Ketika film Soegija masih dalam proses produksi dan gencar dipromosikan, saya penasaran dan tertarik untuk menonton film ini. Sebab Monsinyur Albertus Soegijapranata SJ yang akrab dipanggil sebagai Romo Soegijo ini dikenal sebagai tokoh yang berjuang melawan penjajah tanpa mengangkat senjata. Apalagi hingga saat ini film yang mengisahkan tentang perjuangan tanpa memanggul senjata tergolong langka. Kebanyakan film perjuangan para pahlawan yang diproduksi berkisar pada kisah para tokoh yang berjuang dengan memanggul senjata dan tergolong pada genre war movie. Fenomena ini menciptakan persepsi bahwa kemerdekaan Indonesia semata-mata merupakan hasil perjuangan bersenjata.
Padahal jasa para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan RI di jalur non-militer sangat besar. Tokoh-tokoh seperti Presiden Soekarno, Bung Hatta, Agoes Salim, Sutan Syahrir dan Romo Soegijo memiliki peranan besar pada perjuangan kemerdekaan RI dan mereka berjuang tanpa memanggul senjata. Oleh karena itu saya semula berharap agar film Soegija yang disutradarai oleh Garin Nugroho ini bisa memberikan kontribusi dalam upaya pelurusan sejarah Indonesia terkait dengan peranan perjuangan tanpa kekerasan dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Soegija yang dalam produksinya menghabiskan dana milyaran rupiah ini mengisahkan kiprah Romo Soegijo dalam kurun waktu 1940-1950. Pada kurun waktu itu, berbagai peristiwa dalam sejarah Indonesia terjadi. Diawali dengan visualisasi momentum menjelang pentahbisan beliau sebagai uskup pribumi pertama di Hindia Belanda, film ini sebenarnya mengundang decak kagum melalui penggambaran yang cantik dan eksotis tentang suasana kehidupan pada awal tahun 1940 an. Visualisasi melalui warna-warna bersaturasi rendah menciptakan nuansa tempo doeloe yang kental pada film ini. Adegan Romo Soegijo yang mengendarai sepeda sungguh membangkitkan rasa penasaran terhadap bagaimana visualisasi kehidupan beliau akan mengalir dalam film ini selanjutnya.
Namun entah apa yang ada dalam pikiran Garin Nugroho ketika membuat film ini. Pada menit-menit selanjutnya, film ini justru terkesan meminggirkan Romo Soegijo. Kemunculan tokoh-tokoh fiktif dalam film ini malah justru membuat kehidupan dan kiprah Romo Soegijo seolah menjadi sekedar latar belakang kisah kehidupan para tokoh-tokoh itu.
Ada Mariyem, seorang lulusan sekolah perawat yang hidup dengan kakak laki-lakinya yang memiliki idealisme tinggi. Namun mereka berpisah ketika Jepang menjajah Indonesia. Selain itu ada juga Ling Ling yang sempat berpisah dengan ibu kandungnya pada masa penjajahan Jepang. Film ini juga menampilkan sosok tentara Jepang bernama Nobuyuki yang menjelang kedatangan Jepang bertugas sebagai intelijen. Nobuyuki merupakan pelanggan restoran keluarga Ling Ling dan senantiasa tampil rapi bak saudagar Jepang. Namun ketika Jepang masuk ke Indonesia, Nobuyuki berganti kostum. Bukan pakaian rapi ala saudagar lagi yang dia kenakan melainkan seragam perwira Tentara Kekaisaran Jepang.
Selain itu, terdapat juga sosok tentara Belanda bernama Robert. Entah dari kesatuan apa tentara Belanda ini berasal. Robert mempunyai teman seorang fotografer bernama Hendrick yang juga tidak jelas bekerja untuk siapa atau media mana. Tokoh lain yang menarik perhatian dalam film ini adalah Banteng, sosok pemuda buta huruf yang akhirnya ikut berjuang.
Interaksi antara para tokoh tersebut menjadi motor penggerak cerita Soegija. Hendrick akhirnya jatuh cinta pada Mariyem. Ling Ling yang berpisah dengan ibunya, hidup dengan kakeknya sambil tetap menunggu kedatangan sang ibu. Banteng yang pernah dikasari oleh Robert dalam suatu razia, akhirnya bergabung dengan para pejuang. Di akhir cerita, film ini menampilkan klimaks yang klise dalam kelanjutan interaksi antara Banteng dan Robert.
