Mel membiarkan secangkir kopi dimejanya menjadi dingin. Ia sama sekali belum menyentuh cairan hitam itu sejak 30 menit yang lalu. Nova yang duduk di meja sebelah memutuskan untuk menyapa rekan kerjanya.
“Tenanglah, sayang…semua akan baik-baik saja” Mel masih belum bergerak.
“Thanks dear…” Mel berfikir memang sebaiknya ia tidak berprasangka buruk terhadap Mozart…tetapi mengapa sudah seminggu ia tidak menghubunginya? Mel berterima kasih kepada Nova karena selama seminggu ini ia telah berusaha membuatnya tidak benar-benar terpuruk. Mereka mengunjungi beberapa pameran dan ‘hot sale’ di sebuah Mall terbesar. Melody sedikit terhibur dengan semua itu, namun saat ia sendiri kembali fikirannya tertuju kepada Mozart yang menurutnya sangat tertekan, namun sayangnya Mozart ingin menyelesaikan sendiri masalahnya.
Mel kembali terdiam di dalam kamarnya. Tangannya menggenggam selular, hatinya diliputi kebimbangan antara ingin menelpon kekasihnya dengan tidak ingin memperkeruh suasana.
Malam itu di ruangan Dr. Alvin, Mozart terlihat serius mendengarkan pria separuh baya itu berbicara. Ruangan Dr. Alvin yang merupakan ruangan praktek itu benar-benar nyaman. Dingin udara ber-AC membuat Mozart sedikit merapatkan jaketnya. Di ruangan yang cukup luas itu terdapat sebuah meja besar lengkap dengan seperangkat komputer. Sementara di sebelah barat terdapat ruang periksa yang dibatasi dengan tirai plastik berwarna hijau senada dengan nuansa ruangan ini. Di depannya terdapat sebuah meja dengan beberapa alat medik untuk pemeriksaan. Dr. Alvin memang seorang neurologis sejati. Kepandaiannya mengobati berbagai penyakit syaraf tidak hanya dilakukan dengan pengobatan medis namun ia juga melengkapinya dengan terapi non medis seperti totok jarum dan akupuntur yang telah dipelajarinya di China beberapa waktu yang lalu.
“Baiklah, hasil rontgen dan foto MRI (Magnetic Resonance Imaging) ada beberapa syaraf di tulang belakang yang sepertinya memang tidak normal. Kemungkinan ada syaraf yang terjepit sehingga menyebabkan kelumpuhan ini semakin bertahan lama. Kalau masalah retak pada tulang sepertinya sudah sembuh” Dr. Alvin sesekali menarik nafas.
“Lalu bagaimana, om….” Mozart seperti tidak sabar.
“Saya sarankan dua alternative, yang pertama tindakan operasi atau pengobatan dibarengi dengan fisioterapi”
“Menurut om mana yang lebih baik?”
“Tergantung kondisi, jika pasien dalam kondisi baik, dalam arti tidak ada keluhan penyakit lain, saya rasa operasi akan menyembuhkan lebih cepat. Namun jika itu tidak dilakukan bisa juga alternative ke dua namun akan membutuhkan waktu yang cukup lama.”
“Jika saya memilih operasi bagaimana?”
“Boleh juga…kondisi kamu cukup baik. Wah…sudah tidak sabar rupanya…ingin segera berjalan atau menggendong gadis yang berambut panjang itu?..hahaha” Dr. Alvin yang juga merupakan sahabat lama ayah Mozart tertawa. Ia telah mengetahui hubungan Mozart dengan Melody dari sang ayah.
“Owh..hahaha…bisa jadi om…tetapi saya berfikir untuk segera sembuh dan menikah…saya sudah 30 tahun om…”
“Good…. Semoga itu menjadi motivasi yang kuat… tentunya kalian ingin segera melaksanakannya bukan?”
“Ahh…entahlah om…saya merasa kelumpuhan saya menghambat beberapa rencana, itu sebabnya saya ingin segera sembuh” Mozart tertunduk seolah bergumam pada diri sendiri.
“Lho…saya harap semua baik-baik saja, Moz… kamu masih bersama gadis itu bukan? Kata ayahmu ia gadis yang baik…psikolog yang akan menyelesaikan S2…itu hebat..”
“Semoga saja ia mau menerima keadaan saya… saat ini saya merasa bodoh setelah mengatakan sesuatu yang membuatnya tersinggung!!”
