tak terpikir untuk apa aku menulis
untuk siapa aku rangkaikan
ahh, aku sedang galau
aku memasuki fase dimana aku berfikir aku tidak bisa berdiri
bahkan aku akui aku tidak bisa mengingat namaku sendiri
hingga siluetmu (orang yang kucinta) memedar pudar di balik mentari
tolonglah, aku tidak mau terbiasa hidup tanpa ada dirimu
bukan karena aku ingin diiba
tapi sungguh, aku bagai seonggok kelopak bunga kering tanpa kamu yang menopangnya
aku tidak ingin tergantung pada siapa pun
tapi jauh di dasar hatiku, aku tidak mau munafik pada dunia
dengan bangga aku teriakkan
SUNGGUH AKU MEMANG BUTUH KAMU
dan, lengkung indah yang terbentuk dari senyum di bibirmu,
ketika kamu nyatakan sayang
seakan ingin ku kecup tak kulepas
dan...
saat itu pula ku genggam jemari lentikmu
aku tak akan melepaskanmu
sekali lagi, bukan untuk mengiba atau fanatik,
karena saat kutatap bola mata tulusmu,
tak sedikit pun ragu terbaca oleh mataku
apa aku buta?
apa aku telah termakan pesonamu?
entahlah, aku nikmati itu
menikmati rasa dimana aku SEAKAN bisa hidup dalam impian masa depanku yang indah,
ya, indah bersamamu, denganmu di sisiku
ketika aku menulis puisi
air hangat sedikit asin mengalir dari mataku
seakan semua memori bergantian terpresentasi dalam layar di depanku
ada aku, kamu, dia, mereka
sungguh, aku TIDAK BOHONG, AKU MENANGIS
bayang-bayang tentang kehilanganmu pun tak pernah terlintas
mungkin karena aku terlalu takut kehilangan
hingga aku enggan berpikir cara lain untuk hidup,
ketika aku kehilangan
AKU TIDAK MAU
rasanya saat ini (ini jujur, bukan hanya puisi)
aku berlari dari jarak 20 km ke tempatmu
bukan untuk memohon
tapi untuk memastikan, kamu masih milikku, sayang
ketika aku menulis puisi
setiap detail detik-detikku bersamamu terangkum jelas
Tuhan, aku sayang dia
kuteteskan air mata lagi
kali ini tanpa bahu seorang teman
aku menangis ketika menulis puisi