Film ini cukup berhasil menceritakan kegiatan Romo Soegijo sebagai pemimpin umat katolik yang tentu sudah diketahui oleh banyak orang. Visualisasi kegiatan Romo Soegijo sebagai pemimpin umatnya cukup memberi gambaran tentang kehidupan umat katolik pada masa itu. Tetapi pada sisi lain, kepahlawanan Romo Soegijo belum cukup divisualisasikan dalam film ini. Jika adegan membentak Nobuyuki yang akan menduduki gereja dipandang sebagai visualisasi kepahlawanan Sang Romo, film ini rasanya belum berhasil menampilkan visualisasi perjuangan Romo Soegijo. Kepahlawanan merupakan suatu aktivitas yang lebih dari sekedar membentak tentara penjajah. Sebagai seorang tokoh, saya yakin Romo Soegijo telah melakukan suatu tindakan yang lebih besar dari itu. Dengan memvisualisasikan adegan Romo Soegijo membentak tentara, perjuangan beliau seolah disamakan dengan perjuangan Mariyem yang juga berani membentak tentara Belanda yang akan menggeledah rumah sakit darurat untuk mencari para pejuang.
Jika sebagai awam saya boleh menilai, Garin Nugroho seolah memiliki terlalu banyak  ide dalam membuat film ini. Namun akhirnya Garin gagal melakukan pengembangan narasi yang maksimal terhadap heroisme Romo Soegijo. Tanpa terlalu menonjolkan Mariyem, Banteng, Ling Ling, Robert dan Hendrick, film ini barangkali bisa menjadi lebih menarik. Satu pertanyaan yang ada di benak saya adalah apakah Garin terlalu ragu untuk lebih maksimal dalam menonjolkan kiprah Romo Soegijo sebagai pemimpin Umat Katolik karena alasan-alasan tertentu?
Padahal merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa status sebagai seorang uskup turut memudahkan Romo Soegijo dalam berkiprah di masa-masa sulit 1940-1950. Dalam kurun waktu itu tentu terjadi beragam peristiwa menarik yang melibatkan beliau. Jika saja peristiwa-peristiwa itu divisualisasikan tanpa harus menonjolkan Mariyem, Robert, Hendrick, Banteng dan Ling Ling, mungkin film ini akan lebih bisa memberi gambaran sempurna tentang perjuangan tanpa senjata yang dilakukan oleh Romo Soegijo. Dengan demikian film ini bisa lebih memberikan kontribusi terhadap pembelajaran sejarah Indonesia terutama tentang peranan perjuangan tanpa memanggul senjata dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam film ini adalah masalah kesesuaian dengan sejarah. Ketika suatu film mengambil setting peristiwa yang terjadi dalam sejarah, kesesuaian dengan fakta sejarah mesti diperhatikan. Sungguh janggal melihat Robert yang tentara masih terus bermain tennis ketika Jepang datang menyerbu. Pada waktu genting menjelang kedatangan tentara Jepang, tidak ada tentara Belanda yang meninggalkan tugas untuk bermain tennis kecuali tentara desersi. Aneh juga melihat Robert dan Hendrick tetap segar bugar setelah diinternir tentara Jepang. Padahal siapapun yang sempat ditahan oleh tentara Jepang dalam kamp internir pasti keluar dengan tubuh kurus bagaikan orang kurang gizi. Selain itu, alasan penangkapan ibu Ling Ling oleh tentara Jepang juga tidak jelas. Apakah ibunya akan dijadikan Jugun Ianfu atau untuk kepentingan lain? Perlukah Jepang menahan ibu Ling Ling jika keluarganya dikenal dekat dengan Nobuyuki?
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menggurui Garin Nugroho ataupun mengajari para praktisi sinematografi yang pengetahuannya lebih mumpuni dari saya sebagai awam. Ini hanya sekedar ungkapan ketidakpuasan seorang penggemar film sejarah. Jika melihat reputasinya selama ini, mestinya Garin Nugroho bisa berkarya lebih bagus dari itu.