Aku teramat, malah mungkin amat sangat heran dengan bau kentutmu, yang kau kata bermandikan harta duniawi. Padahal apa beda antara harkatmu dan derajatku pada bidang perkentutan.
Tadi pagi aku cuma sarapan nasi uduk dengan lauk semur jengkol kesukaanku, yang kau kata kampungan, sambil kau banggakan roti berlapis keju busuk dengan harga menjulang. Sunguh aneh, tetap saja kentutku lebih merdu berbunyi di antara tebar aroma busuk kentutmu.
Belum habis masalah makanan dan bau kentut yang kau produksi, timbul lagi penyakitmu. Kali ini kau berkotbah pada pidato santunmu tentang kesusilaan. Tentang haramnya perselingkuhan.
Duhai kekasih budiman, aku adalah gundikmu yang semalam kau gumuli dan pagi tadi sempat pula kau nodai dengan gas busukmu, masih berani kau berkicau dengan kata berdosa. Apa tak pernah ada malu yang menyeruak di benakmu? Berani kau berkoar pada jamuan makan itu tentang arti martabat lelakimu sambil kau tepuk pantatku yang membukit bulat dan kau kata songgeng itu.