“Ya Tuhan… kamu boleh tertekan tetapi tidak perlu melampiaskan kepada orang lain. Tetapi saya yakin sebagai psikolog ia pasti bisa memahami keadaanmu, dan saat ini ia hanya memberi ruang dan waktu kepadamu untuk berfikir dan menenangkan diri. Nah…tunggu apa lagi segeralah menemui dia, atau semua akan terlambat” Mozart mengangkat wajahnya kearah Dr. Alvin yang sudah seperti ayahnya sendiri.
Mozart segera keluar dari ruangan. Di perjalanan ia menelpon Melody…namun beberapa kali tidak di angkat. Mozart menyandarkan badannya dan menarik nafas panjang. Mungkinkah gadis itu sudah tidak mau menerimanya lagi? Berbagai pikiran berkelebat di kepalanya..Mozart memejamkan matanya.
Di seberang sana Mel yang tertidur tiba-tiba membuka matanya dan terkejut saat mendengar dering telepon di sebelahnya, namun terlambat saat ia hendak menekan tombol OK, Mozart telah menutup panggilannya. Mel segera menekan nomor Mozart…..
“Halo, sunshine….kemana saja…saya hampir putus asa menghubungimu..” Mel mendengar suara kekasihnya itu terlihat agak serak.
“Maaf…saya tertidur barusan…. Ada apa?” Mel berusaha tenang, walau sebenarnya ia merasa senang Mozart memanggilnya sunshine….
“Okay…bolehkan saya menemuimu? Besok?”
“Tentu saja….tetapi saya harus hadir di seminar dan baru selesai sekitar jam 5 sore..”
“Baiklah, saya akan ke apartemen setelah jam 5 okay…nah, sekarang kamu boleh tidur kembali, I miss you…”
“Hmm…saya akan menunggumu…bye” Mel menekan tombol off dan kembali berbaring. Namun beberapa detik emudian ia tak juga memejamkan matanya. Mozart dengan senyumnya kembali melintas di depannya namun sedetik kemudian Mozart menyeringai menyebalkan saat membentaknya juga terlintas dengan jelas. Ah…Mel bangkit dan membuka laptop. Ia menekan keyboard dengan lemas dan beberapa detik kemudian monitor meminta konfirmasi ulang karena ia salah memasukkan password. Mel segera mengetik beberapa huruf rahasia dan menekan tombol login.
“Kamu belum tidur, sunshine?” Mel tersenyum saat melihat pesan Mozart yang dikirim beberapa detik yang lalu.
“Ya…saya tidak bisa memejamkan mata… kamu sendiri mengapa malam-malam online?”
“Ah, saya hanya berharap setelah telpon tadi kamu membuka chatt room…hahaha……saya merindukanmu, cantik…..bagaimana denganmu?” Mel tersenyum tipis.
“Baiklah.. saya tidak ingin merindukanmu…..” Mel menggigit bibir bawah namun bukan karena gugup namun….
“Oya…benarkah?” Mozart menempel stiker menangis.
“Tetapi kenyataannya saya sangat merindukanmu…” Mel menempelkan stiker menjulurkan lidah dan mengedipkan mata kepada Mozart. Ia tertawa tertahan.
“Hahahahaha……kamu pintar membuat saya seakan ingin bunuh diri… “ Mozart membalas dengan cepat.
“Jadi apa kabarmu sayang? Apakah sudah menghubungi dokter syaraf?” Mel menjadi semakin segar malam itu. Ia sama sekali tidak ingin segera tidur kembali.
“Ya.. sudah..dan itulah yang akan saya bicarakan denganmu” Mozart melirik analog yang ada di sudut monitor menunjukkan pukul 11:30 pm namun ia bahkan seperti bangun pagi.
“Well, bisakah kamu tuliskan di sini, sungguh saya tidak sabar..”
“Baiklah… besok tinggal waktunya untuk berciuman, bukan? “
“Ahh…hahaha…saya tidak bercanda, sayang…”
“Okay…saya memutuskan untuk melaksanakan operasi memperbaiki syaraf di punggung yang terjepit di Jepang. Mungkin minggu depan saya akan berangkat dengan ayah. Kami akan menginap di rumah kakak ayah saya di Tokyo, sebelum operasi dilaksanakan…” Tiba-tiba Mel merasa lemas sekujur tubuhnya membaca kalimat yang dituliskan Mozart. Karena itu artinya ia akan berpisah kembali dengan kekasihnya itu…..beberapa menit Mel seakan kehabisan kata-kata.
“Oya…..” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa ia ungkapakan.
“Baiklah sepertinya kamu harus beristirahat, karena sudah jam 12:00 malam….” Mozart mengirimkan blowing kiss dan stiker good night di layar monitor.
“Okay.. sweet dream…” Mel masih belum bisa menguasai hatinya…namun ia sadar harus segera tidur atau ia akan terlambat hadir di seminar besok.
