Stage 7
Genap pada bulan ke delapan Aza berada di New York ia merasakan sebuah kebebasan yang hakiki. Ia kembali menghirup dunia yang indah di matanya. Pernikahannya terjadi sebulan setelah Kevin membayar sejumlah ribuan dollar untuk membebaskan Aza.
Rumah mewah di New Palm Road di kawasan elit New York menjadi saksi bagaimana Aza adalah seorang istri yang baik dan sangat mempengaruhi kehidupan Kevin. Sejak menikah dengan Aza ia selalu berada di rumah, menikmati waktu bersama dengan wanita yang di cintainya.
Aza tidak menyia-nyiakan kebebasannya dengan membantu Stella. Kekayaan suaminya sangat berlimpah, sehingga dengan mudah ia mampu membujuk Kevin untuk membantu membebaskan Stella. Namun saat Aza mendatangi apartement Stella, gadis itu berada di kamar…. Meregang nyawa…
Aza segera membawa Stella yang mengalami overdosis ke rumah sakit setempat. Beberapa jam setelah perawatan Stella sempat tersadar dan tenang. Ia menggenggam tangan Aza yang mengatakan akan membebaskannya dan mengirimnya pulang kembali ke Indonesia. Stella tersenyum dan berbisik mengucapkan terima kasih sebelum sesaat kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Aza tak mampu berkata-kata ketika jasad Stella dikuburkan. Tekadnya sudah bulat untuk segera bertindak cepat menyelamatkan sesama wanita tidak hanya di Indonesia tetapi di dunia dari jerat prostitusi. Wanita muda itu meneteskan airmata saat meninggalkan makam sahabatnya. Damailah kamu bersamaNYA Stella sahabatku……
Aza kembali di kehidupan normalnya bersama Kevin. Keadaan Kevin semakin membaik bahkan Aza siap memberinya seorang anak saat pernikahan mereka memasuki tahun kedua. Seorang bayi laki-laki mungil lahir di musim semi tahun berikutnya. Kevin benar-benar mendapatkan kebahagian dengan kehadiran Kevin Montana Jr. Anak itu tidak hanya membawa kebahagiaan, namun juga membawa keberuntungan. Bisnis di bidang pertambangan miliknya memasuki fase keemasan.
Aza sangat mengerti dengan kesibukan Kevin sehingga saat ia ingin menjenguk kampung halamannya di Bali ia merasa baik-baik saja jika Kevin tidak bisa menemani. Kevin menyadari waktunya sangat sempit untuk keluarganya, tetapi ia sudah berjanji kepada Aza untuk selalu menyayangi dan menjaganya sehingga ketika Kevin menyatakan akan ikut ke Indonesia, Aza menjerit girang dan memeluk pria yang berbeda usia denganya 25 tahun itu.
Perjalanan ke Indonesia kali ini tidaklah seburuk saat ia berangkat ke Amerika beberapa tahun yang lalu. Dengan pesawat jet pribadi mereka menikmati perjalanan selama 22 jam bak berada di hotel terbang bintang lima. Junior yang berusia 2 tahun sangat menikmati perjalanan ini. Ia berlari kesana-kemari mengikuti bolanya menggelinding di dalam kabin.
-------
Bandara Ngurah Rai telah berubah sejak ia tinggalkan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Beberapa jalanpun sudah berubah. Denpasar terlihat lebih bersih dan representative. Namun budaya dan tradisi mereka tidak pernah berubah. Wanita Bali masih berjalan dengan sesajen di kepala mereka dan bunga kamboja di rambutnya menuju kuil untuk pemujaan. Beberapa laki-laki Bali walaupun mengenakan t-sirt dan jeans tetapi tetap memakai ikat kepala khas Bali.
Hari pertama berada di Bali, Kevin memutuskan membeli sebuah Villa di dekat pantai. Tentu saja Aza sangat senang. Mereka sudah menempati villa tersebut dua hari kemudian. Kevin dengan setia menemani Aza yang sangat berduka saat mengetahui kakeknya telah meninggal dunia… rumah tempat tinggalnya dulu telahhilang berubah menjadi café dan restaurant, bahkan ia sudah tidak bisa menemukan jejak Made Harya sahabatnya. Hanya dari seorang teman ia mengetahui bahwa Made Harya dan keluarganya telah pindah Ke Amerika.
Hanya beberapa hari saja Kevin memutuskan kembali ke Amerika karena ia harus kembali bekerja, sementara ia membebaskan Aza tetap berada di Bali sampai ia bisa menjemputnya kembali.
