Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" ini ditulis oleh Buya Hamka --Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, Meninjau, Sumatra Barat, Indonesia pada tanggal 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul Karim bin Amrullah (Haji Rasul). Sewaktu kecil (umur 10 tahun), Â ayahnya membangun Thawalib Sumatra di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Di samping belajar ilmu agama pada ayahnya, Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti: Syeh Ibrahim Musa, Syeh Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada tahun 1927 Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang tahun 1929. tahun 1957-1958 Hamka sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhamadiyah Padang Panjang. Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti: sastra, sejarah, sosiologi, dan politik.
Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun "Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah" dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia. Dalam dunia kepenulisan Hamka sudah menulis beberapa buku seperti: Tafsir Al-Azhar (5 jilid) dan novel seperti; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka'bah, Merantau Ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan dan sebagainya. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar (1958), Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (1974) dan pada 24 juli 1981 Hamka meninggal dunia.
Novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata ini merupakan kritik Hamka terhadap tradisi Minangkabau yang saat itu tidak sesuai dengan dasar-dasar islam atau akal budi yang sehat. Bukan tanpa alasan Hamka melakukan kritik tersebut karena beliau hidup pada masa tersebut, sehingga bukan hanya mengabadikan sejarah tetapi juga mejadi pelaku sejarah. Pun ketika selesai menulis novel ini, Hamka banyak mendapat tantangan-tantangan, seperti halnya muncul komentar-komentar negatif bahwa tidak sepantasnya seorang ulama menulis novel kisah percintaan, namun berbeda lagi dengan pola pikir Buya Hamka yang mengkritisi hal tersebut dengan santai bahwa tidak sedikit novel yang berpengaruh positif terhadap pembacanya, seperti novel tahun 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
Menurut saya, tantangan terberatnya adalah ketika Buya Hamka dituduh memplagiat oleh seorang penulis bernama Abdullah SP dengan membuat esai berjudul "Aku Mendakwa Hamka Plagiat" Â yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September 1962. Dalam esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Prancis, Alphonse Karr. Tantangan yang dihadapi lahirnya novel ini terus berlanjut sampai pada akhirnya novel ini berhasil diangkat menjadi film layar lebar, bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Mesir.
Novel yang melegenda dan penuh polemik ini ditulis pada tanggal tahun 1936 dengan berlatar belakang Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Novel ini menggunakan sudut pandang Third-person-omniscient atau sudut pandang orang ketiga mahatahu, yaitu pengarang berada di luar cerita, menjadi seorang pengamat yang mahatahu, bahkan berdialog langsung dengan pembacanya. Di dalam novel tersebut, Buya Hamka menceritakan kisah Hayati dan Zainuddin dari awal sampai akhir tanpa melibatkan dirinya secara langsung. Secara keseluruhan, novel ini
Cerita ini berawal dari kecintaan Zainuddin kepada hayati. Zainuddin, seorang yang berketurunan Minang-Makassar mencintai hayati yang keluarganya tersohor di tanah Minang. Di Batipuh Zainuddin tinggal bersama saudara ayahnya, Made Jamilah karena pada saat itu kedua orang tuanya sudah meninggal. Sehari-hari ia belajar ilmu agama dan adat dari para tetua. Pertemuan pertamanya dengan Hayati adalah ketika dia meminjamkan payung kepada gadis itu yang ternyata menumbuhkan perasaan cinta di antara mereka. Zainuddin bukan sepenuhnya orang Minang karena ayahnya berasal dari Minang sedang ibunya dari Makassar, hal tersebut menjadikannya tidak bersuku dan berbangsa. Hal itu jugalah yang membuat cintanya kepada hayati kandas, tidak direstui, dan dipergunjingkan masyarakat lain.
"Ia diusir, meskipun dengan cara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan tersuci benar negeri Minangkabau ini dari dosa. Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan, dengan maksud baik, maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina." (Hamka. 1938: 63)
Terpaksa, pada akhirnya Zainuddin harus pindah ke Padang Panjang. Sebelum keberangkatannya, Hayati berjanji akan setia menunggu. Namun ternyata, janji itu justru membawa Hayati  menikah dengan orang Minangkabau Asli, Aziz. Lamaran Zainuddin ditolaknya mentah-mentah bersamaan dengan diterimanya lamaran Aziz oleh keluarga Hayati. Semakin menjadi-jadilah duka yang dirasakan Zainuddin. Selama dua bulan lamanya ia jatuh sakit dan tak hentinya meminta Hayati untuk kembali.
