Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Razia Ponsel Pelajar Versus Sosialisasi "Berinternet Secara Sehat"

14 Juni 2010   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 227 0

Maraknya isu video porno mirip artis belakangan ini benar-benar meresahkan banyak pihak. Pada sisi lain, isu video tersebut ditengarai juga menimbulkan rasa penasaran pada beragam kalangan terutama para pelajar mengingat isi video tersebut diisukan melibatkan para artis yang menjadi idola mereka. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan orang tua dan para guru di sekolah-sekolah. Para pelajar diduga mengunduh film tersbut dari internet dan menyimpan ke dalam telepon seluler. Akibatnya, para guru di berbagai sekolah memutuskan untuk melakukan razia telepon seluler para siswa.

Ditinjau dari perspektif norma-norma yang berlaku secara umum, telepon seluler sebenarnya merupakan barang milik pribadi yang tidak patut dilihat oleh orang lain yang bukan pemiliknya. Umumnya siapapun tentu akan merasa tidak nyaman jika telepon selulernya diobok-obok oleh orang lain karena biasanya telepon seluler berisi hal-hal yang bersifat pribadi, misalnya nomor telepon keluarga dekat atau data penting lain yang tidak patut diketahui orang yang tidak berhak.

Lazimnya pemeriksaan terhadap barang milik pribadi dilakukan oleh penegak hukum jika ditengarai barang tersebut terkait dengan suatu tindak kejahatan. Inipun tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan serampangan karena aparat penegak hukum pun bisa dituntut melalui prosedur pra peradilan jika salah dalam bertindak. Oleh karena itu jika para guru melakukan razia telepon seluler para pelajar, kebijakan para guru tersebut seolah mencurigai para siswa sebagai pelaku kejahatan. Dalam hal ini para pelajar tersebut dicurigai menyimpan copy video porno. Padahal, belum tentu semua pelajar menyimpan file film kurang bermanfaat yang biasanya memakan cukup banyak ruang kartu memori. Tapi entahlah jika para guru tersebut beranggapan bahwa isi kepala para siswanya sudah terkontaminasi virus pornografi. Namun, ini tentu merupakan suatu anggapan yang terlalu berlebihan.

******

Konvensi Hak Anak 1989 menguraikan secara gamblang hak-hak anak-anak untuk dilindungi dari penyiksaan dan kekerasan. Konvensi tersebut juga mengatur definisi anak-anak dengan jelas, yakni setiap manusia di bawah usia 18 tahun. Sedangkan kategori rentang waktu usia hingga 18 tahun lazimnya mencakup para pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Pada sisi lain, razia terhadap telepon seluler para pelajar dinilai oleh Arist Merdeka Sirait dapat menyebabkan para pelajar menjadi trauma dan terganggu kenyamanannya dalam belajar (Kompas.Com, dipublikasikan Sabtu, 12 Juni 2010, jam 20.03 WIB). Implikasinya adalah razia telepon seluler pelajar telah melanggar hak-hak anak-anak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan. Ketika razia telah menyebabkan trauma dan menimbulkan rasa tidak nyaman, berarti razia telah berubah menjadi suatu bentuk tindakan penyiksaan psikhis dan atau kekerasan psikhis.

Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan semacam itu, mestinya perlu diambil suatu kebijakan lain untuk mencegah timbulnya dampak negatif dari penyebaran film-film porno yang diunduh dari internet. Kebijakan tersebut haruslah suatu kebijakan yang dapat menanggulangi permasalahan sejak dari akarnya dan bukan suatu kebijakan razia telepon seluler yang seolah memadamkan api tanpa menemukan titik apinya ataupun menghilangkan gunung es di laut tanpa menemukan dasarnya. Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah menggalakkan sosialisasi berinternet secara sehat. Sosialisasi semacam ini lebih tepat dilakukan oleh para guru sesuai dengan peran mereka sebagai pendidik. Lagipula kebijakan ini tentu lebih baik dibanding kebijakan untuk merazia telepon seluler para pelajar yang justru cenderung merubah peran guru dari pendidik sebagai penghukum (punisher).

Hingga saat ini, sosialisasi "berinternet secara sehat" memang belum terdengar gaungnya. Padahal sosialisasi tersebut merupakan satu jawaban efektif untuk melawan penyebaran film porno melalui internet yang ditengarai marak belakangan ini. Sosialisasi tersebut misalnya bisa dilakukan oleh para guru ketika mengajar di dalam kelas. Sebagai ilustrasi, guru sejarah bisa mengajak para siswa untuk belajar sejarah dengan mengunduh film-film pendidikan sejarah dari National Geographic Channel, Discovery Channel maupun History Channel yang dipublikasikan melalui youtube.com. Para guru fisika dan biologi juga dapat menganjurkan siswanya untuk belajar melalui film-film yang diproduksi channel BBC Knowledge dan dipublikasikan di internet. Ini bukan berarti penulis bermaksud mempromosikan kanal-kanal tersebut melainkan hanya mengetengahkan sebagai contoh. Lagi pula film-film pendidikan sejenis itu bisa menjadi media pelatihan listening in English bagi para pelajar. Akan lebih baik jika para guru tersebut menjadikan film-film semacam itu sebagai bahan pembuatan essay tugas sekolah maupun bahan diskusi di dalam kelas.

Di sela-sela pelajaran dalam kelas, para guru juga bisa menanamkan suatu nilai bahwa mengakses situs porno maupun mengunduh film porno melalui internet adalah suatu perbuatan sia-sia yang membuang-buang waktu, biaya serta memakan ruang dalam kartu memory maupun hard disk computer para siswa.

Sosialisasi semacam itu akan lebih efektif jika pemerintah melalui instansi-instansi terkait juga memberikan dukungan atau bahkan memasukkannya sebagai suatu bagian dari rencana strategis (Renstra) pembangunan masyarakat Indonesia yang berbasis pada teknologi informatika. Oleh karena itu, mulai sekarang tak ada salahnya jika pemerintah mulai menggalakkan juga kampanye "berinternet secara sehat" lewat berbagai media cetak dan elektronik. Kampanye semacam ini barangkali memakan biaya yang tidak sedikit, namun hasil yang bisa dirasakan bagi bangsa dan negara tentu tidak kecil.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun