Beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan toko buku berguguran. Satu persatu menutup gerainya, karena pembeli makin hari makin berkurang, sehingga margin yang didapat tak mampu menutup biaya operasional. Sedih? Tentu. Saya ingat ketika saya masih SD, pernah diajak oleh salah satu teman Bapakku, menginjungi toko buku Gunung Agung di Jl. Diponegoro, barat Tugu Jogja. Rasanya seneng banget, seperti masuk ke dunia lain. Apalagi ketika kawan Bapak itu membebaskanku membeli buku apapun yang saya mau. Dan pilihan saya adalah buku cerita seri Lima Sekawan karangan Enyd Blyton. Lalu setelahnya saya keranjingan membaca semua buku-buku karangan Enyd Blyton. Ketika SMP, karena seri buku Enyd Blyton sangat banyak, saya dan beberapa sahabat suka membeli buku dnegan judul yang berbeda, lalu kami saling bertukar buku, sehingga lebih hemat dan bisa membaca keseluruhan serinya bergantian. Mengenang masa kecil dengan begitu banyak buku yang dibaca memang menimbulkan nostalgia tersendiri. Â Selain buku-buku Enyd Blyton, buku-buku karya sastrawan kitapun banyak saya baca ketika kecil, seperti Robohnya Surau Kami, Tengelamnya Kapal Van der Wick, Siti Nurbaya dan banyak lagi yang lain. Waktu itu, saya suka banget baca buku sambil tiduran di bawah kolong tempat tidur, bersembunyi agar tidak disuruh-suruh oleh ibuku. Mengingat masa kecil dan kedekatanku dengan buku-buku memang membuat sedih, mungkin pengalaman seperti ini tidak akan dialami anak-anak generasi Z yang kemana-mana menenteng laptop dan smartphone.
KEMBALI KE ARTIKEL