"Kau yang sanggup menjadikan saya seseorang yang gagah berani. Kau pula yang sanggup menjadikan saya sengsara selamanya. Kau boleh memutuskan pengharapanku. Kau pun sanggup membunuhku." (Hamka, 1938: 145)
Sampai akhirnya Hayati menjenguk Zainuddin, tetapi hanya untuk menegaskan bahwa ia akan teguh dengan pernikahannya. Luka yang dirasakan Zainuddin pada akhirnya membawanya merantau ke Tanah Jawa untuk melupakan Hayati. Tempat di mana ia menjadi orang besar dan dihargai. Zainuddin berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya dan mendirikan perkumpulan tonil 'Andalas'. Sebuah kepuasan tersendiri bagi Zainuddin ketika Hayati dan suaminya bisa mencium kehidupannya yang terpandang. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dengan lapang dada menerima Hayati dan Aziz untuk tinggal di rumahnya ketika kondisi perekononomian mereka sedang terpuruk akibat Aziz yang sering berjudi dan main perempuan. Â
Sampai suatu waktu, Hayati menerima surat cerai dari Aziz yang ikhlas melepasnya untuk hidup bersama Zainuddin. Â Menyadari bahwa Zainuddin pun masih mencintainya, Hayati berniat untuk memperjuangkan cintanya kembali, menjelaskan bahwa sebenarnya selama ini ia menjalani pernikahan dengan terpaksa dan cintanya kepada Zainuddin tidak berubah sedikit pun. Namun sayangnya, Zainuddin yang pada saat itu sudah mati rasa.
"Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan. Kau minta maaf?" (Hamka, 1938: 195)
"Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walau pun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya."
(Hamka, 1938: 196)
"... Siapakah di antara kita yang kejam Hayati? Siapa yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan tetapi akhirnya terbuang jauh ke Tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya sehingga dia menjadi anak yang tertawa di muka ini tetapi menangis di belakang layar..."
 (Hamka, 1938: 197)
"... Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku. Tetapi janda dari orang lain. Maka itu secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku..." (Hamka, 1938: 198)
Sampai akhirnya, Zainuddin tetap pada keputusannya dan memilih memulangkan Hayati ke Tanah Minangkabau. Adalah Kapal Van der Wijck yang mengantarkan kepulangan Hayati. Kapal yang berakhir karam, sekaligus mengakhiri hidup Hayati bersama cintanya kepada Zainuddin sampai akhir hayat. Setelah kematian Hayati, Zainuddin menjadi orang yang sangat lemah. Zainuddin sakit-sakitan dan pada akhirnya Zainuddin meninggal lantaran penyakit yang dialaminya itu.
Dari alur ceritanya yang tragis dan menyayat hati ini, sebagai mana karya sastra lainnya, novel ini tidak hanya bertemakan percintaan, tetapi juga sosial (mengangkat adat istiadat dan kebudayaan Minang dan terusirnya Zainuddin dari tanah Minangkabau), Moral (Menceritakan perangai Aziz yang suka berjudi dan mempermainkan perempuan dan sikap khadijah, sahabat Hayati, yang suka menghasut serta merendahkan adat istiadat), dan terakhir memiliki tema egoik, yaitu sikap Zainuddin yang menolak untuk menerima Hayati kembali, meskipun Hayati sudah meminta maaf.
Adapun diksi/ pilihan kata yang terdapat dalam novel ini tak kalah penting untuk dikritisi. Mengingat alur cerita yang berlatar di daerah Minangkabau, Padang, sehingga adanya penggunaan bahasa daerah, seperti 'Uda' yang berarti 'Kakak', 'Bako' yang berarti 'Keluarga dari Ayah', 'Dunsanak' yang berarti 'Saudara Perempuan'. Tidak hanya menghadirkan bahasa daerah, dalam novel ini juga terdapat penggunaan bahasa asing, yaitu bahas Inggris, Belanda, dan Arab seperti kutipan di bawah ini:
- "Penumpang-penumpang dalam kapal tersebut terdiri dari gezagvoerder (kapitan)." (Hamka, 1938: 204)
- "Sebelas orang opsir, seorang markonis, seorang hofmeester."
