Satu kenangan yang masih terpatri lumayan jelas dalam ingatan saya adalah masa menonton film bersama kawan-kawan satu sekolah ketika masih bersekolah di suatu sekolah dasar di Malang. Film yang kami tonton waktu itu adalah film “Pahlawan Gua Selarong” yang mengisahkan perjuangan Pangeran Diponegoro. Sang Pangeran diperankan oleh aktor ternama pada waktu itu, yakni Ratno Timoer. Kami menontonnya di Gedung Bioskop “Mulia” yang berlokasi di depan kelenteng Eng An Kiong, Malang yang sudah diruntuhkan setelah mengalami kebakaran. Saya tak berpikir apa alasan guru saya mengajak murid-muridnya untuk menonton film itu. Di kemudian hari baru saya bisa memahami bahwa guru saya ingin menjadikan film itu sebagai media untuk belajar sejarah tentang perjuangan sang pahlawan yang pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Antawirya itu.
Mempelajari sejarah lewat film memang mengasyikkan daripada sekedar membacanya melalui buku. Karakter film sebagai media audio visual membuat pembelajaran terasa lebih menarik. Film bertemakan sejarah juga secara langsung membawa kita untuk membaca suatu interpretasi sejarah berikut fakta-fakta sosial yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, menikmati suatu film bertemakan sejarah serasa membaca suatu analisa peristiwa sejarah yang komprehensif daripada sekedar menghafal nama-nama tokoh sejarah serta peristiwa-peristiwa penting yang melatarbelakanginya. Hal ini dapat mempermudah pemahaman sejarah serta membuatnya tidak membosankan. Tentu saja penggunaan film sebagai media pembelajaran sejarah mesti didasari oleh suatu riset mengenai peristiwa sejarah atau tokoh yang akan difilmkan berikut riset-riset lain misalnya tentang arsitektur dan tata kota suatu lokasi yang akan menjadi suatu setting film sejarah. Bahkan film-film fiksi berlatarbelakang sejarah seperti Saving Private Ryan dan Platoon melibatkan penasehat militer profesional, yakni Kapten Marinir Purnawirawan (USMC) Dale Dye. Saya tak mengerti apakah film-film perang Indonesia yang dibuat juga melibatkan penasehat profesional seperti itu?
Berbicara mengenai film-film Indonesia yang bertemakan sejarah, pada tahun 1980 an hingga 1990 an Indonesia dapat dikatakan cukup kaya akan film-film seperti itu. Taruhlah film kereta Api Terakhir besutan Sutradara Mohtar Soemodimedjo yang bisa dikatakan belum ada tandingannya terutama berkait dengan penggunaaan fasilitas Kereta Api sebagai suatu setting film perang. Film Kereta Api Terakhir juga nampak memperhitungkan aspek sosiologis seperti bisa dilihat dalam satu potongan adegan dialog berbahasa Jawa antara Jenderal Gatot Subroto dan Sersan Tobing. Film bertemakan sejarah lainnya yang patut diacungi jempol tentu saja adalah Tjoet Njak Dhien yang disutradarai oleh Eros Djarot. Sejak film ini dibuat, sampai sekarang sudah jarang diproduksi film kolosal bertemakan sejarah. Jangankan film kolosal bertemakan sejarah yang menceritakan suatu kisah nyata, film fiksi dengan latar belakang sejarah saja jarang dibuat.
Jadi jangan disalahkan jika generasi muda Indonesia menjadi lebih memahami sejarah negara-negara lain berikut tokoh-tokohnya karena banyak menonton film-film impor. Seperti sejarah Perang Dunia II melalui film-film seperti Saving Private Ryan, Valkyrie atau bahkan mini seri Band of Brothers. Di sisi lain tak banyak generasi muda kita paham sejarah perjuangan negara kita sendiri. Jika generasi muda lebih memahami tokoh-tokoh seperti Eisenhower, Stauffenberg, Mac Arthur maupun Mayor Richard Winters bukan merupakan suatu fakta yang mengherankan. Saya kadang merenung seberapa banyak pemuda memahami siapa Herukeser yang mengawal Pak Dirman dengan setia maupun Lukas Kustaryo yang ditakuti oleh Westerling? Banyak pemuda yang mungkin lupa bahwa H. Agus Salim adalah tokoh perjuangan yang handal dalam berdiplomasi dan menguasai berbagai bahasa secara otodidak. Kiprah Agus Salim yang sangat penting dalam Kemerdekaan RI terasa kurang populer di kalangan anak-anak muda. Tekadnya untuk mempelajari bahasa asing secara otodidak mestinya bisa diteladani. Bahkan saya heran ketika suatu hari ada yang bertanya kepada saya tentang siapa Shodancho Supriyadi. Mumpung sekarang masih banyak narasumber/ pelaku sejarah yang masih hidup, mereka bisa jadi rujukan suatu skenario film sejarah. Keberadaan Shodancho Supriyadi mungkin tetap akan menjadi misteri, namun orang-orang yang pernah menjadi saksi kiprah Sang Shodancho masih bisa ditemukan di Blitar.
Tulisan ini hanyalah sekedar ungkapan hati saya sebagai penikmat film yang ingin melihat film Indonesia maju. Saya bermimpi semoga suatu hari sineas Indonesia memproduksi suatu film fiksi sejarah yang bisa disandingkan dengan Saving Private Ryan maupun film bertemakan tokoh nyata dalam sejarah yang bisa disejajarkan dengan film tentang Gandhi (dibintangi Ben Kingsley). Apalagi saat ini belum ada film tentang tokoh Proklamator kita: Soekarno-Hatta. Dua tokoh ini adalah tokoh penting dalam sejarah dunia. Kapan dibuat filmnya? Bravo film Indonesia!