih mudah dan cepat tersulut emosinya.
Dalam tren perkembangan masyarakat kota dewasa ini, ruang publik yang paling sering diakses oleh masyarakat perkotaan adalah tempat-tempat perbelanjaan seperti Mall atau Cafe dibandingkan dengan taman-taman kota. Hal ini antara lain disebabkan oleh minimnya penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai oleh pemerintah, sehingga akhirnya membentuk gaya hidup masyarakat perkotaan yang tidak bisa terlepas dengan tempat perbelanjaan atau Shopping-Oriented.
Kurangnya ketersediaan taman yang merupakan ruang terbuka hijau, akhirnya meminimalisir pilihan dari masyarakat untuk mengakses jenis ruang publik di kotanya sendiri. Minimnya pilihan tersebut akhirnya membuat masyarakat kembali menempatkan tempat perbelanjaan atau Mall sebagai urutan pertama untuk menghabiskan waktu luangnya.
Masifnya pembangunan Mall, tempat pebelanjaan dan cafe sebagai salah satu sarana penggiat perekonomian kota menjadikan masyarakat seolah melihat ruang publik hanya sebatas berbentuk Mall, cafe atau tempat perbelanjaan saja yang biasanya menyuguhkan harga-harga yang cukup membuat mata pedas. Walaupun, memang untuk masyarakat dengan perekonomian menengah keatas, hal tersebut bukanlah menjadi suatu kendala.
Tumbuhnya tempat-tempat perbelanjaan memang dapat menggiatkan perekonomian sebuah kota, namun juga perlu diingat, untuk di Jakarta saja jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di tahun 2015 ini diprediksi akan meningkat mencapai 2 juta jiwa dilihat dari angka kebutuhan hidup layak (KHL)[1], dimana penduduk tersebut tidak mungkin menghabiskan waktu luangnya apalagi uangnya, di tempat-tempat perbelanjaan. Masyarakat kota yang berada pada kelas ekonomi menengah kebawah ini tentu saja membutuhkan sarana selain tempat-tempat komersil untuk melepaskan penat dan stress mereka.
Dalam ilmu tata perkotaan, ruang publik merupakan salah satu bentuk spasial, yaitu hal yang berkenaan dengan ruang dan tempat yang dapat dilihat dan dirasakan keberadaannya juga dapat digunakan sebagai falisitas umum atau publik. Untuk jenis ruang publik sendiri, menurut Rustam Hakim (1987)[2] dibagi menjadi 2, yaitu:
1.Ruang publik tertutup, yaitu ruang publik yang berada di dalam suatu bangunan (indoor).
Beberapa bentuk ruang publik tertutup ini antara lain seperti Museum, Gedung Olah Raga (GOR) bahkan Department Store atau Mall juga termasuk kedalam ruang publik.
2.Ruang publik terbuka, yaitu ruang publik yang berada di luar bangunan (outdoor) atau sering juga disebut dengan ruang terbuka (open space).
Bentuk ruang publik terbuka ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi ruang terbuka hijau publik (RTHP/green open space) dan ruang terbuka non hijau (open space). Untuk RTHP/green open space adalah taman, sedangkan untuk open space antara lain seperti lapangan basket, lapangan tenis dan lain sebagainya.