(Hamka, 1938: 204)
- "Kullu man 'alaiha faan, wa yabqa wajhu rabbika zul jalali wal ikram!"
 (Hamka, 1938:102)
Dari diksi berlanjut ke majas atau gaya bahasa. Ada 3 majas yang paling dominan saya temui dalam novel ini, yaitu majas erotesis (pertanyaan retoris), Hiperbola (berlebih-lebihan), dan Asonansi (pengulangan) dan Ketiga kutipan majasnya adalah sebagai berikut:
- "Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia ada berpayung?" (Hamka, 1938: 26)
- "... Tetapi setelah bertemu lidahnya kaku." (Hamka, 1938: 34)
- "Ada dari pintu sayang, ada dari pintu kasih, ada dari pintu rindu, tetapi yang paling aman dan kekal, ialah cinta yang melalui pintu kasihan itu." (Hamka, 1938: 36)
- "Hayati! Terimalah pengaduanku ini, malangku ini. Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan." (Hamka,1938: 140)
Terakhir, apa yang paling saya apresiasi dari novel ini adalah penggunaan bahasanya yang selalu berhasil membuat saya masuk ke dalam cerita. Entah itu merasakan sakitnya Zainuddin, tersiksanya menjadi Hayati, bahkan adanya perasaan tidak mengira bagaimana adat minangkabau yang diceritakan dalam novel ini. Â Salah satunya adalah pernyataan terakhir Hayati ketika meyakinkan Zainuddin bahwa ia benar masih mencintainya.
"Percayalah di dalam jiwaku ada suatu kekayaan besar yang engkau sangat perlu kepadanya dan kekayaan itu belum pernah kuberikan kepada orang lain, walaupun kepada Azis. Kekayaan itu ialah kekayaan cinta." (Hamka, 1938: 208)
Setelah membaca novel ini, saya mendapatkan gambaran bagaimana kondisi adat istiadat di tanah Minangkabau pada saat itu, bagaimana Zainuddin harus terusir dari tanah Minangkabau karena dianggap anak buangan, tak beradat, dan tak bersuku. Zainuddin sendiri sejak kecil diceritakan sudah memiliki kehidupan yang malang karena ditinggal oleh kedua orang tuanya. Betapa mirisnya menurut saya ketika membaca cerita tersebut, sekaligus merasa tersentuh dan terenyuh melihat Zainuddin yang kehidupannya di tanah Minangkabau tidak membaik --tidak sesuai pengharapannya.
Jujur saja, saya merasa sangat sedih dan kecewa begitu mendapati bagaimana akhir dari kisah perjalanan cinta Zainuddin dan Hayati. Namun, dari perasaan tersebut saya tersadar bahwa ini bukan tentang bagaimana suatu kisah cinta antara dua kasih berakhir bahagia, tetapi tentang bagaimana mereka yang merasakan cinta tetap hidup bahkan ketika cinta itu sendiri sudah mati. Berawal dari adanya pertentangan adat di tanah Minangkabau, Kisah cinta Hayati dan Zainuddin ini sudah mulai dilanda konflik demi konflik.
Novel karya Hamka ini mengandung pesan yang sangat bermakna bagi pembaca yaitu bagaimana cara kita bangkit dari keterpurukan, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan. Sebagaimana usaha yang dilakukan Zainuddin ketika mulai menata hidupnya kembali. Membaca novel ini membuat saya merasakan 'patah hati' yang terarah. Merasa sakit hati ketika membayangkan kisah cinta Zainuddin dan Hayati, namun di sisi lain saya menyadari bahwa cinta keduanya pada dasarnya tidak pernah mati. Menurut saya apa yang membuat terpatri adalah kisah cinta Zainuddin dan Hayati yang merupakan kesaksian kekayaan cinta sejati dan hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memercayainya.
REFERENSI
Hamka. 1984. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Jakarta: P.T Bulan Bintang
Sa'diah, Siti. 2014. "Essai Tenggelamnya Kapal Van der Wijck". Diakses pada tanggal 22 Maret 2021. http://dafmen.blogspot.com/2014/06/essai-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck.html?m=1
Komala, Ropi. 2017. "Analisis Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck". Diakses pada tanggal 22 Maret 2021. http://ropi-komala.blogspot.com/2017/09/analisis-novel-tenggelamnya-kapal-van.html