“Aku akan menjemputmu kembali setelah pekerjaanku selesai, honey..kamu tidak apa-apa khan sendirian di sini?” Kevin memeluk Aza malam itu.
“Baiklah, saya mungkin akan berada di Bali dua minggu lagi..”
“Ok, tunggu saja sampai saya menjemputmu dan Junior, dua minggu lagi. Saya akan berada di Australia dalam dua minggu ke depan, so.. saya pasti berada di Bali setelah urusan di Sydney selesai…”
“Hmm… I love you…” Aza menyembunyikan kepalanya di dada Kevin.
Setelah kepulangan Kevin ke New York, Aza segera meneruskan rencananya. Sebuah rencana yang akan merubah masa depannya. Ia telah memikirkan hal ini jauh hari sebelum tiba di Bali.Aza adalah seorang wanita yang cerdas. Setelah menghadapi berbagai ujian kehidupan sejak berusia 14 tahun, ia sangat tahu apa yang akan di hadapinya.
Sore itu pantai Kuta menyajikan pemandangan yang indah. Lama sekali ia memandang mentari yang perlahan tenggelam. Meskipun suasana di pantai Kuta selalu ramai oleh turis baik manca Negara maupun domestik, Aza telah hafal bagian pantai yang agak sepi. Udara sore itu cukup hangat sehingga meskipun hanya mengenakan blouse tanpa lengan wanita cantik berusia 25 tahun itu tidak merasa kedinginan oleh hembusan angin hangat di tubuhnya.
Aza duduk di sebuah batu menikmati sunset terindah yang pernah ia dapatkan di seluruh dunia. Bali memang tanah kelahirannya. Galuh Azalea kecil dulu sangat mencintai laut sehingga kemanapun ia berada tidak akan pernah melupakannya.
“Kamu tidak berubah, Za….” Sebuah suara yang sepertinya sangat akrab di telinganya menyadarkan lamunan tentang masa silam. Kepalanya mencari-cari sumber suara itu.Tak jauh dari batu tempatnya duduk Aza melihat seorang pria mengenakan sarung bali dan ikat kepala. Dalam temaram agak sulit mengenali raut wajahnya, namun Aza tak perlu menunggu lama untuk mengetahui siapakah dia.
“Beli Haryaaaaa…….” Sepontan Aza berdiri dan memeluk pria di hadapanya. Mereka berpelukan beberapa lama melepas kerinduan yang telah sekian lama terpendam.
Hari mulai gelap… namun suasana di pantai Kuta masih ramai. Para pedagang souvenir dan makanan masih berlalu lalang menjajakan dagangannya. Di salah satu sudut pantai ada sebuah warung kecil yang menyediakan minuman hangat. Harya menggandeng Aza duduk di salah satu tikar pandan yang di gelar di depannya. Secangkir kopi mix menemani pertemuan mereka senja itu.
“Apa khabarmu Za?”Harya merasa tetangga, sahabat sekaligus wanita yang di cintai secara diam-diam itu semakin cantik dan dewasa.
“Aku baik-baik, beli…. Kamu apa khabarnya?”
“Aku juga baik… dan sama sekali tidak menyangka bertemu kamu di sini…”
“Iya… tapi dulu kamu pernah bilang kalau akan pindah ke Boston.. kok sekarang ada di Bali?” Harya mengangguk dan tersenyum.
“Oh ya… aku sudah menyelesaikan sekolah dan saat ini sebenarnya masih tinggal di Boston.. aku hanya berlibur mengantarkan ibuku yang ingin bertemu saudara-saudaranya di Indonesia. Kamu sendiri mengapa ada di Kuta?”
“Sama…. Aku juga berlibur ingin menemui saudara-saudara… sayangkakek ternyata sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, dan saudara-saudara ayah dan ibu entah kemana… aku belum menemukan mereka..” mata Aza memandang jauh ke tengah lautan.
“Kamu tinggal dimana, sekarang?”
“New York… aku sudah delapan tahun di sana…”
“Ya Tuhan… padahal kita dekat sekali… “
Malam itu mereka saling bercerita kehidupan masing-masing. Aza memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Harya. Dan Pria berusia 27 tahun itu hanya mampu menangis mendengar rentetan cerita yang keluar dari mulut Aza. Harya merasa sangat tidak berguna sementara Aza satu-satunya wanita yang di sayanginya menderita selama bertahun-tahun.
Made Harya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia merasa sangat bodoh selama ini tidak berusaha mencari Aza. Seandainya waktu bisa di putar kembali, ia pasti akan menyelamatkan hidup Aza sehingga gadis yang sangat di cintainya itu tidak perlu menjalani kehidupan keras dan menyedihkan sebagai wanita penghibur.
Aza memang merasakan tatapan Made Harya kepadanya masih sama dengan saat ia berusia 13 tahun namun ia menangkap ada yang berbeda. Mungkin karena dahulu ia masih terlalu belia sehingga ia tidak memahami arti tatapan Made harya.
“Seandainya waktu bisa di putar kembali…..” Harya berdiri memandang laut yang mulai diramaikan oleh deburan ombak malam.
“Apa maksud beli?...” Aza ikut berdiri di sebelahnya. Malam itu mereka kembali bertemu sebelum keesokan harinya Made Harya harus kembali ke Amerika.
“Ya… seandainya aku tahu apa yang akan menimpamu…pasti tidak akan aku biarkan kamu melalui semua kepahitan hidup, Za….” Harya memegang pundak Aza…menatap mata Aza meski dalam kegelapan malam, namun Harya masih menangkap sinar mata lelah berbaur dengan harapan yang bersinar di sana.
“Semua sudah terjadi, beli… tidak perlu di sesali…. Aku ikhlas kok menjalaninya…..” Aza seperti bergumam pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ia merasakan debar kehilangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya terhadap Made Harya.
“Aza…. Mungkinkah kita dipertemukan kembali suatu hari?” kali ini Harya menggenggam tangan Aza erat dan meletakkan di dadanya.
Aza tidak menjawab… ia tengah sibuk menata hatinya… entah mengapa malam ini tatapan mata Made Harya membuat hatinya seperti remuk redam… dan malam itu sepertinya malam terakhir mereka saling menatap. Beberapa hari setelah pertemuan itu Harya benar-benar kembali ke Boston. Sementara Aza masih menunggu beberapa minggu sampai Kevin menjemputnya.
*******
Pagi itu di ruang tamu villa mewah milik Aza duduk seorang wanita dan seorang pria berusia kira-kira 30 tahun.
“Bagaimana… apakah ada lagi yang kalian butuhkan? Saya masih berada di Bali sampai akhir bulan ini, jika urusan ini bisa beres dalam beberapa hari, itu artinya kita bisa memulai misi ini secepatnya. Soal biaya… jangan khawatir… saya akan tanggung semua.
“Baik, bu…. Kami akan bekerja keras untuk keberhasilan proyek ini. Semoga kedepan pendirian balai latihan untuk masyarakat tidak mampu ini bermanfaat.” Wanita itu tersenyum.
Dewita adalah seorang lulusan Pasca Sarjana teknik industry yang saat ini masih aktif mengajar di Universitas Udayana. Ia memang sangat aktif di bidang sosial sehingga Aza tertarik bekerja sama dengannya untuk mendirikan Balai Latihan Kerja indepanden yang tujuannya untuk menampung para warga miskin yang tidak memiliki ketrampilan apa-apa sehingga kesulitan mencari pekerjaan. Sementara di sebelahnya Dude Hans adalah seorang pengacara handal yang akan membantu Dewita menangani urusan legal sehingga yayasan yang akan mereka dirikan memiliki dasar hukum yang kuat.
Setelah mereka berpamitan, Aza segera masuk kamar. Ia meraih Handphone dan menekan nomor lalu menunggu sejenak……
“Halo…. Bagaimana… anda siap melakukan tugas ini dalam tempo satu minggu?... kalau bersedia segeralah berangkat…saya akan mengirimkan pembayaran via internet banking segera”
Beberapa saat Aza berbicara di telephone dengan penuh semangat. setelah ia menutup percakapan, wanita itu tersenyum lalu terdiam….. ya Tuhan… mudah-mudahhan semua berjalan sesuai rencana… Beberapa menit kemudian Aza terlihat sibuk berbicaradi telepon….
“Yes, honey…. Sudah beres semuanya… sebuah gedung yang luas sudah saya beli dan saat ini pihak management sedang mengatur pelaksanaannya… kapan kamu akan kemari? Saya akan sangat senang jika saat peresmiaannya nanti kamu juga hadir..” Aza sedang berbicara dengan Kevin via telepon malam itu.
“Don’t worry, dear…. Saya akan berada di Indonesia dalam beberapa hari… take care of you and Junior, Okay”