Malam berikutnya Melody telah berada di apartemennya. Ia melihat jam dinding menunjukkanjam 07:30 malam dan Mozart belum juga datang. Ia sedikit capek sebenarnya, namun keinginannya untuk bertemu kekasihnya membuatnya bertahan untuk tidak mengantuk lebih awal malam ini. Ia mencoba nonton tv namun beberapa menit kemudian Melody benar-benar tertidur di sofa.. dan matanya terbuka saat ia merasakan hangatnya sebuah kecupan di dahinya…Mozart!
“Ya Tuhan, Moz…darimana kamu bisa masuk?” Mel benar-benar kaget saat menemukan Mozart sudah berada di dekatnya, sementara memang tidak ada seorangpun di rumah ini selain dia. Tante Annisa masih berada di London sampai minggu depan.
“Tenanglah, sunshine…saya sempat panik saat mengetuk namun tidak ada yang membukakan pintu dan saat menelponmu tidak ada yang mengangkat…lalu saya mengadu ke pengelola apartemen ini untuk meminta kunci duplikat, saya sangat khawatir terjadi apa-apa di dalam apartemen ini…..” Mel tidak mengerti mengapa malam ini tidurnya benar-benar lelap sampai tidak mendengar apa-apa.
“Maaf sayang….saya sedikit capek setelah seminar sehari ini” Mel berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Ia mengambil segelas air putih untuk menenangkan perasaannya. Ia memejamkan matanya sejenak sambil meneguk air mineral.
“Saya rasa kamu sangat capek….” Mozart berkata sambil menerima sebotol minuman segar dari Mel. Gadis itu tersenyum dan melemparkan tubuhnya ke sofa. Ia memperhatikan Mozart meneguk lemon tea dalam botol sampai habis…dan tersenyum.
“Dan saya rasa kamu sangat kehausan…”Mel meraih botol kosong dari tangan Mozart dan meletakkannya di meja.
“Ya..saat khawatir berlebihan saya cenderung menjadi sangat haus…apa kabarmu, sunshine?” Mozart berpindah duduk di sebelah Mel, meraih kedua tangan gadis itu dan menciumnya dengan lembut.
“Saya…”Mel menghentikan kalimatnya. Hal itu membuat Mozart mengangkat kepala dan memandang Mel dengan tajam.
“Maafkan saya…saat itu saya sangat panik…Saya sangat senang kamu mengisi hari-hari saya dengan penuh pengertian dan kasih sayang tanpa memandang kekurangan saya, saya memang bodoh sekali tidak bisa menghargainya” beberapa detik kemudian Mozart mencium kedua jemari Mel kembali.
“Ketika kamu membentak saya dan membiarkan pergi saya begitu marah,,. Saya menangis sampai beberapa malam selama kita tidak bertemu….” Suara Mel terdengar sedikit gusar.
“Saya memang dungu, sunshine” Moz masih menggenggam jemari Mel.
“Ketika itu saya sadar bahwa saya memang mencintaimu tetapi saya merasa kamu tidak membutuhkan saya” Mel menggigit bibir bawahnya.
“Of course…saya sangat membutuhkanmu…saya sangat takut kehilanganmu…jadi bagaimana dengan maaf itu?” Mel masih terdiam…
“Baiklah, saya memaafkanmu, Moz…”
“Ahh…kemarilah cantik… biarkan saya memelukmu” Mozart membuka kedua lengannya yang kuat dan membiarkan tubuh mungil Mel menghambur ke dalamnya. Mereka berpelukan dan sedikit pergumulan selama beberapa detik.
Mozart memeluk leher Mel perlahan dan menyelipkan tangannya ke dalam rambutnya. Ia membelai tubuh Mel dan tangannya menemukan jalan untuk lebih kebawah menyentuh punggung Mel dan sedikit remasan membuat gadis itu mengerang.Mel kembali menjerit kecil saat tangan Mozartmeraba punggungnya lebih keras…”Ya ampun, sunshine…kamu tidak pakaibra!!”
"Hey…aduuhh…”Mel tersenyum malu sambil menggigit bibir bawahnya.
“Saya sungguh menginginkanmu, Melody…. Sayangnya saya masih berada di kursi roda sialan ini… saya akan membayarnya setelah operasi nanti…saya berjanji…” Mozart terus membelai punggung Mel yang masih berada di dekapannya.
“Mel tertawa dan menciumnya lagi. "Saya juga, sayang" Mel berdiri namun Mozart masih memegang tangannya "Apa rencana untuk sisa hari itu?" Mozart melihat jam dinding menunjukkan pukul 08:30 pm.