Tung Widut
Di Indonesia mengenal dua musim.
Musim penghujan dan musim kemarau. Dua musim ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang sebagian besar mata pencaharian sebagai petani. Petani sangat memperhitungkan musim saat akan bercocok tanam. Pengairan yang dibutuhkan sangat tergantung turunnya hujan. Tanaman yang cocok pada musim hujan adalah padi. Segala jenis padi.
Musim kemarau yang datang sekitar bulan Maret sampai bulan Juli. Perkiraan musim bisa berubah yang disebabkan berbagai hal. Sehingga terjadi musim kemarau panjang.
Saat musim kemarau panjang ini ada beberapa daerah yang melakukan upacara tiban. Upacara yang bermaksud meminta hujan.Tiban adalah dua orang laki-laki yang bertarung mengunakan senjata. Senjata berupa pecut (segenggam lidi yang diikat bagian bawah, bagian atas dianyam). Cara memainkan dengan menyabetkan lidi pada tubuh lawan sekuat tenaga. Sang lawan menangkalnya dengan melengkungkan pecut untuk melindungi diri.
Bagian tubuh yang boleh disabet dibawah leher sampai pinggang dengan kondisi telanjang dada. Sasaran utama pada punggung lawan. Sehingga banyak pemain yang mengalami luka sabetan memerah pada punggung( galer, bahasa jawa), bahkan sampai berdarah. Pada bagian kepala boleh menggunakan pelindung berupa topi atau helm. Bagian bawah menggunakan celana panjang dan sepatu. Yang berhasil menang, orang yang banyak menyabet lawan.
Dua orang pemain yang maju diiringi musik sederhana. Alat musik yang digunakan kenong, gong, saron, peking dan kendang sebagai pengendali musik iringan. Musik jaranan. Nyanyian yang dikumandangkan lagu yang sedang trend saat ini. Biasanya aliran musik campursari. Para pemain memasang kuda-kuda sambil menyesuaikan musik yang dialunkan. Saat inilah mencari terlenanya musuh sampai bisa menyabet lawan. Mereka merasa bangga bila terkena sabetan tapi tetap mampu bertahan.
Tiban sebagai upacara meminta hujan. Setelah diadakan tiban, diyakini hujan akan turun. Bahkan sebelum tiban selesai kadang hujan deras sudah turun.
Sekarang ini tiban tidak hanya dilakukan sebagai upacara meminta hujan. Contohnya, sekarang ini sedang berlangsung tradisi tiban di lapangan desa Pucung Lor, kecamatan Ngantru, Tulungagung. Bagi masyarakat sekitar yang ingin menyaksikan bisa datang besok pagi di tempat yang sama.
Saat ini hujan masih turun tiap hari. Hujan disertai angin masih menghiasi alam. Inilah bukti kalau seni tiban bukan sekedar tradisi meminta hujan. Tapi sudah bergeser fungsinya. Bergeser dari upacara tradisi menjadi seni pertunjukan. Seni yang juga mewadahi para jawara.
Aslinya, tiban dilakukan di tanah. Penonton mengitari jawara yang bertarung. Sekarang ini tiban diadakan di atas panggung yang sangat tinggi. Sekitar 3 sampai 4 meter. Panggung yang terbuat dari bambu dan dikelilingi pagar seperti ring tinju. Bertujuan agar ketika terjadi ketidakpuasan suporter, tidak bisa naik ke panggung untuk membuat onar. Demi keamanan ini telah panggung dibuat tinggi dan berpagar.
Siapa saja yang boleh di atas panggung? Yang boleh berada di atas panggung, dua jawara sebagai pemain, satu orang wasit, dan dua orang pendamping dari jawara. Yang lainya berada di bawah panggung termasuk komentator.
Yang menarik, sebagai seni pertunjukan dan pertandingn saat pembukaan selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya secara serentak. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dipimpin oleh petugas dari kepanitiaan.
Tiban sebagai upacara tradisional meminta hujan maupun sebagai seni tradisi patut dilestarikan. Dilestarikan karena merupakan kekayaan tradisi asli Indonesia. Jangan sampai hilang karena modernisasi jaman.